Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DELAPAN

Ternyata Sandra mengetuk pintunya, Dean tak mengerti perempuan itu justru muncul di depan pintu kamarnya sepagi ini. Masih pukul tujuh ketika Dean memastikan dengan menengok jam dinding. “Sepenting apa masalah yang pengin kamu bahas sampai muncul sepagi ini di sini?”

“Om Rahadi pulang semalam. Ah, kamu pasti nggak tahu. Sudah aku duga.” Dean sungguh tidak butuh informasi itu. Sepertinya Sandra bisa menebak isi kepalanya karena perempuan itu langsung menariknya tiba-tiba. Tidak membiarkan Dean mengelak.

Hebat juga perempuan itu berhasil menariknya beberapa langkah dari kamar. “Kita sarapan bersama. Di balkon. Aku menyiapkan semuanya, tolong jangan coba-coba memberikan banyak alasan. Lagi pula nggak adil aku terus yang terlibat dalam diskusi yang seharusnya juga mengikutsertakan dirimu. Ya, ini murni soal pekerjaan. Kamu bersikaplah profesional.”

Nasi goreng yang menjadi hidangan sarapan mereka saat ini, terhidang di atas meja bundar berukuran sedang di area balkon. Pandangannya menghindar ke deretan pot kecil yang ditempel pada dinding. Sesaat Dean menjengit saat Sandra menariknya duduk di kursi, beruntung Sandra berada di tengah dirinya dan Tuan Bos.

Hangat pembicaraan itu mulai mengalir ketika Sandra memberikan piring masing-masing dengan porsi lebih banyak. Ditanyakan pula keadaan putri kecil Sandra, Dean mengernyit. Tidak tahu menahu soal Sandra yang telah berkeluarga. Akan tetapi, Dean tidak berencana menimpali pembicaraa keduanya, fokusnya adalah menandaskan isi piringnya.

Begitu dia dan Tuan Bos bersirobok, segera saja topik berubah. “Saya hampir lupa mengatakannya, Dean.” Dean sungguh berusaha agar tidak bertindak seperti remaja merajuk dengan memandang Bos Besar-nya. “Rekan yang pernah menjebakmu, alamatnya sudah diketahui. Kamu bisa menemuinya segera atau perlu menunggu bukti-bukti kecurangannya dulu?”

Terburu-buru Dean menyesap minuman. Kini seluruh fokusnya pada lelaki tua ini. “Alamat tempatnya bersembunyi dan apa tadi? I even didn’t ask you for joining my own business.”

“Sementara kamu hampir tinggal di penjara, memulai dari nol lagi, kamu membiarkan orang itu menghabiskan uangmu? It just... wow!”

“Sebenarnya apa yang Anda ingin perlihatkan, Bos? Menegaskan pada saya kalau Bos orang berhati mulia, hm? Kesepakatan kita dari awal jelas. Saya bersedia di sini tanpa diusik apa pun yang bukan menjadi urusan Anda. Very nice to see you this time but I have to stop discussing to both you all.”

Tak perlu repot-repot kembali ke kamar, Dean menuju ke bawah, melintasi ruangan kedai hingga setibanya di luar bangunan itu menyemburkan napas sebagai cara menelan umpatannya.

Dean melangkah lebih jauh dari kedai, tak peduli pada kaus oblong dan celana piyama yang sedang dikenakannya saat ini. Aktivitas Bandung di pagi hari setidaknya sedikit mendinginkan kepalanya. Sekitar lima belas menit berjalan kaki, Dean sudah berdiri di atas jogging track.

Barangkali karena Minggu, taman ini cukup ramai. Dean melangkah kecil, memandang jauh ke depan dan tak peduli pada beberapa pelari yang sudah melewatinya. Pada bangku kecil di depan sana, Dean berniat duduk sebentar, tetapi tepukan di pundak membuatnya terkesiap disusul pekikan cukup nyaring.

Dengan mata berbinar, perempuan muda itu menggamit begitu saja tangannya. Hani. “Mas Dean apa kabar? Lama banget kayaknya kita nggak ketemu, ya? Beruntungnya aku mutusin jogging tadi. Kalau tahu−”

Hani memutus kalimat panjang itu. Celakanya belum juga melepas gamitannya padahal Dean telah menariknya perlahan. Perempuan itu mengambil ponsel dari saku saku jaket. Menjawab sebentar dan kembali melesakkan benda itu ke kantung jaketnya.

“Omong-omong, Mas dari tadi jogging dengan kostum seperti ini?” Hani menilik penampilannya, lalu senyumnya kembali cerah. “Tapi tetap ganteng.”

“Pagi, Hani. Silakan kamu lanjut lagi kegiatanmu tadi, saya sudah pengin balik.”

“Makan bubur ayam dulu, yuk, Mas.” Padahal Dean berhasil melepas gamitan mereka tadi, perempuan itu melakukannya lagi. “Janji, nggak akan lama.”

Tujuannya tidak menentu seandainya Dean menolak ajakan Hani, pilihannya hanya kembali ke rumah karena Rifgi bukanlah tipe orang yang sering bangun lebih pagi. Dean memberitahu Hani untuk melepas tangannya saat sedang beranjak ke tujuan berikutnya. Hani maklum, melepas cengiran lebar padanya.

“Mas rutin ke sini nggak? Kalau nggak malas, biasanya aku rutin ke sini dua sampai tiga kali seminggu. Sendirian dong, Rifgi atau Fella sulit diajakin ke sini. Mas Dean sebenarnya diet atau apa?”

Porsi mangkuknya diisi setengah. Ada banyak pertimbangannya; bubur ayam bukan jenis karbo yang akan dikonsumsinya setiap pagi. Dia baru saja menyantap nasi goreng dengan porsi lebih banyak dan katakan saja dia pelit sekarang, tapi membuang uang untuk sesuatu yang belum jelas rasanya sangat percuma. Sejauh ini, dia tidak menyesali keputusannya ke sini. Dean mengangguk, jawaban paling singkat menurutnya.
“Kamu kuliah?”

Perempuan berambut merah kecokelatan ini tampak cemberut. “Semester enam.” Hani ganti menopang dagu. “Ternyata Mas Dean lupa, aku pernah ke kedai sehabis pulang dari kampus dan Mas juga nanyain waktu itu.”

Dean meringis, menggumamkan permintaan maaf singkat dan meneguk habis isi gelasnya.
“Kalau aku tanya hal pribadi, boleh?” Dean belum merespons apa pun ketika Hani kembali bersuara. “Mas Dean masih jomlo?”

“Jawaban saya apakah ada pengaruhnya sama pertanyaanmu berikutnya?”

“Aku pengin memastikan saja. Kabar baiknya, menurut informanku, Mas masih jomlo. Artinya aku nggak ada kendala berarti buat pedekate ke Mas Dean.”

Sesaat, Dean terkesima. Hani jelas bukan tipenya, tidak ada anggun-anggunnya sama sekali. Cukup blak-blakan, tetapi di sisi lain, Dean mengagumi kepercayaan diri perempuan muda tersebut. Hanya saja, semenarik apa pun lawan jenis yang tengah mendekatinya, Dean belum bisa melupakan Yasmin.

***

“Dipotret dari jauh, kok, itu. Ambil hikmahnya saja, kedai nggak lagi sepi semenjak anak kuliah itu saling cerita ke lain kalau ada cowok ganteng di sini.”

Iseng Dean membuka akun kedai dan mendapati banyak notifikasi. Lebih banyak mengomentari tentangnya ketimbang rasa pesanan mereka. Nyaris semua memberikan bintang lima, tetapi tidak ada gunanya ketika mereka membahas topik yang berbeda. Dari sekian gambar, beberapa kali Dean menjadi latar belakang, itulah yang dibencinya.

“Makan malam nanti, kamu mau makan apa?”

“Biar saya yang menyiapkan sendiri.”

“Pasti makan mi instan lagi. De, hampir setiap hari kamu cuman makan itu, nggak bosan apa? Nggak sehat pula.”

Dean menutup laptop. Segera bangkit. “Sandra, tolong jangan siapkan ini-itu lagi untuk saya. Kecuali kalian sedang berusaha menjebak saya dengan utang yang kian menumpuk.”

“Dean! Sejauh ini aku nggak pengin ikut campur apa pun di antara kamu dan Om Rahadi. Makin ke sini, kamu makin membuatku sebal dengan semua tuduhanmu itu. Aku−"

“Terlihat seperti ingin mencari muka.” Sandra melongo. Perempuan itu tidak berusaha membantah melainkan berbalik menuju ke dalam.

Masih ada dua jam sebelum jam makan siang dan kedai mulai kedatangan pengunjung. Menunggu di sini agak berbeda ketika tahu sewaktu-waktu Tuan Bos muncul, maka Dean berencana berjalan-jalan di luar sementara.

Di outdor area Dean menahan ringisannya mendapati Hani dan Fella mendekat. Tidak ingin salah satu dari mereka mencecarnya maka Dean melewati keduanya begitu saja. Tetap bergeming saat Hani memanggil-manggil namanya.

“Mas Dean, tungguin!”

“Kamu kenapa ngikutin saya?” Dean tidak habis pikir pada perempuan satu ini. Jawaban telaknya kemarin rupanya tidak berpengaruh apa-apa pada Hani. Perempuan ini malah menawarkan diri menemani. “Nggak bareng Fella saja di dalam?”

Begitu Hani menggeleng dengan mantap, Dean bergegas pergi. Tenaganya tidak akan cukup meladeni sikap perempuan ini memiliki kemampuan berbicara dalam jangka waktu lama. Seperti saat ini, tiba-tiba Hani menyakan pendapatnya mengenai potongan rambut terbarunya.

Rambut pendek sepundak dengan dua jenis warna terang di masing-masing sisinya. Sebagai responsnya, Dean cukup mengamati tanpa berkomentar.

“Kalau kesal soal kemarin, maaf deh. Aku, kadang blak-blakan orangnya. Yang jelas, aku nggak maksa Mas buat langsung mengiakan, kok.”

“Sebaiknya kamu fokus kuliah dulu.”
“Kalau pun pacaran, nggak akan ganggu kuliah. Aku ini orang yang bertanggung jawab. Kayak sekarang, aku kerja paruh waktu tanpa sekalipun menomor duakan kuliah. Mas perlu tahu, aku hebat dalam multitasking. Kita mau ke mana, Mas?”

Langkahnya terhenti bukan karena pertanyaan Hani melainkan bangunan berjarak beberapa kaki di depannya. Dean menatap Hani dengan telunjuk teracung. “Itu kontrakan?”

“Iya, kontrakan cewek tapi. Lebih banyak pekerja kantoran, sih. Ada teman Mas yang lagi nyari?”

Kemarin ketika mendiskusikan menu kedai bersama Sandra, Dean tidak memasukan makanan berat untuk brunch karena berpikir lokasi kedai tidak berada di sekitar area perkantoran. Mengingat letak kontrakan yang ditemukannya dari kedai kurang dari sekilo, Dean memikirkan ide itu lagi.

Hani menyusulnya saat Dean mendadak mengubah haluan, kembali ke kedai dan mungkin akan mendiskusikannya sebentar dengan Sandra.

Kedai lebih ramai dari biasanya, hal yang tak terduga sebab dua mingguan ini kedai baru akan kedatangan pengunjung saat jam makan siang. Bukan pencapaian luar biasa walaupun keduanya sibuk hingga selepas Isya, patut disyukuri karena Dean baru merasa produktif ditambah lagi tidak ada kejadian menjengkelkan seperti menghadapi pelanggan yang berusaha menggodanya.

Dean lah membereskan kedai setelah meminta Sandra pulang lebih awal. Bagaimana pun sejak tadi Dean sudah melihat bagaimana Sandra tampak lelah, yang berarti menahan ceritanya sampai besok tentang idenya. Saat ini dia di dapur, mengolesi avokat yang dicampurnya jeruk nipis, sebagai ganti mayonase. Sandwich isi tuna telah siap ketika dering telepon cukup keras mengganggunya. Dean menjejak menuju kedai, mengikuti dering ponsel yang kian bising. Ponsel berada di dekat  jendela, tersembunyi di sudut. Nama Rifgi tertangkap pada layar ponselnya.

“Ini Dean, ya?” Dean seperti mengenali suara di seberang sana yang menjawab sapaan pertamanya. “Halo? Aku Fella, ponselku entah ke mana tadi. Rupanya ketinggalan di Smoothy.”

“Tapi kedai sudah tutup.” Terdengar jeritan di seberang membuat Dean menjauhkan benda pipih itu dari telinganya. Ada apa dengan perempuan yang sepertinya senang sekali menjerit? “Kamu bisa ke sini secepatnya−”

Sambungan terputus. Dean membuka tirai dan menunggu perempuan itu, yang untungnya datang tak lama kemudian. Dilihatnya perempuan itu berlari mendekat dan berhenti di depan pintu sementara Dean bangkit dengan ponsel di tangan.

“Kupikir tadi hilang di mana.” Fella memasukkan ponsel di tas selempang lalu menyingkirkan helai-helai yang luput dari gelungan di puncak kepala. “Sebagian riset kusimpan di sini soalnya, aku lupa terus pindahin ke−”

Dean tahu sikapnya sungguh tidak sopan, menaikkan satu tangan agar Fella menyetop ucapannya. Dia berbalik, usaha yang sia-sia untuk kembali ke dalam karena Fella kontan menarik lengannya. “Kedai tutup secepat ini, Teh Sandra sakit atau gimana?”

“Nggak.”

“Jadi aku nggak bisa memesan salad buah?” Dean tidak mengatakan apa-apa selain memandangi Fella. “Tolong? Papa dan mama aku lho yang pengin. Mas Dean−”

“Dean.” Menambah sapaan lain di depan namanya justru mengingatkannya pada Hani, cukup perempuan itu yang kerap membuatnya jengkel.

“Tadi gimana, kamu bisa menyiapkan pesananku? Bikin salad pasti nggak sulit bagimu.”

Fella semringah tatkala Dean memintanya  menunggu di dalam. Perempuan itu tidak duduk di salah satu kursi yang belum Dean rapikan malah berdiri di depan bartender. Sorakannya yang tiba-tiba membuat Dean terkesiap saat menyiapkan bahan-bahan.

“Sori, nggak sengaja bikin kaget. Ada dua sandwich di sini.” Fella mencondongkan tubuh. Dengan lugas berkata, “Aku boleh minta satu? Aku selalu kelaparan saat melihat makanan. Masih hangat dan kamu beraroma makanan, jangan salah paham, hidungku sedikit peka soal− Baik, nggak usah.”

“Begini, kamu terlalu cerewet, kayak temanmu itu.”

“Hani.”

“Kalau mau, kamu bisa ambil dua sandwich itu.”

Sedikit sekali Dean menemukan perempuan yang matanya berkerlip saat menerima makanan pemberian seseroang, seperti Fella, berulang kali berterima kasih sambil menepuk dua tangannya. Sesaat, Dean menunggu bagaimana reaksi perempuan itu ketika menyantap masakannya.

Kelopak mata yang dipejamkan beberapa jenak. Kemudian, sepasang mata yang kian cerah. “Aku suka. Seharusnya Smoothy bikin menu seperti ini. Ini murni avokad, kan?” Fella menunduk. Mencermati isi sandwich di tangan. “Ikan tuna rasa ayam, kamu bikinnya kayak gimana?”

Dean tidak menjawab. Menyelesaikan pesanan perempuan yang di depannya lahap menghabiskan sandwich.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro