Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teras Dan Martabak

Aku berjalan dengan amat enggan menuju kelas keesokan paginya di sekolah. Gini deh. Alasan mengapa semalam aku nggak menelepon balik Devon untuk memberi tahu kesalahpahamannya adalah karena tiga hal:

1. Aku nggak enak.

2. Walaupun sok bule dan sebagainya, dia cukup gentle karena mau mengajakku secara langsung dan bahkan sukarela menawarkan untuk menjemputku (gara-gara kuberitahu ini, ibuku langsung melesat ke mall terdekat dan membelikanku dress sederhana).

3. Aku mesti bersyukur masih ada cowok yang mau ngajak aku untuk pergi berpasangan kan?

Aku menghela napas berat. Begitu aku memasuki kelas, cewek-cewek langsung sibuk berbisik-bisik.

"Tuh dateng orangnya..."

"Yang bener?"

"Sama dia...?"

Aku pura-pura tuli dengan kerumunan cewek yang sedang santer bergosip. Tak lama kemudian, datanglah Si Disaster. Begitu meletakkan tasnya, Devon langsung dikerubungi cewek-cewek itu. Maka aku mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik dengan super cepat.

Bisa ngomong bentar di luar?

Begitu melihat Devon mengecek notifikasi chat di ponselnya dan dia menoleh ke arahku, aku memberinya isyarat agar dia mengikutiku. Aku menggiringnya ke depan laboratorium Biologi yang selalu sepi.

"Lo ngomong sama siapa aja sih kalo lo ngajak gue? Satu sekolahan?" protesku langsung, sudah jengkel setengah mati.

"What, no! Aku cuma bilang kalo aku udah punya pasangan ke salah satu cewek yang ngajak. Dan dia langsung tanya siapa pasanganku."

Aku menghela napas berat. Nyebarnya cepet banget.

Maka jadilah. Dalam sekejap namaku dan nama Devon jadi jadi trending topic di SMA Bakti. Namaku berubah menjadi 'si cewek yang diajak Devon' dan 'tuh dia yang diajak Devon' dan 'cewek itu?' dan lain-lain yang aku nggak mau tahu lagi. Bahkan sampai ada adik kelas yang aku sama sekali nggak kenal siapa, mencegatku di kantin dan dengan kepo-nya bertanya apakah aku pacaran dengan Devon. Dan entah bagaimana sekarang para cewek nyaris satu sekolah tahu kalau aku pernah satu SD dengan Devon.

Yang lebih mencengangkan, sepulang sekolah Devon memaksa mengantarku hingga ke rumah, dengan alasan ingin bertemu dengan orangtuaku. Aku sudah pernah bilang belum, kalau dia bawa mobil sendiri ke sekolah? Nah, pokoknya dia bersikeras mengantarku pulang dengan mobilnya. Dia bilang kangen sama Mamaku. Dulu memang ibunya sering ngobrol dengan ibuku (karena ibuku lumayan lancar bahasa Inggrisnya), makanya Devon juga jadi sering ketemu dengan Mama.

Dan ketika Devon mematikan mesin mobilnya... ada Juna di teras rumahku.

Aku terpaksa saling mengenalkan kedua cowok itu. Setelah Devon bertemu dengan ibuku dan mengobrol sebentar, dia mohon diri untuk pulang. Juna—yang ternyata habis mengembalikan rantang yang ibunya pinjam dari Mama tempo hari—kemudian menghampiriku.

"Sekalian beliin oleh-oleh." cowok itu tersenyum seraya menyerahkan bungkusan plastik berisi satu dus martabak manis.

"Wah, makasih!" aku membuka dusnya di meja teras dan memandangi martabak cokelat kacang—toping favoritku—yang masih hangat itu, "Repot-repot!"

"Santai aja." Juna tersenyum lagi, sambil memperhatikanku mengunyah martabak dengan sukacita.

Sadar karena diperhatikan terus menerus, aku merasa jengah dan bertanya, "Kenapa sih?"

"Yang barusan itu siapa?" tanya Juna.

"Oh. Devon itu temen SD-ku, nyokapnya dulu deket sama Mama. Begitu lulus SD, dia pindah ke Swedia, terus pindah lagi ke sini dan sekarang satu sekolah lagi." jelasku sesederhana mungkin.

"Oh." Juna berkomentar singkat. Tapi kali ini nadanya terdengar agak ganjil, "Dia baik?"

Aku mengernyit, "Yah lumayan, dia nganterin aku pulang sih barusan."

Apa aku mesti cerita soal aib-aibnya Devon ke Juna?

"Dia pasangan kamu ya?" celetuk Juna.

Aku mematung, suapan terakhir martabak masih kupegang di tangan kananku.

Juna hanya menatapku sambil mengangkat sebelah alisnya.

"K-kok tau?" aku menelan suapan terakhir dengan susah payah.

Juna mengangkat bahu, "Tadi aku denger dia minta izin ke Tante buat ngajak kamu ke acara itu."

Lalu dia diam.

Juna kenapa sih?

"Kamu kenapa?" tanyaku bingung.

"Kemaren kamu bilang belum punya pasangan. Tapi sekarang ternyata ada, tuh." kata cowok itu dengan nada yang agak dingin.

Apa?

"Kamu pikir aku bohong?" kataku agak tersinggung.

Juna nggak menyahut. Tetapi juga nggak menyangkal.

Oke, kemaren aku memang nggak ngaku kalo Devon udah ngajak aku jadi pasangannya. Tapi tawaran itu teknisnya baru aku terima TADI MALEM. Jadi intinya, kemarin siang aku memang BELUM punya pasangan, kan?

Rasanya aku ingin menjelaskannya panjang lebar seperti itu. Tapi tentu saja aku ungkapkan dengan versi yang sudah diperhalus.

"Dia emang ngajak aku kemaren siang, tapi baru aku jawab kemaren malem, setelah aku ngobrol soal raket itu sama kamu. Lagian kenapa tiba-tiba kamu jutek banget sih?"

Yah, nggak halus-halus amat sih. Buktinya Juna tampak semakin kesal.

"Ya... kaget aja sih. Kemarin kayaknya kamu nggak suka banget harus ke pesta itu, tapi sekarang taunya udah punya pasangan."

"Kalo kehadiran di acara itu bukan wajib, aku juga ogah pergi!" balasku nggak mau kalah, "Lagian kalo nggak diajak Devon, belum tentu juga aku bisa dapet pasangan! Sama siapa lagi coba?"

Kami berdua saling pandang dengan kesal. Tanganku terkepal karena menahan emosi, sementara wajah Juna terlihat begitu merah dan kedua tangannya terlipat di dada.

Kemudian ekspresi Juna berubah datar, seolah nggak peduli.

"Yah, emang nggak ada hubungannya sih sama gue." Juna meluruskan tangannya.

Oh? Jadi dia sekarang mulai ber-'elo gue'?

"Emang iya!" sahutku emosi.

Juna begitu saja berbalik dan ngeloyor meninggalkanku, tepat sebelum Mama keluar membawa bungkusan.

"Lho... Juna ke mana? Mama baru aja mau bawain makanan."

Aku memutuskan untuk masa bodoh dengan segala-galanya dan dengan jengkel masuk ke dalam rumah. Setibanya di kamarku di lantai dua, aku membuka gorden jendela lebar-lebar. Dari sini, teras rumah Juna kelihatan lumayan jelas. Dia sedang menyalakan motornya dan langsung meluncur pergi.

Motor? Aku nggak inget dia punya motor sebelum ini.

Atau mungkin...

"Jangan-jangan uangnya habis dipake untuk beli motor makanya dia nggak bisa beli raket?"

Dasar cowok.

"Juna beli motor buat ke kampus. Soalnya di sekitar sini kalo mau naik bus mesti jalan jauh dulu ke depan. Ditambah, ibunya Juna sekarang kena rematik, jadi mereka perlu kendaraan pribadi. Makanya si Juna beli motor pake uang tabungannya..." Mama tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang, membuatku terlonjak.

"Mama tau dari mana?" tanyaku, kembali menatap pekarangan rumah Juna dengan sinis.

"Mama kemaren ngobrol sama ibunya Juna, Bu Ratna... katanya anaknya jadi jarang latihan di belakang rumah. Padahal hari pertandingan tinggal sebentar lagi. Bu Ratna khawatir ada apa-apa, tapi begitu dia tanya ke Juna, itu anak diem aja. Udah, nggak usah mikirin Juna melulu."

Aku terbengong-bengong menatap ibuku karena mendadak dia jadi update banget dengan kehidupan Juna. Di samping itu...

"Mama kok tau aku lagi mikirin dia?" ungkapku jujur.

Mama tersenyum congkak, "Emang kamu kira selama ini kerjaan Mama cuma ngasih kamu makan sama ngurusin cucian baju kamu doang? Kamu tuh anak Mama. Wajarlah Mama tau apa yang lagi kamu pikirin! Mama tau kalo belakangan ini kamu lagi deket sama Juna. Ya kan?"

Ups.

"Bener kan tebakan Mama?!" Mama tertawa keras sambil mengacak-acak rambutku.

"Iiih, Ma!" aku berusaha menghindari serangan tangannya di kepalaku.

"Lagian kamu nggak punya ide apaaa... gitu buat Juna?" pancing Mama sambil senyam-senyum.

Aku kembali menatap ke arah rumah Juna. Memang sempat kepikiran sesuatu, sih. Dan ide itu sekarang makin mantap kupikirkan. Gara-gara Mama.

🏡🌼🏡

Pernah denger, katanya martabak itu sogokan andalan deketin gebetan.
Truth? lol

Leave vomments ;)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro