01. A Ticket
Aku menghabiskan makan pagiku dengan buru-buru. Sementara Lena, putriku yang baru berusia sembilan bulan bergelayut dengan rewel di pangkuanku. Tangannya sibuk meraih apa saja yang berada di sekitarnya. Menarik rambut, baju, bahkan makanan di piringku.
Lizzy yang tadinya terlihat sibuk di depan komputer akhirnya bangkit menghampiri lalu meraih putriku.
"Ayo sayang ikut tante dulu ya. Biarkan mamamu menghabiskan makan paginya," ucapnya gemas sambil mendekap balita tersebut di gendongannya.
Awalnya Lena merengek, tapi toh akhirnya ia tertawa geli ketika Lizzy menggelitikinya terus menerus.
"Terima kasih," ucapku sambil buru-buru memasukkan nasi ke mulutku. Merasa bersyukur atas pertolongannya.
Ah, punya anak memang betul-betul merubah segalanya. Dulu aku terbiasa makan ala-ala table manner, elegan, pelan, dan betul-betul menikmati setiap sajian yang masuk ke mulutku. Sekarang? Jangankan table manner, makan biasa ala militer pun terasa kurang cepat karena si kecil keburu rewel dan merengek-rengek minta gendong.
Sebetulnya tidak hanya makan. Aktivitas lain seperti mandi, bersih-bersih, memasak, mencuci, durasinya harus kupangkas sedemikian rupa karena ya, begitulah, aku harus mengerjakan segalanya dengan cepat karena jika tidak, anakku keburu rewel dan menjerit histeris.
Aku baru bisa mengerjakan aktivitas lain jika Lizzy di rumah dan membantuku menjaganya. Bagaimanapun juga Lizzy sudah seperti ibu sendiri bagi Lena, mereka akrab, dan putriku juga menurut sekali padanya. Jika sudah berada di gendongannya, balita itu takkan rewel lagi.
"Aku berencana mencari pekerjaan," ucapku sembari membawa piringku yang telah kosong ke bak cuci dan segera membersihkannya.
"Mencari pekerjaan?" Lizzy mengulangi kata-kataku. Aku menatapnya sekilas lalu mengangguk, kemudian meletakkan piringku yang telah bersih ke rak.
"Sudah hampir satu tahun aku fokus merawat Lena, aku tak punya penghasilan dan tabunganku menipis," jawabku.
"Lalu apa rencanamu?" Lizzy mengayun-ayun Lena hingga balita itu tertawa lepas.
"Aku sudah bicara dengan Paman Jo dan dia mengijinkanku bekerja di rumah makan miliknya," jawabku, menyebutkan nama seorang paman baik hati yang tinggal dua blok dari rumah kontrakan kami, dan mempunyai usaha rumah makan kecil di samping rumahnya.
Lizzy tampak kaget mendengar jawabanku. "Pramusaji?" ucapnya tak percaya.
Aku kembali mengangguk. "Hanya tempat itu yang mengijinkanku bekerja dengan membawa Lena. Paman Jo tak keberatan jika aku membawa Lena bekerja. Tugasku hanya mengantarkan makanan ke pelanggan, dan itu bisa kulakukan sambil menjaganya." Aku menatap putriku yang terus saja terkikik ceria di gendongan Lizzy.
Lizzy tampak ternganga. "Kau? Bekerja di rumah makan kecil?" Ia tampak tak mengerti.
Aku kembali mengangguk.
"Hana, jujur saja itu tak cocok untukmu. Maksudku, lihat dirimu. Kau cantik, kau elegan, dan kau pantas mendapatkan pekerjaan yang lebih berkelas daripada sekadar jadi seorang pelayan restoran." Ia protes.
Aku mengangkat tanganku. "Aku tak keberatan," jawabku cepat.
"Tapi aku yang keberatan," dan ia tampak kekeuh.
"Hana, kau terlalu cantik untuk menjadi seorang pelayan restoran. Bagaimana mungkin seorang mantan model berakhir di tempat seperti itu? Tempatmu bukan di sana. Kau seharusnya ada di catwalk, fotomu terpampang di majalah-majalah, dan kau bisa jadi artis atau bintang iklan."
"Aku sudah berhenti, Lizzy. Aku tak akan masuk ke dunia itu lagi. Aku ingin hidup tenang dengan putriku," jawabku.
"Dan miskin," cetus sahabatku.
"Lizzy ...." Aku mengerang lelah.
"Hana, sebentar." Perempuan cantik berambut sebahu itu beranjak.
"Mau kemana?" tanyaku.
"Ke rumah bibi Tricia, menitipkan Lena padanya. Karena setelah ini kita akan terlibat pembicaraan serius, kau dan aku." Dan belum sempat aku menjawab, Lizzy sudah pergi membawa Lena ke rumah bibi Tricia.
Bibi Tricia adalah seorang janda beranak satu yang tinggal tepat di sebelah rumah kontrakan kami. Anaknya sudah bekerja di luar kota sehingga perempuan itu sering menghabiskan waktunya sendirian di rumah. Ia sangat baik dan ramah. Seringkali ia membantuku menjaga Lena. Ia juga sering berkunjung ke rumahku membawakan banyak kue dan makanan. Aku dan Lizzy benar-benar bersyukur dengan keberadaan perempuan itu. Ia ibarat ibu bagi kami.
"Kau menitipkan Lena padanya?" tanyaku, sesaat setelah Lizzy kembali, sendirian. Ia mengangguk. Aku menjatuhkan pantatku di kursi yang kugunakan untuk makan tadi, dengan ekspresi was-was. Lizzy pasti berniat membahas hal yang sangat serius. Itu terlihat dari raut mukanya yang tampak kaku.
"Oke, jadi ada apa ini?" Aku membuka suara. Lizzy beranjak mengambil sesuatu dari dalam tasnya lalu bergerak dan duduk di meja yang berada di hadapanku. Kemudian melalui permukaan meja, ia menyorongkan selembar kertas tebal berisi deretan nomor. Aku menatapnya.
"Tiket?" tanyaku bingung, lalu kembali menatap perempuan itu.
Ia mengangguk. "Aku sudah mendaftarkanmu untuk ikut audisi reality show Sweet Home," jawabnya.
Alisku tertaut. "Apa itu?"
"Reality show di televisi bertajuk Sweet Home. Kau pernah menonton acara The Bachelor dan Sweet Home Alabama? Kurang lebih seperti itulah acaranya," jawabnya.
Aku ternganga. Tentu saja aku pernah menonton acara itu. Sebuah acara di mana akan ada seorang lajang yang mencari pasangan dari peserta reality show. Biasanya akan ada seorang lelaki tampan, mapan, kaya raya, yang nantinya akan diperebutkan oleh beberapa perempuan cantik. Dan perempuan yang berhasil memikat hatinya, dialah yang akan jadi pemenang, sekaligus yang akan dinikahi oleh si pemuda lajang tersebut.
"Acara mencari istri lewat program televisi?" gumamku.
"Tepat." Lizzy menjawab. "Lelaki yang akan diperebutkan adalah Sean Morthensen. Dia putra orang terkemuka di negara ini. Pengusaha sukses, tampan, mapan, dan kaya raya. Perempuan beruntung yang bisa mencuri hatinya akan ia persunting sebagai istri, dapat hadiah uang tunai senilai ratusan juta dan tentunya menempati rumah mewah layaknya istana yang telah ia persiapkan," lanjutnya. "Selain itu---"
"Tidak, aku tidak akan ikut," potongku.
"Hana?"
"Aku sudah bilang padamu aku tidak akan kembali ke dunia seperti itu lagi. Aku ingin hidup biasa bersama putriku, titik. Lagipula, apa kau lupa kalau syaratnya harus lajang? Aku bukan lajang lagi, aku sudah punya anak," sergahku.
"Tidak ada ketentuan bahwa peserta harus tak punya anak. Mereka hanya meminta perempuan lajang. Dan secara teknis, kau masih lajang. Kau memang sudah punya anak, tapi kau belum pernah menikah. Lelaki bajingan itu menipumu. Ia merayumu, menjanjikanmu ini dan itu, lalu setelah kau hamil, dia meninggalkanmu begitu saja!" Lizzy nyaris berteriak jijik.
Aku masih melihat gurat-gurat kemarahan di wajahnya. Dan mata itu masih berkilat marah manakala membicarakan lelaki yang telah menghamiliku, lelaki yang seharusnya menjadi ayah Lena.
Aku masih menangkap kekecewaan luar biasa pada diri Lizzy manakala membicarakan peristiwa pahit itu. Bagaimanapun ia berhak kecewa padaku. Dan ia juga pantas marah. Toh apa yang ia rasakan karena ia teramat menyayangiku.
Aku dan Lizzy bersahabat sejak kecil. Kami tidak hanya berteman baik, tapi kami sudah seperti saudara. Dia sudah seperti kakak buatku. Sejak dulu impianku adalah menjadi model terkenal. Atau setidaknya, aku ingin berkecimpung di dunia keartisan. Dan dari mimpiku itulah, Lizzy juga menemukan impiannya. Ia ingin menjadi manajer. Manajerku.
Dan mulailah kami merancang mimpi-mimpi itu. Ia rajin memberikan dukungan padaku untuk ikut kelas modelling, dan juga kelas akting. Ia juga rajin membantuku untuk mengikuti kompetisi-kompetisi maupun audisi model. Kami bahkan nekat pergi ke Manhattan dengan uang saku mepet, demi bisa mendapatkan kesempatan bergabung di agency model.
Awalnya semua berjalan lancar. Lizzy berhasil menemukan agency kecil yang mau menampungku. Lalu aku mulai dapat tawaran. Bukan tawaran yang besar, tapi setidaknya wajahku mulai sering nampang di katalog ataupun majalah lokal. Dan penghasilan kami lumayan. Kami bisa berbelanja, kami bisa jalan-jalan, dan kami bisa bersenang-senang. Kami bahkan dapat menyewa rumah kontrakan yang lumayan besar, bukan rumah yang sekarang kami tinggali.
Semua sesuai rencana, sesuai impian kami. Sampai akhirnya aku bertemu dengan seorang lelaki tampan dan jatuh cinta padanya. Kami saling mencintai, tadinya. Tapi karena kami sama-sama ceroboh, aku hamil. Bukannya bertanggung jawab atas perbuatannya, lelaki itu malah pergi begitu saja. Meninggalkanku.
Dan semuanya berantakan.
Kontrak kerjaku diputus secara pihak, dan aku jadi pengangguran. Lizzy juga. Orang tuaku yang masih konservatif bahkan mengusirku karena aku hamil di luar nikah.
Dan di antara semua peristiwa pahit itu, Lizzy tetap berdiri tegar di sampingku, menguatkanku.
Dengan tabungan pas-pasan kami mencari rumah kontrakan yang lebih kecil. Lizzy memutuskan bekerja di sebuah travel agency, dan aku fokus dengan bayi dalam kandunganku. Aku berhemat, demi bisa mencukupi kebutuhanku sehari-hari dengan tabungan yang masih tersisa.
Sungguh masa-masa yang terlampau sulit buatku.
"Kau harus ikut, Hana." Suara Lizzy membuyarkan lamunanku.
Menarik napas panjang, aku kembali menggeleng.
"Dan aku tak tertarik untuk mencari suami," jawabku.
"Kau tidak harus menang, yang perlu kau lakukan hanyalah bertahan hingga beberapa episode saja." Lizzy berjengit.
Lagi-lagi aku menatapnya tak mengerti.
"Maksudmu?"
Perempuan itu melipat tangannya di atas meja dan menatapku dengan serius.
"Acara itu hanya akan mengambil dua puluh peserta, ditayangkan setiap seminggu sekali sebanyak enam belas episode. Setiap episode Sean akan memulangkan seorang peserta. Tapi khusus untuk episode pertama, akan ada empat peserta yang tersingkir."
"Apa lelaki bernama Sean itu yang punya kuasa penuh untuk memulangkan peserta?" tanyaku.
Lizzy mengangguk. "Dia yang akan menikah, jadi dia yang berkuasa," jawabnya.
"Jadi ...." Ia kembali fokus menatapku. "Yang perlu kau lakukan hanyalah bertahan paling tidak lima episode saja. Lima episode sudah cukup untuk membuatmu dikenal masyarakat. Syukur-syukur kau bisa bertahan lebih lama hingga episode sepuluh," lanjutnya.
Aku mendengarkannya dengan seksama.
"Aku tidak berharap kau menang. Karena kita tahu, ini sulit. Jadi intinya, kita akan menggunakan acara ini sebagai batu loncatan agar kau bisa terkenal. Punya penggemar, dan tentunya dikenal publik. Toh nantinya juga akan ada polling peserta favorit. Dan dari yang sudah kuamati, peserta Reality Show semacam ini tetap berhasil membangun karir mereka di dunia hiburan walau mereka tereliminasi. Ada yang bermain drama, ada yang debut sebagai penyanyi, ada yang jadi model. Nah, jika kau dikenal publik, kita akan dengan mudah mencari agency, dan kau bisa mendapatkan pekerjaanmu kembali. Aku juga," jelas perempuan tersebut.
Aku mengerjap mendengar penuturan Lizzy. Wow, strategi yang cerdas.
"Tunggu, enam belas episode? Sekitar empat bulan, kan? Apa jika aku lolos, aku akan dikarantina?" tanyaku.
Lizzy mengangguk. Dan aku menggeleng cepat.
"Tidak, Lizzy. Aku tak bisa. Aku tak mau berjauhan dengan putriku. Empat bulan itu terlalu lama," ucapku segera.
"Kan kau bisa pulang berkunjung?"
"Tapi siapa yang akan menjaganya?"
"Aku yang akan melakukannya. Bibi Tricia juga pasti dengan senang hati membantu menjaganya."
"Tapi Liz ---"
"Hana, kumohon." Perempuan itu meraih tanganku dan menggenggnya erat.
"Ini adalah satu-satunya kesempatan paling baik untuk kita. Setidaknya lakukanlah untuk Lena. Kau harus jadi ibu yang tegar, yang kuat, yang mandiri, yang pantas ia banggakan kelak. Jika kau berhasil, karirmu melejit, Lena lah orang yang paling beruntung. Dia putri yang manis. Dan ia tak pantas hidup sengsara. Kelak, dia perlu tempat tinggal yang nyaman, dia perlu makan-makanan yang bergizi, dia perlu mendapatkan pendidikan terbaik. Dan kau tahu, semua itu butuh uang. Gaji dari bekerja di restoran tidak akan cukup untuk memenuhi segalanya," lanjutnya.
Aku terdiam sejenak.
Lizzy benar, aku harus berhasil dan sukses demi putriku. Ia tak pantas terpuruk dan hidup menderita seperti ini.
"Lalu bagaimana jika aku tak lolos audisi?" tanyaku cemas
"Kau harus lolos, demi putrimu," jawabnya. Ia mempererat genggaman tangannnya.
"Hana, ayo kita mencoba yang terbaik. Ini kesempatan emas buat kita. Jika ini gagal, aku juga akan menyerah," ujarnya.
Kutatap perempuan mungil tersebut.
"Kapan audisinya?"
"Lusa."
***
Sehari sebelum audisi, aku dan Lizzy begadang di depan komputer demi mencari informasi tentang sosok Sean. Tidak banyak yang kami dapat dari internet, tapi setidaknya kami mendapatkan secuil info sederhana yang lumayan membantu.
Semacam, apa saja hobinya, hal-hal apa yang tidak ia suka, dan juga kebiasaan-kebiasaan remeh lainnya.
Dan dari internet juga akhirnya aku bisa tahu sosok lelaki itu.
Gambarnya terpampang di layar monitor. Sosok tinggi maskulin yang mengenakan jas lengkap, berdiri dengan gagah dan elegan, dihiasi senyum memikat yang terbentuk sempurna di bibirnya.
Mata coklatnya memikat dan...
Untuk sesaat, aku berhenti bernapas.
Wow.
Dia ... tampan.
Luar biasa tampan.
Dan aku terpesona.
***
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro