Chapter 8: Sudah, Cukup!
Keyword: Genggam
"Kau tahu hati? Hati wanita sangatlah rapuh. Sekali kau sakiti, sulit bagi mereka untuk memperbaikinya lagi."
__________
Alfred hampir saja tersedak oleh salivanya sendiri ketika mendengar pertanyaan dari Sarah. Pria itu menepikan mobil lalu berhenti.
"Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanya Alfred balik dengan ekspresi yang dibuat sebiasa mungkin.
Melihat reaksi Alfred yang sama seperti biasanya membuat Sarah menggaruk tengkuk kepala meski daerah itu tidaklah gatal.
"A-aku salah bertanya ya? Maaf," balas Sarah kikuk.
"Aku hanya memastikan dari mana kau mendapat berita seperti itu."
Sarah memutar bola matanya. Dia membenahi posisi duduknya, mencari posisi senyaman mungkin. Baru setelah itu dia menjawab, "Aku membaca artikel tentangmu di internet," jujur Sarah dengan nada gugup.
Alfred hampir saja kelepasan tertawa terbahak-bahak. Bukan soal kenapa, tapi Alfred merasa aneh saja saat tahu Sarah gampang termakan oleh berita yang belum tentu benar. Padahal sejak pertama bertemu dengan Sarah, Alfred pikir gadis itu adalah tipe gadis yang tak gampang digoyahkan.
"Aku pria normal," ucap Alfred akhirnya.
Sarah menoleh. "Sungguh? Lalu kenapa kau tidak meniduriku kemarin malam? Padahal sudah jelas sekali waktu itu benar-benar tak sadarkan diri. Lagipula bukankah pria kaya sepertimu suka berganti pasangan?" celetuk Sarah tanpa sadar.
Sarah langsung membungkam mulutnya dengan tangan. Dia benar-benar menyesali apa yang baru saja dia katakan barusan. Bagaimana mungkin kalimat menjijikan seperti itu bisa langsung meluncur bebas dari mulutnya?
Alfred menautkan kedua alisnya. "Jadi kau ingin aku menidurimu?"
Demi apapun! Alfred benar-benar tak berniat meniduri Sarah. Tapi melihat Sarah seperti tadi membuat dirinya ingin sedikit menggoda Sarah.
Seketika itu Sarah langsung menoleh. Dipelototinya Alfred sambil memposisikan kedua tangannya membentuk huruf X di depan dada.
"Bukan! Bukan itu maksudku." Sarah tergagap. "Maaf," lanjut Sarah.
"Aku hanya bercanda," tukas Alfred cepat, karena dia merasa tak enak dengan Sarah.
Kemudian laki-laki itu melajukan mobilnya lagi. Keheningan menyergap keduanya entah untuk keberapa kali. Alfred lagi-lagi hanya fokus menyetir, sementara Sarah masih kehilangan muka di hadapan Alfred.
Akan tetapi situasi seperti itu tak berlangsung lama, karena beberapa saat kemudian telepon genggam Sarah berdering. Gadis itu mengambil benda tersebut dari dalam tasnya.
Ada satu panggilan masuk untuknya. Namun, setelah Sarah melihat nama yang tertera dalam benda itu membuat dia enggan untuk menganggkatnya.
Satu kali berdering.
Dua kali.
Tiga kali.
Sarah menarik nafanya, kesal. Orang yang menghubunginya benar-benar keras kepala.
Sementara itu, Sarah telah mendengar Alfred berdeham. Dia yang merasa tidak enak dengan Alfred akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan balasan untuk si penelepon.
Tak lama kemudian, ponsel Sarah berdering kembali. Bedanya hanya deringan singkat, tertanda jika ada pesan masuk yang dia terima. Sarah membaca isi pesan tersebut. Kemudian dia menoleh menatap Alfred.
"Aku turun di sini saja," seru Sarah tiba-tiba.
Alfred terlihat heran. "Kenapa?" tanyanya.
"Salah satu temanku ada yang ingin bertemu," balas Sarah.
Alfred mengangguk paham. Lalu dia menepikan mobilnya lagi. "Apa lebih baik aku mengantarmu sampai ke tempat kau janjian dengan temanmu saja?" tawar Alfred.
Sarah segera menggeleng cepat. "Tidak! Tidak perlu! Aku ke sana sendiri saja," ujar Sarah seraya keluar dari mobil Alfred.
"Kau yakin?" tanya Alfred lagi setelah Sarah sudah berada di pinggir trotoar. Dia menundukan kepala menunggu jawaban Sarah. Berharap perempuan itu akan berubah pikiran.
"Iya."
"Baiklah kalau begitu."
Alfred memalingkan muka dari Sarah, kemudian dia melajukan kembali mobilnya menembus udara malam kota.
~~~ つ°ヮ°)つ ~~~
15 menit kemudian.
Sarah sudah duduk manis di dalam kafe tempat di mana dia telah membuat janji dengan orang yang menghubunginya tadi. Dia menoleh ke arah pintu masuk, tapi belum juga ada tanda jika orang yang dia tunggu datang.
Gadis itu mengeluarkan ponselnya lagi, hendak menghubungi si pembuat janji. Namun, belum sempat Sarah menemukan benda yang dia cari seseorang telah berhasil memotong aktifitasnya.
"Sarah?"
"Maaf aku terlambat, tadi aku masih terjebak macet."
Sarah mendongak lalu pandangannya bertemu dengan mata biru Maxime. Dia pun buru-buru mengalihkan pandangan lalu menarik nafas kasar.
"Memangnya kau pernah tepat waktu selama kita menjalin hubungan?" sindir Sarah.
"Aku benar-benar minta ma--"
"Cepat katakan apa yang ingin kau sampaikan!" potong Sarah dengan nada dingin.
"Aku ingin menjelaskan soal kejadian yang terjadi di dalam pertunjukan piano waktu itu."
"Oh ... kau ingin menjelaskan jika yang kulihat itu tidak seperti apa yang kupikirkan? Kau ingin katakan jika wanita itu bukan selingkuhanmu?" tandas Sarah menyahuti ucapan Maxime.
Wajah gadis itu mengeras karena menahan amarah. Dia sebenarnya ingin menangis, tapi dia sungguh tak sudi merelakan air matanya jatuh hanya demi pria brengs*k seperti Maxime.
Maxime sendiri juga telah mati-matian menahan amarahnya sejak tadi. Awalnya pria itu ingin berbicara baik-baik dengan Sarah. Namun, melihat reaksi Sarah yang tidak bersahabat membuat dirinya semakin naik pitam.
"Kenapa kau berbicara seolah hanya aku yang bersalah? Oke, aku memang salah telah menduakanmu. Tapi apa kau pernah berpikir jika kau juga dalam pihak yang salah? Coba kau pikir ulang, pria mana yang rela melihat pacarnya diam saja ketika dijodohkan dengan pria lain?!" ucap Maxime setengah berteriak.
Sontak tindakannya itu membuat pelanggan kafe yang dekat dengan mereka menatap keduanya dengan pandangan aneh.
"Jika kau tahu aku dijodohkan, kenapa kau tak berniat untuk memperjuangkanku? Kenapa kau justru keluar dengan perempuan lain? Sebenarnya kau mencintaku atau tidak?" tanya Sarah balik.
Cinta? Sepertinya Sarah telah bodoh menanyakan cinta pada Maxime, padahal sudah jelas dia telah dua kali menemui Maxime keluar dengan wanita lain. Itukah yang dinamakan cinta?
"Terserah! Aku memang selalu salah di matamu?" Maxime menyerah.
Dia membanting tubuhnya ke sandaran kursi kafe. Wajahnya memerah dengan rahang mengeras serta tangan yang dia lipat di depan dada. Kesal dan marah, dua kata itu cukup mewakili kondisi Maxime saat ini.
"Ya, kau benar. Kau memang selalu salah karena kau bukan seorang perempuan!" ketus Sarah seraya meraih tasnya lalu meninggalkan Maxime.
"Lihat saja kau akan menyesali perbuatanmu hari ini!" teriak Maxime tak acuh dengan pelanggan kafe yang sejak tadi menonton pertengkaran keduanya.
"Persetan!" ucap Sarah lirih.
__________
To be continued.
Wlee akhirnya bisa up hari ini. xD
Next? Besok yakkk ... 😂
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro