Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 10: Kunjungan Keluarga?

Keyword: Ilusi

Katanya cinta itu membawa bahagia. Tapi kenapa yang kurasakan justru luka?


__________

Tubuh terkapar tanpa daya di atas sofa. Mata sembab tanpa benih kesemangatannya menatap kosong ke arah televisi. Oh, jika biasanya manusialah yang menonton televisi, kali ini televisilah yang menonton manusia. Ya, begitulah Sarah sekarang.

Tangannya sesekali menyuapkan satu persatu stik nuttela. Entah sudah berapa kaleng nuttela yang telah dia habiskan, dia tidak peduli. Masa bodoh dia akan kelebihan berat badan akibat kebanyakan makan cokelat, yang penting dirinya bisa melampiaskan kekesalannya terhadap Maxime tanpa perlu mengeluarkan air mata.

Ya, itulah pegangan Sarah. Tak akan sudi mengeluarkan air matanya demi laki-laki, karena mulut laki-laki adalah sarang janji-janji yang penuh ilusi.

Bugh!

Ukh! Sesuatu yang berat berhasil mendarat sempurna di atas kepala Sarah. Benda kotak yang terbuat dari kulit binatang itu nyaris saja membuat tulang leher Sarah keseleo.

Gadis itu menggeram sambil bangun dari posisi awalnya. Dengan satu tangan mengusap kepala yang masih terasa pusing, dia menyingkirkan tas cokelat tua yang menimpuknya tadi.

"Hey! Apa kau tidak lihat ada orang di sini?!" seru Sarah setengah berteriak.

Dia menoleh, menatap seseorang yang telah berani mengganggu waktunya. Namun, bersamaan itu juga dia tahu bahwa orang yang baru saja mengganggunya adalah ayahnya sendiri.

Ivan--ayah Sarah--melambaikan kedua tangannya di samping telinga. Dia tersenyum aneh, begitu pula dengan ekspresinya. Niat awal, dia ingin menampilkan ekspresi cute di depan Sarah, tapi jatuhnya malah terlihat aneh karena pengaruh faktor usia.

"Berhenti melakukan itu, Papa." Sarah berucap sambil kembali menonton televisi.

Ivan mendekati Sarah, dia duduk di samping anaknya itu. Ivan yang masih berpenampilan rapi mulai melepaskan dasi dan kancing pergelangan tangannya.

"Apakah televisi lebih menarik daripada papa, hingga papa pulang saja kau tidak tahu?" sindir Ivan.

Sarah menoleh. "Tidak kok. Aku tahu kalau papa pulang."

Ivan mengerutkan dahi, menambah banyak kerutan yang sebelumnya memang sudah tercetak di dahinya. Membuat kedua alisnya membentuk satu garis linier.

"Iyakah?" Ivan memastikan. Soalnya jelas sekali tadi Sarah sedang melamun hingga tak sadar dirinya masuk ke rumah.

Sarah mengangguk. "Buktinya sekarang aku sedang bicara dengan papa. Itu tandanya aku memang tahu jika papa pulang," ucapnya seraya memasang cengiran kuda.

Ivan geleng-geleng melihat tingkah anaknya. Meskipun 3 tahun lagi dia berusia seperempat abad, tapi Sarah tetaplah Sarah yang dia kenal. Anaknya, princess-nya yang lucu dan berselera humor rendah.

Sarah berdeham melihat Ivan yang diam saja. "Papa ke mana saja beberapa hari ini? Mama seperti mayat hidup tanpa papa di sampingnya," curhat Sarah mendramatis keadaan ibunya.

"Oh, iya mama. Di mana dia sekarang? Papa belum melihatnya sejak sampai," tukas Ivan tak menjawab pertanyaan pertama Sarah.

"Kalau weekend seperti sekarang, tanpa ada papa, pasti jawabannya adalah mama ada di kamarnya, tidur," jawab Sarah.

Ivan menoleh cepat ke arah Sarah. Mengulang kembali ucapan Sarah, "Weekend?" Dia menyalakan ponsel, melihat hari dan tanggal yang tertera di layarnya.

"Loh? Ini sudah tanggal 13 Oktober?" tanyanya.

Sarah mengangguk. "Memangnya ada apa dengan tanggal itu?" tanya Sarah bingung.

"Seharusnya keluarga Alfred siang ini berkunjung ke sini. Mereka bilang weekend ini akan berkunjung ke rumah kita," jelasnya.

Berkunjung ke rumah?

Weekend ini?

Sarah bolak-balik mengulangi perkataan ayahnya. Dia melotot sempurna, sebelum akhirnya berkedip beberapa kali karena matanya mulai terasa perih.

"Untuk apa mereka kemari?" tanya Sarah setelah mengubah raut wajahnya menjadi biasa lagi.

"Tentu saja untuk mengunjungi calon menantu. Memangnya untuk apa lagi selain itu?"

"Tapikan--"

"Sudah cepat kau ganti penampilan. Jangan lupa rias wajah secantik mungkin," potong Ivan tak memberi kesempatan Sarah untuk melontarkan ketidakpuasan.

"Aku--"

"Papa akan menemui mamamu supaya bersiap-siap juga." Lagi-lagi Ivan tak mengizinkan sarah berucap.

Kemudian dia beranjak menuju kamar, menemui sang istri dan meninggalkan Sarah yang masih dalam keadaan seperti orang yang linglung.

~~~ つ°ヮ°)つ ~~~


Beberapa saat kemudian Sarah sudah berpakaian rapi dan cantik, setidaknya itu yang dia pikirkan. Dia bergabung bersama kedua orang tuanya di ruang keluarga. Pandangan yang dia lihat pertama adalah tangan ayahnya yang melingkar di leher ibunya, sementara Carlina bergelayut manja pada Ivan.

Dahi sarah mengkerut melihat orang tuanya. Mereka berdua terlihat terlalu santai untuk sekadar memberikan sambutan calon besannya. Sarah juga baru sadar, mamanya sama sekali tak menyiapkan makanan atau minuman. Semuanya terlihat terlalu biasa, seperti tak akan ada tamu yang datang.

"Kok kalian tidak siap-siap? Mama juga tidak menyiapkan makanan," tukas Sarah bingung setelah melihat kedua orang tuanya yang hanya mengenakan pakaian santai biasa.

Sarah mengambil duduk di hadapan Ivan dan Carlina. Mencoba menatap, ralat mengintimidasi orang tuanya sendiri.

"Kami tak perlu berdandan, karena tujuan mereka adalah bertemu denganmu," balas Carlina dengan senyum mencurigakan.

"Kau terlihat sangat cantik, dear," puji Ivan.

Sarah mendengus, curiga dengan gelagat kedua orang tuanya. "Lalu bagaimana dengan makanan? Kenapa mama tidak masak untuk mereka?"

"Kita bisa makan bersama di luar," balas Carlina cepat.

Sarah ber'oh' ria lalu dia mengeluarkan ponsel, bermain-main dengan dunia kepalsuannya sambil terus menunggu kedatangan keluarga Alfred.

Waktu terus berjalan. Matahari sudah  lengser ke arah barat. Sarah bahkan sudah menghabiskan beberapa episode drama kesukaannya. Namun, Alfred dan keluarganya belum juga datang.

"Ma, Pa, mana? Katanya mereka bakalan datang?" tanya Sarah yang sudah bosan menunggu.

Carlina yang tadinya sibuk dengan siaran televisi beralih menatap Sarah. "Sabar, sebentar lagi juga mereka datang," hiburnya.

Menunggu, menunggu dan terus menunggu. Sampai kapan aku akan terus menunggu? Sesekali aku juga ingin menjadi pihak yang ditunggu, celetuk Sarah dalam hati.

Sementara itu Ivan mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja depan mereka. Dia menekan beberapa kali layar ponselnya.

"Sebentar papa hubungi Bennedict dulu," ucap Ivan.

Ivan pura-pula menghubungi keluarga Alfred. Ekor matanya sesekali melirik Carlina sambil tersenyum jahil. Mereka berdua seolah sedang merencanakan sesuatu.

"Ah, papa lupa. Sebenarnya Bennedict sudah memberitahu papa kalau mereka membatalkan rencananya," ujar Ivan dengan nada sok serius.

Sarah memicing. Curiga dengan gelagat dua rang dihadapannya itu, dia pun mengerah. "Argh! Kalian mengerjaiku ya?" tuduh Sarah sarkas.

Kedua orang tua Sarah tertawa puas. Mereka ketahuan! Tapi tak apa, toh tanpa Sarah sadari, orang tuanya sudah mendapat sesuatu yang mereka rencanakan.

"Kami tidak berniat membohongimu, sungguh. Kami hanya ingin tahu seberapa serius kau menyetujui perjodohan ini," terang Carlina mencoba menjelaskan tanpa menyinggung Sarah.

Tapi Sarah yang sudah keburu kesal malah menghentakan kakinya keras lalu meninggalkan Ivan dan Carlina tanpa mengucapkan sepatah katapun.

__________

To be continued

Lebih panjang dari biasanya. 😅

Oh, ya ... maaf kemarin yang janjinya mau up dihari sama, enggak jadi. Soalnya kuota udah keburu habis dan baru bisa beli sekarang.😅

Sekalin lagi, maaf.
See you ...

Salam dari pacarnya Taehyung. 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro