Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - Ilusi Sebuah Mimpi

SEPERTINYA sang mentari masih malu-malu menampakkan rupanya. Dengan berselimut awan, ia bersembunyi di baliknya. Meskipun sang jago sudah berkokok sejak tadi. Sama seperti Zara yang masih setia bergelung dalam selimutnya.

Bunyi alarm dari ponselnya terus berdering sejak tadi. Sengaja, ia memasang alarm lima belas menit sekali dari jam empat subuh. Usahanya untuk bisa bangun pagi memang sepertinya semakin sulit dilakukan.

Mau tidak mau, Zara bangkit dari mimpinya dan kembali ke dunia nyata. Menyebalkan. Entah mengapa bagi Zara dunia mimpi kadang jauh terkesan lebih nyata.

Langit masih terlalu gelap untuk dibilang pagi. Sama seperti hatinya yang terlalu samar untuk dibilang bahagia. Siapa pula yang dapat membacanya? Perisai yang ia gunakan jauh lebih kuat dari besi yang mencoba meruntuhkan pertahanannya.

Zara mengerjapkan mata berkali-kali. Tangannya sibuk mencari benda persegi panjang yang terus bergetar dan mengeluarkan suara sejak tadi. Tangannya menekan layar, mematikan alarm yang terus berdering.

Setelahnya ia beranjak keluar dari singgasana tercintanya. Tubuhnya ia paksakan untuk terus berjalan menuju kamar mandi yang berada di pojok kamarnya. Kakinya menyeret karena ia terlalu malas untuk mengangkatnya barang secenti.

Namun dobrakan pintu yang sepertinya memang sudah menjadi rutinitas di setiap pagi membuat kantuk Zara menguap begitu saja. Satu teriakan lolos dari bibir Zara. Suaranya terdengar begitu nyaring dan memang sangat mengganggu ketenangan. "RYAN MALING SABUN PINTU KAMAR GUE RUSAK GIMANA?" 

Tentu Ryan pelakunya. Oh, dan untuk sebutan Ryan maling sabun memang benar nyatanya. Ryan sempat mengambil sabun stroberi milik Zara dan menumpahkannya hingga habis. "Yaudah ada tukang benerin pintu," Ryan kemudian melenggang pergi keluar setelah memastikan Zara benar-benar melangkahkan kakinya ke arah kamar mandi. "Cepet mandi terus sarapan, nanti telat lagi." Dan setelahnya Ryan benar-benar telah pergi.

Zara tidak tahu mengapa, lengkungan seperti bulan sabit pada bibirnya tercipta begitu saja ketika Ryan menutup pintu kamar Zara perlahan dan mendengar ejekan Ryan di pagi hari. Katanya,"Dasar manja." 

Setidaknya Zara masih dapat memastikan, bahwa Ryan masih sama seperti Ryan yang dulu ia kenal sebagai bocah kecil cerewet dan perhatian terhadapnya.

***

Dan Zara baru saja memulai lembaran baru dalam hidupnya. Pagi ini Zara masih menyempatkan untuk bercerita kepada Ryan mengenai mimpinya, seperti yang biasanya selalu Zara lakukan. Mimpi, mimpi, mimpi. Ryan bahkan sudah muak dengan satu kata itu. Namun disini, ia hanya bisa tersenyum kikuk dan merespon setiap cerita Zara. 

"Katanya kalau kita sering mimpiin orang yang sama berkali-kali, tandanya dia kangen kita? Masa sih Yan?" Zara mengakhiri ceritanya dengan satu pertanyaan konyol yang sudah pasti akan dijawab tidak oleh Ryan. Laki-laki di sampingnya kini memutar bola matanya malas. "Ngaco," katanya.

"Tunggu, gue juga pernah baca katanya bisa aja mimpi itu jadi kenyataan. Lo tau? Gue mimpi Dewa duduk di sebelah gue dan jadi kenyataan kan Yan? Sekarang dia jadi chairmate gue," Zara berkilah lagi. Sungguh rasanya Ryan ingin mati di tempat saja.

"Iya Ra, iya. Sekarang lo yakin kalo lo bakal satu kelompok praktikum sama dia? Karena lo mimpi satu kelompok sama dia?" Ryan bertanya dengan malas. Setengah hati karena telinganya semakin panas mendengar ucapan Zara. Egois? Ah terserah, yang jelas ia sama sekali tidak menyukai kalau Zara masih memiliki perasaan untuk Dewa. Jangan salahkan perasaannya saat ini, siapapun bisa menjadi egois ketika melihat orang yang disukainya berbicara tentang laki-laki lain di hadapannya.

"Gak ada yang gak mungkin kan?" Dan sejurus kemudian Zara sudah menghilang dari sisinya. Gadis itu berlari menuju pintu kelasnya ketika Dewa baru saja datang dari arah yang berlawanan. Bahkan disakiti berkali-kali pun tetap saja Zara bersikap seolah tidak ada yang terjadi di antara keduanya. Tidakkah Zara pun egois ketika yang ia lihat hanya Dewa seorang?

"Iyan! lama ih jalannya kaya kura-kura," teriak Zara membuyarkan lamunan Ryan mengenai gadis itu. Ryan dengan gontai berjalan ke arah Zara dan Dewa yang sudah kembali lagi dari dalam kelas setelah menaruh tas mereka.

"Mau kemana? Bentar lagi bel masuk," kata Ryan datar. Ia terus berusaha menjaga agar kalimatnya terdengar sedatar mungkin.

"Lah? Kan upacara hari senin." Zara terkekeh pelan. Ia menarik tas Ryan yang masih bertengger di bahu kirinya. Kakinya sedikit berjinjit untuk menyamai tinggi mereka. Dengan posisi seperti ini Ryan dapat merasakan napas Zara berada di lehernya. "Lo lama, nyebelin." Zara berjalan meninggalkan Ryan yang sudah membeku seperti manusia es. Gadis itu menaruh tas Ryan pada tempatnya dan berjalan keluar lagi, tapi Ryan masih berada di tempatnya.

Deheman Dewa pun mampu menyadarkan Ryan. "Lo aneh Yan," kata Dewa sebelum laki-laki itu pergi dan menarik tangan Zara untuk berjalan sejajar dengannya.

Ryan berdecak. "Bukannya kita sama-sama aneh?" 

***

"Yan? dapet nomor berapa?" Zara menepuk punggung Ryan dengan semangat. Hari ini diadakan pembagian kelompok praktikum yang akan dilaksanakan minggu depan. Dan pemilihannya tentu dengan cara mengundi nomor. 

Bukannya membalas, Ryan malah mengambil kertas Zara dan melihat angka enam di kertasnya. Nomor yang sama. Kemudian Ryan beralih mengambil kertas milik Dewa yang belum dibuka oleh laki-laki tersebut. "Gue nomor empat," kata Ryan dan langsung melenggang pergi mencari anggota kelompok lainnya.

Zara hanya dapat membeo melihat kepergian Ryan yang aneh. Cara bicaranya, gerak-geriknya sungguh tidak wajar. Dan bagaimana laki-laki menghela napas jengah sebelum pergi meninggalkan Zara. Namun semua analisa aneh yang berkelebat dalam benaknya hilang begitu mendengar suara Dewa. "Ra, nomor berapa?" kata laki-laki yang duduk di sampingnya kini.

"Enam," balas Zara tanpa ingin mengetahui nomor berapa kertas yang Dewa pegang. Karena, sejujurnya Zara masih memikirkan sikap Ryan yang kadang berubah aneh seperti tadi. Dewa tersenyum ketika melihat nomor yang tertera di kertasnya. "Kita sekelompok."

"Serius?!" teriakan Zara hanya dibalas anggukan Dewa dengan senyum lebarnya yang tentu tak kalah senang mendapat partner kelompok yang sesuai dengannya. Namun Ryan hanya menatap mereka dan mendengus geli melihatnya. Menyadari itu, Zara menatap Ryan dan menjulurkan lidahnya seolah ucapannya tadi pagi benar adanya, bahwa mimpinya jadi kenyataan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro