Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 - Hidup Dalam Mimpi

I still can't believe it. All of these seem like a dream

Is it true?
You...

It's too beautiful, so I'm afraid

- Butterfly by Bangtan Boys

MALAM ini Ryan masih sibuk dengan pikirannya. Meski jarum jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, mata Ryan tidak juga bisa tertutup. Iris cokelat madu miliknya tidak juga bisa terutup sejak dua jam yang lalu. "Satu tahun... Apa gue siap?"

Ryan berguling ke kanan dan kiri, berharap pikiran yang sedari tadi berkelebat dalam benaknya akan hilang. Ia tahu cepat atau lambat semuanya akan berubah. Sudah satu tahun semenjak dia pergi, dan jujur saja Ryan belum siap. Siap dalam hal apapun.

Kalau bicara tentang hati, jelas hatinya belum siap, tapi lebih tepatnya belum siap untuk menerima kenyataan pahit yang ia sudah tahu bagaimana akibatnya.

Harusnya Ryan sudah bisa mempersiapkannya, tapi sekali lagi, kalau bicara tentang hati. Siapa yang bisa memprediksi? Meski sudah mempersiapkan semuanya, kalau memang terasa sakit sudah pasti akan menjerit.

Tidak selalu bersuara, yang ini lebih nyata. Memendam jeritan dalam hati jauh lebih nyata, perihnya juga lukanya.

Mungkin memang seharusnya ia nyatakan saja waktu itu, tapi semuanya tertahan, setiap melihat mata sendu gadis itu, Zara.

Namun, kalau saja ia lakukan itu, bukan hanya hatinya yang akan sakit. Hati dia dan mereka.

"Shit!" erang Ryan kesal. Tangannya mengacak rambut hitam kecokelatan yang diwariskan dari Ayahnya sehingga semakin berantakan tak karuan. Sebuah deringan telefon membuat tangannya mau tidak mau harus meraih ponsel di atas nakas. Ryan tahu jelas siapa yang menghubunginya.

Ini adalah harinya, hari dimana semuanya akan berubah kembali.

"Ngapain lo telepon malem-malem?" Dengan nada tajam Ryan mengucapkan kalimat itu, tanpa mempersilahkan orang di seberang sana mengucapkan sekedar kata sapa.

"Di sini masih jam tujuh, lo gak inget perbedaan waktu Jakarta London?"

Ryan mampu mendengar tawanya. Dengan canggung Ryan membalas dengan tertawa renyah. Rasanya mau mengungkapkan satu kata dalam hatinya saja sulit.

Semuanya seakan tertahan oleh bongkahan batu yang begitu besar. Kalau saja Ryan berhasil menghancurkan batu itu, serpihan kecil bebatuan itu yang akan jauh lebih menyakitkan.

"Oh iya, besok sore gue sampe Jakarta. Lo bisa jemput gue kan Yan?"

Ck. Ryan berdecak dalam hati, namun bibirnya tetap menyunggingkan senyuman kecil. Meski sebal, tidak bisa dipungkiri kalau Ryan memang merindukan sahabatnya itu. "Lo kira gue supir? Tapi... boleh deh, asal lo traktir gue beli kebab."

"Sip bos!" Terdengar kekehan dari seberang sana, jeda beberapa detik dia menghela napas, pendek namun terdengar kegelisahan yang mendalam. "Tapi... gue belum siap pulang Yan." Begitu katanya.

Mendengar pernyataan itu membuat emosi Ryan naik seketika. Bagaimana bisa dia berkata bahwa belum siap untuk pulang setelah pergi tanpa alasan. Benar memang ia hanya lari dari masalahnya.

"Adit?"

"Bukan cuma itu, tapi, lo tau kan dia siapa."

"Zara," kata Ryan, setelahnya ia terdiam beberapa detik, napasnya seketika tercekat. "Jangan khawatir. Good luck!" Hanya itu yang bisa Ryan jawab. Tidak perlu jawaban panjang lainnya, karena semuanya sama, semuanya dusta. Sekali pun ia tidak pernah rela melepaskan Zara, lagi.

Untuk yang kedua kalinya Ryan mendengar helaan napas dari seberang sana. Tetapi kali ini berbeda, suara sahabatnya itu terdengar lega. Benar, tidak ada lagi kesempatan untuknya, entah itu hanya untuk membuat Zara bahagia, karenanya.

"Dewa," panggil Ryan ketika laki-laki itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun. "Gue mau lo janji sesuatu-"

Salahkah Ryan jika ia ingin membuat Zara bahagia? Salahkah Ryan jika ia mempertahankan perasaannya?

***

Duduk menatap jam dinding yang bertengger tepat di atas papan tulis, menghitung setiap detik yang terlewati seraya mengucapkannya dalam hati. Zara mengetuk-ngetukkan kuku-kuku panjangnya di atas meja, seolah suara detak jam dinding yang sedari tadi ia hitung seirama dengan ketukan jari-jarinya, juga dengan degup jantungnya yang berdebar-debar.

Zara menunggu. Hari ini waktunya.

Pukul tiga lebih sepuluh menit, sore hari, yang artinya lima menit lagi bel akan berbunyi nyaring. Mungkin itu memekakkan telinga, tapi itu adalah bunyi terindah dalam lingkungan sekolahnya. Dengan catatan bel itu berbunyi tiga kali.

Ryan yang memang tidak bisa atau tidak pernah bisa konsentrasi dengan pelajaran di depan melirik ke arah Zara. Tangan kirinya menopang dagu tajam miliknya, kemudian tangan yang satu lagi bergerak meraih tangan Zara yang menimbulkan bunyi menyebalkan di antara kesunyian dalam kelas dan ocehan guru sejarah di depan kelasnya.

Hal itu sontak membuat Zara menoleh. "Berisik," tegur Ryan yang dihadiahi cengiran dari Zara.

Belum sempat Zara membuka suara, seseorang dengan tubuh kecil namun suara maha dahsyat memanggil nama keduanya. Ya, maksudnya Zara dan Ryan.

"Anzara dan Ryan...," Seseorang dengan tubuh kecil yang tak lain tak bukan adalah guru sejarah mereka berjalan mendekat menghampiri meja paling belakang yang mereka tempati, tatapannya begitu sadis seakan bola matanya siap untuk keluar saat itu juga. Guru itu sempat mendengus sebelum melanjutkan bicara. "Enak ya pegang-pegangan tangan ketika saya menerangkan materi di depan?"

Pertanyaan yang terkesan memojokkan itu membuat Zara melempar tangan Ryan dan bergidik ngeri di detik setelahnya. Namun dengan santai Ryan tersenyum miring. "Iya bu emang enak," katanya.

Bodoh.

Malapetaka besar akan datang menghampiri mereka kali ini! Oh tidak, bahkan Zara masih lelah karena kemarin harus mendapatkan hukuman, lalu sekarang? Ia harus mendapat hukuman lagi karena ulah Ryan?

"Keluar dari kelas saya!" teriak guru itu membuat seisi ruang kelas terlonjak kaget. Bahkan yang sedang tertidur pulas sampai terbangun, meski ada yang melanjutkan tidur lagi

Bukannya mereka merasa bersalah atau apa, malah mereka bersorak dalam hati. pulang lebih awal lima menit juga merupakan kebahagiaan tersendiri. Apalagi mengingat Zara akan segera bertemu dengan dia.

***

Kalau diingat-ingat, dulu ia hanya setinggi bahu Ryan. Satu tahun telah membuatnya berubah, bukan hanya fisik, cara bicara dan bagaimana ia menatap seseorang.

Ah maksudnya, bagaimana ia menatap gadis di hadapannya saat ini.

"Yan, lo serius dia beneran Dewa kan? Gue gak mimpi kan?" Satu pertanyaan lolos dari bibir Zara, tangannya menarik-narik lengan kemeja sekolah Ryan. Membuatnya sedikit lecak.

Dengan satu senyuman yang ia tampakkan di sore hari ini, mampu menimbulkan perasaan yang berbeda dalam hati Zara. "He's too beautiful, i'm afraid," gumamnya dalam hati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro