3 - Karenanya Aku Menunggu
ZARA terus menampakkan wajah murungnya sejak pagi. Dimulai dari bangun kesiangan, tidak sempat sarapan, hukuman membersihkan lapangan indoor dan lebih parahnya ditertawai adik kelas karena ulah Ryan.
Pagi itu Zara dan Ryan tengah membenarkan letak bola-bola basket yang berserakan ke dalam keranjang besar yang tergeletak di tengah lapangan. Ryan terus mengganggu Zara selama masa hukuman mereka. Entah itu hanya menggelitiki gadis itu atau mengeluarkan kata-kata gombal yang membuat Zara jengkel. Seperti, "Ra tau persamaan lo sama upil?".
Zara menjatuhkan tubuhnya setelah berhasil membereskan semua bola yang berserakan. Meluruskan kakinya yang terasa pegal dan menatap langit-langit, menerawang. "Lo tau kenapa gue jadi manager basket sekolah kita?" Zara membuka suara. Namun suaranya terdengar lirih.
Dengan sigap Ryan menjatuhkan tubuhnya di samping Zara, membawa kepala gadis itu di atas pundaknya. Zara menangis, sudah pasti karena dia. "Kapan lo bisa lupain dia Ra?" Itu kalimat yang ingin Ryan tanyakan. Tapi tetap, ia hanya berkata, "Lo pasti bisa Ra."
Tidak perlu menjawab pertanyaan Zara, Ryan tahu maksud perkataan gadis itu. Andai, andai saja Zara melihatnya. "Udah ah, nangis mulu deh," Ryan mengangkat kepala Zara, ia tersenyum. "Gue yakin, semua perjuangan lo akan ada hasilnya Ra, dia bilang akan dateng kan Ra?"
Dusta.
Semuanya hanya rekayasa belaka kalau memang dia akan datang. Hati Ryan teriris kala Zara menganggukkan kepalanya. Ia percaya, mengapa gadis itu terus percaya pada semua mimpinya?
Basket dan Bratasena berelasi pada dia. Hanya karena dia Zara rela melakukan semuanya. Perjuangan demi bersekolah di Bratasena, perjuangan menjadi manager basket di Bratasena dan perjuangan menjadi ketua cheers di Bratasena. Semuanya demi dia, demi menjadi kriteria idaman dia.
***
Sudah lelah delapan jam berada di sekolah menimbulkan efek tidak baik pada Zara. Ditambah tugas yang tertinggal dan ia harus mengerjakannya ulang dalam waktu tiga puluh menit istirahat. Zara harus mengucapkan selamat tinggal pada makan siangnya.
Untung, Zara memiliki saudara seperti Ryan yang perhatiannya melebihi batas. Ryan mengajak Zara pergi makan setelah pulang sekolah dan traktir nonton yang membuat mood Zara naik drastis.
Sebenarnya Ryan lelah berjalan kesana kemari dalam sebuah mall. Membawa belanjaan Zara yang tidak bisa dibilang sedikit, membelikan gadis itu camilan manis kesukaannya dan menghabiskan sisanya karena Zara yang sudah tidak kuat memakan semua makanan miliknya.
"Ra, lo curang ya makan terus gak gendut-gendut, badan kecil pendek gini pantes aja selalu lo yang dilempar-lempar."
"Shut up! Bukan dilempar oke? Lo norak sih masa ketua cheers imut gini diejek-ejek." Zara mengibaskan rambut panjangnya ke belakang dan tersenyum. Manis. Zara memang manis, dan menarik.
Saat ini mereka berada di salah satu Restoran Jepang favorit Zara. Satu porsi ramen dan dua porsi sushi serta ice lemon tea tidak membuat Zara bermasalah dengan berat badannya. Itu semua habis Zara makan tanpa meminta bantuan Ryan. Padahal sebelumnya ia banyak sekali membeli camilan, meski lebih banyak Ryan yang menghabiskannya.
"Imut apa kurcaci? Pendek, tinggi gak nyampe satu setengah meter, badan kecil gitu tapi pipinya bulet kaya bakpao, untung lo gak gendut kalo gak lo bisa kaya kue bolu, bantet."
"RYAN! Formulir pendaftaran ekskul basket lo gak gue kasih ke Ka Dio kalo lo terus ledekin gue," ancam Zara dengan memegang kedua sumpitnya di tangan kanan dan kiri persis seperti ingin menerkam Ryan. Ryan terkekeh melihat ekspresi Zara, gadis di depannya ini selalu sensitif dengan ukuran tubuh. Tubuhnya kecil, pendek dan pipi gembul. Persis seperti anak SD.
Tangan Ryan bergerak mengacak rambut hitam legam Zara yang berponi, membuatnya menjadi sedikit berantakan. "Adik kecil, makan yang banyak ya...," kata Ryan dengan nada dibuat-buat. Zara mencebikkan bibirnya sebal.
"Formulir lo, gue bakar." Zara memeletkan lidahnya membuat Ryan semakin keras tertawa. Zara tidak benar-benar melakukannya. Zara bahkan tidak berani membakar sebatang korek api atau menyalakan pemantik api, bagaimana ia bisa membakar formulir Ryan?
"Udah ah Ra cape ngelawaknya, lo gak berani nyalain api oke? Selesai lo makan langsung pulang aja ya? Gue cape tau lo belanja buku banyak banget," kata Ryan yang hanya dibalas anggukan Zara. Sekali lagi Ryan mengacak poni Zara membuat gadis itu berdecak dan menggerutu, namun masih sibuk menghabiskan sisa makanannya.
Refleks kedua ujung bibir Ryan terangkat. Entah sejak kapan Zara memasuki hidupnya, membuatnya berubah, kemudian menghancurkan hatinya. Namun hari setelahnya Zara selalu mengisi harinya dan membuat Ryan terus tersenyum setiap melihat, atau bahkan hanya merasakan kehadiran Zara di sisinya.
Zara dan hal kecil tentangnya selalu menjadi hal paling menyenangkan untuk diingat-ingat setiap detiknya, meski yang gadis itu ingat hanyalah dia. Dan karenanya Ryan terus menunggu. Menunggu hingga hati Zara kembali utuh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro