Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

25 - Kotak Tersangka

Dewa selalu membenci permainan petak umpet. Permainan anak kecil zaman dahulu yang katanya kalau dilakukan di waktu Magrib bisa diculik kolong wewe. Setan legendaris yang selalu menghantui pikiran Dewa ketika masih secupu bocah ingusan.

"Kita kaya main petak umpet tau gak, De?"

Benar. Dewa mengakui itu sangat benar.

"Del, gimana lo sama Ryan? Udah baikan? Kemarin gue liat motor dia di rumah lo. Tadinya gue mau masuk, tapi takut ganggu." Dewa tersenyum jenaka. Mengalihkan pembicaraan tentangnya.

Yang ditanya malah misuh-misuh gak jelas. Senyumnya spontan terukir begitu saja ketika mendengar nama Ryan. Mengingat kejadian kemarin sore saat Ryan menyalurkan perasaannya membuat rona merah di pipi Adelia ikutan muncul.

"Nahloh, lo balikan? Gue kira dia masih mau nikung."

"Nikung?"

"Iya, kan Ryan suka sama cewek gue. Lo gak tau?"

"Mantan kali."

"Bangke."

"Gue tau kok. Waktu dia putusin gue juga dia bilang selama ini dia gak ada perasaan apa-apa. Walaupun dia udah berusaha buat jatuh, pada akhirnya selalu ada Zara yang nahan dia. Gue jahat ya De? Padahal Zara sahabat gue sendiri, tapi gue malah ngacauin semuanya."

Sesungguhnya ini benar-benar menyebalkan. Dewa harus banyak menjelaskan pada Zara. Gadis itu tidak mungkin percaya dengan mudah kalau Adelia memaksa untuk bicara. Hilang kepercayaan lebih tepatnya.

"Lo gak coba ngomong sesuatu sama dia? Dia seharusnya tau kalo ini bukan karena lo."

Namun Dewa tetap akan memancing Adelia lebih dulu tepatnya. Dia tidak mungkin langsung menawarkan tagan untuk mengajak Adelia menarik bantuannya. Lagipula semua masalah ini bersumber dari dirinya sendiri.

"Lo juga seharusnya kasih tau dia semua rahasia lo, De. Mungkin gue akan lakuin yang sama setelah lo ngaku kalo lo bohongin dia selama ini."

Dan ya ini yang terjadi. Dewa sangat tahu tapi dia tidak tahu harus memulainya dari mana.

"Sebelum Adit yang ngebongkar semuanya. Dan lo juga gak boleh egois karena Adit gak salah ngelakuin ini. Lo jadiin dia tumbal."

Dewa tampak tidak setuju dengan pernyataan gadis yang duduk di hadapannya saat ini. Kata tumbal yang Adelia berikan seolah mengoloknya bahwa dia adalah laki-laki paling cemen yang bersembunyi di balik batu.

"Lo bilang lo gak suka main petak umpet, tapi lo umpetin Adit dari Zara dan lo memanipulasi pikiran Zara kalo Adit yang ngehancurin semuanya."

Dewa semakin geram mendengar penuturan panas dari Adelia. Gadis itu tidak peduli Dewa mau semarah apa. Toh laki-laki itu tidak mungkin melakukannya di rumah Adelia yang terbilang ramai karena banyak keluarga berdatangan.

Ohya ini acara keluarga besar yang selalu Dewa benci.

"Adel sama Dewa ko gak gabung sama Adit dan Edeline?"

Dewa memutar badan ketika namanya disebut. Wanita paruh baya dengan gaun hitam dan selendang abu berjalan ke arah dimana Dewa dan Adelia duduk. Sofa ruang tengah yang tidak dijamahi keluarga lainnya.

Dewa akhirnya berdiri dan Adelia malah berjalan ke arah sebaliknya. Gadis itu pasti mau mengurung diri di kamar.

"Adel! Kamu kenapa malah ke kamar? Ini acara keluarga, sayang."

Yang berbicara itu Ibunya Adelia. Dewa hanya menggeleng melihat tingkah sepupunya itu.

Adelia terus berjalan tidak peduli Ibunya berteriak seperti apa. Dewa sebenarnya memaklumi tingkah gadis remaja itu. Harus melakukan banyak peraturan di rumahnya memang sangat menjengkelkan. Dan ini kesempatan emas untuk Adelia mengurung diri dari salah satu peraturan keluarganya karena Ibunya tidak akan berani membentak anaknya di tengah keramaian seperti ini.

"Duh bibi gak ngerti lagi sama Adel, semakin hari semakin menutup diri."

Desahan pelan dari Bibinya--panggilan tante untuk Ibunya Adelia-- membuat Dewa tertawa samar. Bukankah justru karena dirinya Adelia menutup diri seperti ini?

"Mungkin Adel butuh waktu, Bi." Dewa hanya tersenyum kaku dan berjalan mengikuti Bibinya ke arah taman belakang. Ada Kakek dan Nenek mereka yang tengah menikmati candaan para cucunya di gazebo. Dewa berjalan dengan gontai ke arah mereka.

Ada kembarannya di sana. Dewa membenci keadaan seperti ini.

"Tuh si kembar udah lengkap sekarang," sahut salah satu Pamannya yang sedang asik memetik gitar sedangkan Nenek bersenandung menyanyikan lagu lawas.

Acara klasik yang membosankan.

"Dewa main piano dong."

Kini Edeline, sepupu Dewa yang juga merupakan kakak dari Adelia, menyikut pundaknya pelan. Edeline sangat ceria, tidak seperti adiknya yang kelewat ganas. Adelia dan Edeline selalu bertolak belakang. Mungkin sama seperti Dewa dan Adit.

"Adit juga bisa main piano." Dewa mengangkat sebelah alisnya. Adit yang berdiri tepat di depannya menatap kakak kembarnya itu dengan heran. Dewa tidak pernah sekalipun menyinggung nama Adit dalam ucapannya.

Sepupu mereka sontak melihat ke arah Adit yang tersenyum kaku. "Ha? Enggak. Jagoan Dewa kok," balasnya pelan. Ia memang bisa, saat umur delapan tahun dulu Adit selalu membuntuti Dewa yang selalu larut dalam permainannya sendiri. Dan selalu ada Adit yang berdiri di sisinya mendengarkan lantunan nada yang Dewa ciptakan.

Adit diam-diam ikut mempelajari apa yang Dewa lakukan. Adit selalu mengikuti apa yang menurut Dewa baik dan apa yang terlihat keren pada Dewa. Bahkan sampai menjadi sosok kembarannya selama beberapa bulan.

Adit tidak mau lagi berdiri dalam kotak itu. Adit benci harus menjadi yang bukan apa dirinya. Ia muak terus mengikuti jejak kakaknya.

"Yaiyalah jagoan Dewa, tapi lo pasti bisa dong, Dit. Masa kembaran Dewa gak ada nyantol keturunan Dewa?" Edelin menyeletuk seraya tertawa. Ucapannya memberikan ribuan tusukan telak pada jantungnya.

Bagi siapapun yang melihatnya, Dewa adalah anak yang serba bisa. Dan Adit hanyalah adik kembar yang mendapat kelebihan dari sang kakak. Tidak lebih. Tidak akan pernah lebih hebat dari Dewa.

"Hush, gak boleh gitu. Adit sama Dewa sama kok. Gak ada yang lebih hebat. Mungkin memang kelebihan Dewa ada di sana dan ada kelebihan Adit yang Dewa gak punya." Kakek mereka tiba-tiba menepuk pelan lengan Edelin.

Gadis itu memamerkan deretan giginya dan memberikan dua jari di sisi wajahnya. "Hehe, maaf eyang kan Edel bercanda," ucapnya.

Adit hanya tersenyum kecut mendengar tanggapan keluarganya sendiri. Dewa pikir Adit selalu dimanja, tapi Dewa bahkan selalu mendapat pujian sedangkan Adit merasa terasingkan.

Dewa tidak pernah tahu kenapa selalu Adit yang dikhawatirkan ketika naik pohon saat umur mereka tujuh tahun. Dewa tidak pernah tahu kalau orangtuanya menganggap bahwa Dewa bisa melakukannya karena dia spesial.

Dewa juga tidak tahu kenapa Adit selalu diantar kesana kemari. Dewa tidak tahu kalau orang tua mereka khawatir Adit tidak mudah mengerti satu hal sedangkan Dewa adalah anak pintar yang dibanggakan.

Adit benci menjadi bayang-bayang Dewa. Adit benci berada di dalam kotak teramannya, menutup diri sebagai sosok kembarannya sendiri. Adit benci menjadi tersangka di dalam dunia Dewa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro