Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23 - Kita Bahagia

HUJAN di luar masih setia mengguyur jalanan, menimbulkan wangi yang paling Ryan sukai. Wangi hujan ketika tetesan itu jatuh membasahi aspal.Hanya rintik hujan, bunyinya seperti irama jantungnya. Beraturan dan tenang.

Ryan berjalan ke arah Adelia, gadis itu tengah terduduk di sofa ruang tamu dengan kaki terlipat. Dagunya menempel pada lututnya yang tak tertutupi sehelai kain pun. Adelia masih sama, ia tidak suka menggunakan piyama panjang ataupun kebesaran yang menutupi seluruh tubuhnya seperti yang Zara lakukan. Ia lebih suka memakai pakaian yang menurutnya nyaman dan tetap sopan.

Gadis itu dan segala hal sederhana yang ada pada dirinya pernah hampir membuat Ryan jatuh bebas. Andai ia bisa kembali ke masa itu. Mungkin seharusnya Ryan tidak mematahkan alur ceritanya.

Rumit, waktu yang saat ini lebih rumit.

Ryan menjatuhkan badannya di samping Adel. Ada jarak sekitar tiga jengkal dari tempat mereka duduk. Gadis itu masih fokus pada tontonan di televisi.

"Bunda mana Del?" Ryan membuka suara, canggung. Percobaan yang bagus, menayakan kabar orang tua sebagai bahan basa-basi.

"Pergi ke acara keluarga, sama Ayah," balas Adelia. Matanya tak lepas dari layar di hadapannya.

Perlahan Ryan menggeser tubuhnya, mendekat ke arah Adelia. Hanya satu yang ada di benaknya saat ini; mengulang kembali semuanya, memperbaikinya.

"Del, bantu gue." Suara berat Ryan terdengar begitu jelas di telinga Adelia. Pundaknya seketika terasa berat.

Tentu saja.

Ryan menyenderkan kepalanya di bahu Adelia.

Sebisa mungkin Adelia bersikap tenang, seperti sebelumnya. Namun yang ada malah degup jantungnya berdetak tidak normal, tidak seperti biasanya. Maka Adelia hanya terdiam. Karena jika ia mengeluarkan satu kata saja, sudah pasti terdengar aneh. Gemetar, suaranya akan bergetar tak karuan.

Salahkah jika Adelia masih menaruh perasaannya pada laki-laki tak tahu diri di sebelahnya ini? Cinta pertamanya, cinta pandangan pertamanya.

"Bantu gue lupain Zara."

Satu. Jantung Adelia berdetak dua kali lebih cepat dari kondisi tak normalnya tadi. Apa itu maksud Ryan?

"Bantu gue untuk jatuh."

Dua. Meski Adelia tidak mengerti apa yang Ryan maksud, tapi tiba-tiba saja perutnya mulas. Seolah kupu-kupu tengah berterbangan di perutnya. Geli dan menyenangkan dalam waktu yang bersamaan.

"Kasih gue kesempatan sekali lagi. Gue mau perbaiki cerita kita yang hampir hilang."

Tiga. Saat ini juga Adelia seperti terserang demam dadakan. Wajahnya memanas. Tubuhnya seolah merasakan aliran listrik dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Sungguh, perasaan yang membuncah ketika berada di samping Ryan benar-benar membuatnya gila! Dan dengan bodohnya gadis itu malah tersenyum mendengar penuturan Ryan.

Ia terhipnotis, lagi dan lagi. Tanpa tahu ada dalam keadaan yang seperti apa dirinya saat ini.

***

Apa yang bisa kalian harapkan dari sebuah pertengkaran? Saling bertukar maaf dan kembali seperti semula? Mendeklarasikan masing-masing perasaan? Oh rasanya begitu rumit dan tidak mungkin.

Zara menenggelamkan kepala di antara lipatan tangan di atas mejanya. Tertidur adalah pilihan yang tepat. Dalam hati ia menghitung mundur satu sampai sepuluh. Zara tahu siapa yang akan datang di pukul setengah tujuh pas saat ini. Zara tidak ingin membuat keadaan semakin canggung bukan? 

Langkah kaki yang semakin dekat dengan mejanya terdengar begitu horor di telinga Zara. Lalu apa yang terjadi setelah ini? Apakah Dewa masih sama? Ucapan selamat pagi yang begitu manis dan senyum khasnya yang menghangatkan? Atau keadaan canggung yang sangat memuakkan? 

Zara harap itu terjadi untuk kemungkinan pertama, mengingat Dewa adalah si orang yang akan membiarkan semuanya mengalir begitu saja dan masa bodo dengan apa yang terjadi kemarin. Oh kalian ingat bukan ketika Dewa dan Zara kembali bertemu lagi? 

Tidak, meski Zara sedikit benar tentang pemikirannya itu, tapi sebenarnya laki-laki itu hanya tidak ingin menunjukkan pada dunia bahwa dia sedang dalam keadaan berperang dengan hati dan pikirannya. Dewa bisa menjaganya. Ia bisa mengatasinya. 

Sayangnya waktu memang sudah berputar. Dan Dewa bukan lagi yang seperti itu. Dewa pikir itu adalah sifat terburuk yang ia miliki.

Setelah kejadian kemarin Dewa menyadari satu hal bahwa tidak sepantasnya ia menujukkan diri di hadapan Zara setelah ia mematahkan hati gadis itu, dan tidak mungkin saat ini ia malah bersikap seolah kemarin tidak ada apa-apa di antara keduanya.

Dewa tidak mungkin bersikap seperti biasa, mengucapkan salam pagi dan tersenyum pada Zara karena gadis itu pasti akan berharap seperti itu. Namun Dewa juga tidak bisa membuat keadaan di antara keduanya semakin canggung. 

Mungkin Dewa akan memikirkan apa yang harus ia katakan ketika Zara terbangun. Ya, dia harus jadi yang dewasa kali ini. 

Dalam hitungan detik Zara merasakan sentuhan lembut pada rambutnya. Dewa mengelus puncak kepalanya dan berkata, "Talk to you later, sleep well Zara."

Dewa tahu, Zara tidak tidur semalaman. Namun Dewa tidak pernah tahu kalau Zara sedang tidak tertidur saat ini dan gadis itu bisa merasakan kehangatan pada setiap kata yang keluar dari bibir Dewa. Juga dingin yang menelisik setiap pori tubuhnya ketika ia merasakan Dewa beranjak pergi dari kursi di sebelahnya dan keheningan menubruk pikiran Zara.

***

Mereka pernah berkata kalau sebuah perpisahan bermula dari sebuah pertemuan. Mereka juga bilang bahwa semua pertemuan pasti akan berakhir pada sebuah perpisahan. Tapi apakah sebuah perpisahan dapat berakhir dengan sebuah pertemuan yang selamanya?

Seperti mimpi. Ia datang sekejap lalu pergi. Mimpi hanya sebuah ilusi, ia berakhir, dan pertemuan baru dimulai. Sama halnya ketika Zara bermimpi Dewa meninggalkannya untuk yang kedua kali, dan saat ia terbangun, nyatanya Dewa masih ada di sisinya. Pertemuan yang baru, di hari yang baru, dengan perasaan yang sama seperti dulu.

Bisakah saat ini ia anggap ketika Ryan meninggalkannya, ia akan kembali? Bisakah ia anggap semuanya hanya mimpi? Kenapa semuanya terasa begitu tak nyata? 

"Ra, kenapa sih? lo jadi banyak ngelamun selama dua hari ini."

Ya. Zara hanya berpikir, bisakah ia bangun dari mimpinya saat ini?

"Gapapa, La." Zara menggeleng. Tersenyum tipis memastikan dirinya tidak apa-apa, karena memang tidak ada apa-apa pada dirinya sekarang kan?

Oh ini sudah dua hari semenjak kejadian sore itu. Ryan tidak lagi yang berjalan di sisi Zara dan Dewa. Bahkan cowok itu sepertinya tidak terlihat lagi batang hidungnya. Saat istirahat ia tidak dapat dideteksi keberadaannya, tidak ada yang tahu dia dimana. Saat pulang tiba-tiba dia sudah hilang begitu saja.

"Eh ko gue jadi sering liat lo bareng Dewa?" Lala tersenyum penuh arti sambil menyenggol bahu Zara pelan. Matanya menyorot seolah ada yang terjadi. 

Seolah mengerti kemana arah tujuan pembicaraan Lala, Zara kembali membuka suara. "Dia emang selalu sama gue ko La, ke kantin bareng, ke perpus bareng, biasanya gitu kan?" balasnya menekankan setiap kata. Sungguh, memang sudah seperti biasanya kan mereka terlihat bersama? Hanya saja, tidak ada lagi Ryan di antara keduanya.

"Yaampun Zara, gue tau kali kalo lo biasanya pulang dan pergi sama Ryan. Oke, lo emang selalu bareng Dewa, tapi cuma di sekolah. Dia yang ngajakin lo pulang bareng apa gimana Ra?" 

Zara memutar bola matanya, antara malas menjelaskan atau memang tidak ada niat memberitahu gadis di hadapannya saat ini.

"Baru juga kemarin gue pulang sama dia. Gue juga sering main ke rumah dia ko dan sebaliknya. So it means, kita ga cuma deket di sekolah. Dan lagipula, kita cuma sahabat oke?"

Bohong. Zara bohong. Dewa memang selalu mengajaknya pulang, tapi ia selalu alasan bilang bahwa ia ingin cepat sampai rumah jadi ia memilih pulang dengan motor bersama Ryan daripada menaiki mobil Dewa. Atau alasan lainnya seperti, "Lo kan belum punya sim De, serem ah". Padahal hal itu juga seharusnya berlaku bagi Ryan yang masih berumur enam belas tahun.

Lala tampak tidak percaya, tapi ia tahu kalau Zara memang tidak ingin menceritakannya. Rasanya ia ingin sekali saja Zara percaya padanya.

"Progress percintaan lo menyedihkan banget sih, Ra. Gue kira lo balikan sama Dewa." Lala mengerucutkan bibirnya. Tampak kesal dengan jawaban tidak memuaskan dari Zara sekaligus karena memang ia tidak terima Zara dengan alur ceritanya yang seperti ini.

Dalam hati Zara ingin menjawab "Ya, memang sangat menyedihkan", tapi Zara juga tidak ingin Lala bertanya lebih jauh.

"Makanya jangan urusin gue. Mending lo urusin perasaan lo buat Ryan, emang lo gak cape apa diem-diem suka gitu?" Zara mengangkat sebelah alisnya.

Lala sempat tersenyum bahagia ketika Zara mengucapkan itu. Oh Zaranya kembali! Yah meskipun dengan maksud ingin mengalihkan pembicaraan.

Namun detik setelahnya ia menyadari maksud kalimat Zara dan membalasnya lagi tak mau kalah. "Yee gak ngaca amat mba, emang lo sendiri gak cape apa diem-diem masih suka mantan? Lagian gue juga cuma suka-sukaan doang sama Ryan. Emang ya cogan kaya dia susah diraih," katanya kembali mengerucutkan bibirnya lagi.

Zata tertawa renyah mendengar penuturan Lala. "Gampang La, main ke rumah gue juga nanti bisa lo raih," balas Zara dengan santai.

Namun sepersekian detik setelah ia mengucapkan kalimat itu, melihat wajah sumringah Lala yang berubah drastis, dan seperti dijatuhkan beribu ton beban telak di atas kepalanya, pikirannya kacau seketika dan ia hanya bisa meurutki dirinya sendiri.

Tidak seharusnya Zara berkata itu pada Lala. Karena Ryan tidak akan lagi berada di rumahnya. Satu fakta menyebalkan akibat kejadian sore itu.

"Oke, Sabtu gue ke rumah lo. Jangan lupa sediain makanan dan cogan." Lala tertawa pelan sambil mengucapkan kalimat itu. Lala senang, tentu saja. Mungkin ini adalah awal dari kisah SMA yang menyenangkan baginya. Cinta pertama, cinta pandangan pertama, semua itu bukan hanya ada pada dongeng!

Tidak bagi Zara. Cinta pertama, cinta pandangan pertama, semuanya terasa memuakkan. Dan lagi, mungkin Zara harus menyusun alasan yang logis untuk Sabtu depan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro