Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19 - Mimpi Indah Sang Semesta

SEBENARNYA ada banyak cara agar gadis itu bisa mendengar penjelasan yang tidak pernah tersampaikan sejak dulu. Hanya saja, bagaimanapun caranya yang dilakukan atau berapa banyak cara agar ia mau mendengarkan, tetap saja gadis itu tidak aan percaya.

Percaya. Satu kata yang kebanyakan sebagian orang sering kali menyepelekannya. Namun bagaimana jika seseorang itu kehilangan sebuah kepercayaan? Hanya satu kata percaya yang susah didapatkan itu, bisa merubah seluruh hidup seseorang.

Begitu banyak hal yang seharusnya berjalan dengan semestinya tapi begitu banyak pula hal-hal yang membayangi di belakangnya.

Seharusnya ia bisa tersenyum bahagia lagi, bersikap seperti biasa, merasakan kehangatan di sekililingnya. Tapi sekali lagi percaya itu membuat dirinya berpikir, pantaskah ia dapatkan semua itu setelah menghilangkan kepercayaan dari seseorang yang sangat berharga bagi hidupnya?

Ini yang kedua kalinya selama bersekolah di Bratasena Adelia bertatap wajah langsung dengan Zara, gadis yang selalu ada di setiap fragmen memorinya. Antara memori yang seharusnya ia hilangkan dan rasa bersalah dari kejadian masa lalu yang menimpa gadis itu.

Semua itu kecelakaan. Tidak ada unsur sengaja meskipun pada awalnya memang iu semua adalah rencana. Tidak, Adelia tidak memgikuti alur permainan yang ada. Ia hanya si gadis polos yang begitu turut dan patuh sampai ia mengetahui fakta bahwa semua itu adalah kejahatan yang membahayakan sahabatnya sendiri.

Lucu sekali bukan? Menyalahkan? Mana mungkin ia lakukan. Berjuta alasan keluar dari bibir keduanya, intinya hanya satu, untuk kebaikan Adelia sendiri. Padahal sekalipun Adelia tidak pernah merasa lebih baik dari sebelumnya.

Adelia dengan ragu menatap sepatu yang dikenakan Zara, lalu beralih pada pergelangan kakinya. Satu kelegaan yang ia rasakan bahwa Zara tidak mengalami hal yang terlalu serius tentang kondisi tubuhnya tapi satu pertanyaan muncul di benaknya, apakah hal yang sebelumnya menimpa gadis itu membuat ia kehilangan kepercayaannya?

"Maaf." Spontan saja kata itu terucap dari bibir Adelia. Ia sungguh tidak pernah dan tidak akan pernah menyesali telah mengucapkan kata itu. Toh memang dari dulu satu kata itu yang selalu ingin ia ucapkan. Meski tidak dengan penjelasan yang membuat Zara percaya. Tidak juga untuk saat ini.

Zara berdecak dengan tatapan jengkel dan melepaskan tangan Adelia yang menahannya seraya berkata, "Apasih."

Adelia hanya bisa membatu melihat punggung Zara yang menghilang di ujung koridor. Zara tidak pernah tahu semuanya, tapi Adelia tidak bisa menyalahkan Zara yang tidak pernah mau mendengarnya.

Mungkin nanti, begitu yang selalu Adelia percaya. Nanti, Zaranya akan hadir lagi di hidupnya, bukan sekadar mimpi indah sang semesta.

***

Keadaan berisik di kelas selalu menjadi hal yang menyebalkan bagi Zara. Sialnya hari ini ia tidak bisa keluar kelas dan seenaknya berada di kantin.

Seharusnya Dewa berada di sebelahnya saat ini, tapi sepertinya ia datang telat. Mengingat semalam Zara dan Ryan mengacak-ngacak rumahnya. Mungkin ia masih kewalahan membereskan kekacauan dua sahabatnya itu.

Zara menyumpal kedua telinganya dengan headset putih miliknya. Dengan sengaja ia mengencangkan volume suaranya berhubung kelas begitu berisik.

Freeclass seharusnya menyenangkan, tapi ketika semua tempat singgah seperti kantin, perpustakaan, lapangan indoor, dan bahkan musholla dikunci dengan tujuan tidak ada murid yang keluar kelas benar-benar menjengkelkan. Seharusnya sekolah meliburkan semua muridnya, batin Zara kesal dalam hati.

Di tengah-tengah keasikannya menonton live performanc boyband kesukaannya, sesuatu menginterupsinya. Zara tahu siapa orangnya.

Tangan besar milik Ryan yang sangat Zara kenal itu dengan sengaja mengetuk-ngetuk layar ponsel Zara membuat video yang ia putar jadi berhenti dan terputar lagi berkali-kali.

Zara berteriak kesal seraya memukul-mukul tangan Ryan agar segera menjauh dari ponselnya. Semua mata tentu tertuju padanya. Ada beberapa yang tertawa kecil melihat keributan Zara dan Ryan yang sudah jarang terlihat.

Malah ada seseorang  menyeletuk dengan suara kerasnya, yang Zara pastikan itu adalah suara sang bendahara, Audy.

Rasanya Zara ingin menyumpal mulutnya dengan sepatunya saat ini juga. Yah itu juga kalau ia tidak mengingat bahwa Audy sangat besar omong. Zara hanya bisa pasrah, ia tentu tidak mau membuat masalah.

"Pagi-pagi udah pacaran aja!" Dan akhirnya gelak tawa mengisi ruangan. Zara hanya mendelik tak terima.

Zara sangat benci hal ini terjadi. Zara sebisa mungkin terlihat biasa saja karena ia tidak ingin menaruh harapan lebih pada Ryan. Zara tahu semua yang Ryan rasakan.

Zara tahu bagaimana perasaan sahabat kecilnya itu terhadap dirinya.

Ryan hanya tertawa renyah kala suara sepatu yang beradu dengan lantai mendekat ke arahnya. Sosok tinggi menjulang itu tengah tersenyum seolah tidak mendengar apa yang sebelumnya terjadi di kelas.

Dewa tahu bahwa semenjak ia pergi, semuanya telah berubah. Begitu juga dengan persahabatan ketiganya. Bahkan sebelum ia dan Zara memiliki hubungan konyol itu, Dewa tahu bahwa suatu saat semua hal seperti ini akan terjadi.

Dewa dengan santai menaruh tasnya di samping Zara, dan menempatkan dirinya di sana. Namun Zara tidak pernah sadar kalau sebelumnya Dewa melihat apa yang terjadi, Zara pikir semuanya tidak terlihat, ia pikir semuanya baik-baik saja. Zara pikir, Dewa masih menutup apapun darinya bahkan untuk hatinya.

Zara tidak pernah tahu kalau semuanya hanya pikirannya.

"Ko telat?" Zara membuka suara. Kejadian sebelumnya benar-benar membuat Zara dan Ryan canggung. Ia hanya ingin memecah suasana menyebalkan itu.

"Anterin Adit ke sekolah barunya, nitipin Chloe ke tetangga, beli makanan buat Chloe," jawab Dewa dengan suasana seperti biasanya. Ia sebisa mungkin terlihat biasa saja di depan Zara dan memamerkan senyum sejuta wattnya.

"Dih, kucing mulu yang dipikirin sampe telat segala," cibir Zara yang mendapat balasan tawa renyah dari Dewa. Tangan besarnya dengan bebas mengacak rambut Zara pelan. Semua hal yang biasa ia lakukan juga Ryan lakukan kepada Zara, tapi entah mengapa terlihat begitu menyakitkan bagi Ryan yang menatap keduanya seolah mereka sedang dimabuk cinta.

"Lagian gak ada guru, jadi telat juga gak bakal ketahuan." Dewa menampilkan kembali cengiran khasnya. "gak usah cemburu gitu deh sama kucing," ucapnya di akhir.

Zara hampir tersedak walaupun ia sedang tidak makan atau minum. Tersedak udara sepertinya.

Sungguh, bahkan satu kalimat seperti itu saja mampu membuat wajah Zara merona merah sampai ia merasakan kehangatan pelahan menjalar ke pipinya.

Zara harap Dewa melanjutkan bicaranya. Zara harap. Ya harapan itu hanya menjadi sekadar harapan karen ketika Dewa hendak membuka mulutnya, Ryan malah bersuara.

"Eh lo tau gak kalo tempat duduk bakal dirolling?" Ryan dengan seenaknya msnginterupsi momen Zara dan Dewa yang sangat langka terjadi. Seolah masa bodo dan tidak peduli ia tidak menuggu keduanya menjawab malah melanjutkan lagi ingin memberi tahu.

"Katanya biar berbaur gitu, trus lo harus tau Ra." Ryan berbisik pada kalimat terkahirnya. Perasaan ingin melempar Ryan jauh-jauh hilang begitu saja karena rasa penasarannya.

Zara mencodongkan tubuhnya ketika Ryan hendak membisikkan sesuatu, diikuti Dewa yang juga ingin tahu.

"Ada yang cemburu liat lo bertigaan mulu sama kita."

Detik setelahnya yang Zara dengan hanyaah gelak tawa Dewa dan Ryan bersamaan.

Zara memutar bola natanya malas. "Jir dikira apaan aja, lebay banget si," gerutu Zara terang-terangan. Jelas saja, Zara berbicara cukup jelas atau bahkan sangat sangat jelas.

Zara tidak peduli dengan tatapan mengintimidasi teman sekelasnya. Memang Zara terbilang cukup pendiam dan tidak terlihat berbaur dengan teman di kelasnya kecuali Ryan, Dewa, dan beberapa anak yang setipe dengannya.

Zara seringkali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan apalagi kalau sudah membahas apa yang mereka sebut cogan sekolah sebelah.

Bagi Zara, laki-laki yang dekat dengannya hanya Ryan dan Dewa. Dan orang yang ia suka hanya keduanya, bukankah mereka sahabat kecil Zara?

"Tapi gue gak mau ihhh." Zara menggerutu lagi dan lagi. Kali ini mendapat persetujuan dari Dewa.

"Gue suka bingung duduk dimana kalo diacak-acak, ribet." Ya, begitu komentar Dewa yang membuat Zara merasa seperti mendapat harapan tak jadi.

Zara pikir Dewa masih ingin duduk di sampingnya. Ah itu khayalan macam apa?

"Gue maunya duduk sama Dewa!" protes Zara sangat jelas.

"Dih, lo kan cuma mau nyontek prnya dia aja kan? Ngaku lo." Ryan menyentuh kening Zara dengan telunjuknya.

Zara mencebik, menyingkirkan jari telunjuk Ryan. "Gue gak pernah nyontek ihhhh," gerutu Zara.

Di sisi lain Dewa benar-benar ingin segera lenyap melihat kedekatan keduanya. Jujur saja sejak dulu dirinya tidak pernah sesantai itu bicara dengan Zara.

"Ah gak usah kasih tau alesan lo mau duduk sama Dewa. Gue muak dengernya." Entah mengapa Ryan begitu saja mengucapkan kalimat itu.

Zara terkesiap beberapa saat mendengar penuturan Ryan. Ada banyak perasaan bersalah menggerogoti hatinya. Apakah perasaannya yang masih tersimpan sejak lama itu malah menyakiti sahabat kecilnya?

Atau seharusnya Zara melupakan semuanya? Karena sedikit harapan bahwa Dewa masih menyimpan perasaan untuknya saja seakan benar-benar tidak ada. Apakah waktu yang berlalu sebelumnya membuat keadaan benar-benar berubah?

Bolehkah ia berharap bahwa semua yang ia jalani saat ini hanyalah mimpi buruk semata? Kalau iya, bolehkah ia bangun dan melanjutkan kehidupannya yang nyata? Tapi apakah mimpi itu akan nyata jika bertahan?

Tidak, lebih tepatnya, apakah kini ia hidup dalam mimpi-mimpi?

Ya, mereka berharap ini hanya mimpi. Mereka ingin mimpi ini bertahan namun ingin segera terbangun ketika justru itu yang membuatnya hancur.

"Gue gak butuh mendengar pernyataan perasaan lo kagi Ra, karena itu menyakitkan."

"Harusnya gue bisa lupain perasaan gue buat dia, kaya yang dia lakuin saat ini. Mungkin gue gak akan menyakiti perasaan Ryan, dia terlalu baik untuk itu."

"Mungkin emang gak akan ada harapan buat gue untuk kembali. Gue... apa pantes meminta hatinya ketika dulu justru gue yang menghancurkan hatinya?"

Mereka ingin terbangun, dan berlari. Namun mereka takut, ketika terbangun, semuanya justru akan hilang dan lebih menyakitkan.

Sayangnya hidup ini bukan permainan. Tidak ada kata pause dan redo dalan kamus hidup. Tidak ada mengulang ketika nyawa terancam dan memikirkan strategi yang lebih baik agar tidak saling menyakiti.

Bertahan itu mudah. Berlaku jujur dengan perasaan sendiri justru yang membuat frustasi.

Sang semesta ingin bermimpi indah. Namun bintang kecilnya, langit malam yang kelam, dan bulan yang mulai meredup saling mengkhianati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro