17 - Satu Sama Lain
Can you hear our sad cries?
We held it in and endured through endlessly
Even when darkness came while walking on this far path
We held hands and were always together
Crying Out (Scream) - Do Kyungsoo (Cart OST)
***
Pukul sebelas malam dan seorang Dewa Aditya Putra masih terjaga di atas motornya, membelah jalanan kota di malam minggu yang menurutnya kali ini terasa begitu hampa.
Satu per satu nama seakan menabrak dan menghimpit pikirannya, mendesak memaksanya untuk terus mengingat pada kejadian beberapa tahun silam.
Dewa benci dengan keadaan seperti itu. Belum lagi dulu umurnya terbilang sangat kecil untuk dikatakan memiliki hubungan lebih dari pertemanan dengan seorang perempuan. Bukankah itu konyol? Memiliki pacar di bangku SMP, berlagak dunia seakan runtuh ketika ada pertengkaran di antaranya?
Ini beda, Zara adalah sahabatnya sejak kecil. Dan Dewa menyakitinya dengan hubungan bodoh dan tidak masuk akal.
Oke, perasaan mereka tidak pernah bisa dikatakan bodoh, Dewa benar-benar menyayangi sosok perempuan itu, Anzara. Entah itu karena hanya ada Zara di kelilingnya atau hanya ada Zara yang ia lihat. Tetapi, semakin tambah usianya, Dewa menyadari bahwa ia benar-benar menyayangi Zara bahkan lebih dari seorang sahabat.
Masa bodo dengan yang berkata, ini cuma cinta monyet atau apalah itu. Kalau hatinya berkata satu nama saja? Haruskah ada yang lain?
Di tengah-tengah keramaian jalanan ini Dewa malah merasakan keheningan di sekelilingnya. Motornya terus melaju sampai pada sebuah taman yang tak jauh dari sekolahnya. Tempat yang selalu menjadi kenangan tersendiri baginya, Zara, dan Ryan, sahabat kecilnya.
Setelah meminggirkan motornya, Dewa melangkahkan kakinya mendekat pada sebuah bangku kayu yang masih sama seperti empat tahun lalu. Ketika mimpi-mimpi mereka yang terangkai seperti sebuah janji, ketika tidak ada kata pengkhianatan di antara ketiganya, atau pun sekadar rahasia kecil yang disembunyikan. Dan ketika Dewa dipaksa memilih untuk berdiam diri atau jujur dengan keadaan yang pahit.
"Dewa liat deh! Itu sekolah impian aku!"
"Ryan! Ih buruan jalannya Iyan lemot!"
"Apaansih masuk sana sih gampang! Bilang aja sama kakek aku!"
"Kita tuh harus usaha dong buat ngeraih mimpi kita! Iyan keseringan hidup enak sih. Nyebelin!"
"Ayo kita ke sana, kita janji akan sekolah di sana."
"Eh? Kalau Dewa sih gampang masuk sana, pinter! Aku? Boro-boro, ulangan matematika aja remedial tiga kali."
"Hahaha, kamu harus optimis dong Ra. Katanya sekolah impian?"
"Ryan gak mau ke sana. Bosen. Mau ke sekolah yang lain aja."
"Loh? Kenapa?"
"Aku gak tau harus bilang apa kalau ketemu Mama. Kecuali kalau dia pensiun jadi kepala sekolah! Emang Dewa gak mau ketemu sama Mama kamu apa? Kalo kamu sekolah di Bratasena kamu malah semakin jauh sama Mama kamu, apalagi Papa kamu juga di luar kota terus, sama aja kaya Papa aku. Mereka semua nyebelin!"
"Mama sama Papa sama aja, mereka lebih sayang sama Adit. Katanya mereka sibuk, tapi setiap denger nama Adit, rasanya kesibukan mereka hilang gitu aja. Katanya aku harus ngalah, aku lebih tua, aku lebih dewasa."
"Aku... mau ketemu Ayah. Kalian enak ya masih punya Ayah?"
"Mamaku sendirian di rumah, Mama kalian enak ya bisa ikut ke luar kota sama Ayah kalian? Ayah aku perginya terlalu jauh."
Dewa menjatuhkan dirinya di atas bangku itu, menengadahkan kepalanya menatap langit yang semakin gelap. Ada beberapa bintang terlihat di sana, seolah mereka tahu isi hatinya untuk sekadar menemani.
Kini sosok lain kembali menyerang ingatannya. Memori lama berputar bersamaan dengan potret kedua orang tuanya dalam benak Dewa. Dan di antara kebisingan dalam benaknya, Dewa dapat menemukan satu suara menyebut namanya.
"Dewa?"
Sontak Dewa menoleh. Gadis itu, terbalut piyama dan jaket yang setidaknya menghangatkan tubuhnya. Dewa menatapnya sampai ke ujung kaki, dan mendapatkan gadis itu masih mengenakan sandal bulu yang biasa ia pakai di dalam rumahnya.
"Zara? Kok di sini? Ini udah malem banget." Nada suara Dewa terdengar begitu khawatir. Pasalnya, ini sudah lebih jam sebelas malam dan ia malah menemukan Zara seorang diri di taman dekat sekolahnya yang terbilang jauh dari rumah mereka.
"Eh? Cari angin!" Zara menggigit kuku-kuku mungilnya karena gugup. Tidak mungkin kan ia ketahuan keluyuran tengah malam begini? Yah walaupun sebenarnya ia tidak bohong juga, Zara benar-benar ingin mencari udara segar daripada harus berdiam diri di kamar dengan berbagai pikiran yang terus menghantuinya.
"Cari angin sejauh ini?" Kini Dewa bertanya menyelidik. Alisnya mengangkat sebelah dan matanya terus menatap Zara tepat di maniknya. Membuat gadis itu terdiam seribu bahasa.
"Y-ya, Dewa kenapa di sini?" tanya Zara spontan. Tangannya menunjuk-nunjuk Dewa, kebiasaannya sejak kecil kalau ketahuan membohong atau sedang gugup.
Zara dengan cepat memalingkan wajahnya ketika Dewa berjalan mendekat ke arahnya dan bukannya menjawab pertanyaan Zara. Matanya ia arahkan pada kakinya yang ternyata masih mengenakan sandal berbulu yang seharusnya dipakai di dalam rumah.
Zara tampak membulatkan matanya ketika sandal kesayangannya itu terciprat lumpur pada bagian ujungnya. Memang, jalanan yang sebelumnya diguyur hujan itu masih becek dan cipratannya mengenai sandal Zara bahkan sampai terkena celana piyama panjang yang ia kenakan.
Zara menghembuskan napasnya lelah. Dengan suara pelan ia menggerutu. "Kelinci Zara kotor... huhu nyebelin."
Angin malam berembus mengenai rambut Zara membuat poninya sedikit berantakan. Meski seratus persen yakin bahwa Zara akan membenarkan rambutnya dulu dibanding mengurusi sandalnya, tapi saat ini Zara malah terus memandangi sandalnya. Alasannya hanya dua; satu, ia tidak mau menatap wajah Dewa, karena dua, saat ini Dewa malah menggenggam tangannya erat.
Zara mampu merasakan kehangatan di antara dinginnya malam, meski jarak berdiri mereka cukup jauh. Zara mundur selangkah memastikan degup jantungnya masih berdetak normal. Bukan, bukan maksud untuk menghindar. Namun Dewa malah menyalah artikannya.
Dengan gugup dan hati-hati, Dewa melepaskan tangannya, mundur selangkah dan bersamaan dengan itu Zara mendongakkan wajahnya menatap Dewa penuh tanda tanya. Juga harapan yang tidak pernah Dewa sadari.
"Ayo pulang." Kini Dewa mengacak rambut Zara pelan, menepuknya sekali dengan pelan sebelum berbalik badan menjauhi pandangan dari Zara. Dan gadis itu hanya bisa membuntuti dari belakang, memilin ujung jaket yang ia kenakan. Jaket itu tidak terlalu tebal, bahkan Zara sudah mulai menggigil kedinginan dan menutupinya sebisa mungkin.
Dan Dewa menyadari hal itu, hal kecil yang tidak terlihat yang selalu Dewa tahu, meski tidak sekali saja Dewa mampu menilik hati Zara. Dengan kecepatan kilat Dewa berbalik lagi membuat Zara refleks menghentakkan tubuhnya kaget.
Ada jeda beberapa detik sebelum Dewa melepaskan jaketnya, tapi sebelum sempat Dewa menjalankan maksudnya, sebuah sweater abu-abu terlempar begitu saja tepat Zara menangkapnya.
Kembangan senyum di wajah Zara membuat Dewa berbalik badan dan mendapatkan Ryan dengan cengiran khasnya berjalan ke arah mereka.
"Buset dah malem-malem deket sekolah, kalian berdua abis uji nyali?" celetuk Ryan mencairkan suasana. Ryan tahu Zara tengah gugup dan tidak tahu harus berbuat apa karena memang Ryan sudah melihat adegan kedua sahabatnya itu beberapa waktu lalu.
Zara mengambil kesempatan ini untuk mengalihkan pandangannya dari Dewa, setelah memakai sweater milik Ryan, Zara melangkahkan kakinya menjauh dari dua laki-laki itu seraya berkata. "Bintangnya banyak banget!" pekik Zara dengan tawa renyah. Lantas ia menjatuhkan badannya di atas kursi kayu yang satu-satunya tempat tidak basah di sana. Mengingat hujan deras sore tadi.
Senyumnya masih mengembang, semula hanya senyum paksaan dengan maksud menjauhi Dewa dan Ryan, tapi pada akhirnya pun senyum itu mengembang dengan sendirinya.
Angin malam yang segar, bintang yang lebih banyak dari malam biasanya, kedua sahabat di sisinya, dan memori akan mimpi mereka yang saat ini benar-benar terwujud.
"Inget gak sih gue pernah nangis di sini?" Zara membuka suara, memulai percakapan yang sepertinya malah tak tahu dimana ujungnya. "Kalian bilang Ayah kalian sibuk sedangkan gue--"
Lalu pada akhirnya Dewa dan Ryan hanya bisa mengangguk pelan. Dan detik setelahnya mereka membawa Zara ke dalam pelukannya ketika menyadari isakan kecil keluar dari bibir gadis itu.
Berbagai kalimat janji lainnya seolah menjadi penopang Zara untuk tinggal, alas untuk berdiri, dan arti untuk segalanya. Yang Zara tau saat ini, meski tak ada sosok Ayah yang bisa memeluknya erat, Ryan dan Dewa akan selalu di sisinya. Dan setidaknya, untuk sampai saat ini, tidak ada kata pengkhianatan pada janji tersebut. Pun tak ada kata pergi yang tersirat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro