13 - Bagian Dari Dirinya
More insecure, more dangerous
So bad, us
Enduring more, holding out
So hard, it's collapsing again
- House Of Cards by Bangtan Boys
***
RYAN harus menghadapi masalah di Sabtu pagi ini dengan tenang ; menginap di rumah Dewa karena orang tua Ryan tidak pulang sejak kemarin sampai besok, maka di sinilah Ryan mencari tempat menginap, dan dengan dihadapi sebuah informasi yang datang seolah seperti ledakan bom tiba-tiba.
"Lo udah tau tentang Adit?"
Sungguh tidak bisa dipercaya, Ryan yang mulai panik menanyakan keberadaan Adit tapi Dewa hanya terdiam memandang langit-langit kamarnya.
Dewa pun berguling ke arah kiri, memunggungi Ryan yang sudah semakin kehilangan kewarasannya. Dewa hanya menghela napas dan memejamkan matanya sekedar mencari ketenangan. Dewa tahu ini adalah masalah besar, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang? Tidak ada.
Miris sekali mengetahui keinginannya untuk kembali memperbaiki semuanya namun tidak ada sedikit saja daya untuk bangkit.
"Gimana bisa lo nyantai gini sedangkan hubungan lo sama Zara lagi ada di ujung tanduk? Jangan pikir gue gak tau kalo lo masih nyimpen perasaan sama Zara, dan lo mau relain dia gitu aja?"
Dewa masih terdiam. Namun kini ia berdiri dari posisinya, terduduk di atas ranjangnya menghadap Ryan dengan tatapan datar.
"Lo tau kan kalo Zara masih suka sama lo? Gue gak peduli kalo Adit itu kembaran lo, gue gak akan tinggal diam kalo dia berani nampakkin wajahnya di hadapan Zara."
Kembaran. Satu kata menyakitkan seumur hidup Dewa. Fakta yang satu itu seakan menghantui setiap langkah yang Dewa ambil, sebagian dirinya adalah dia, tapi jejak langkah mereka tak pernah seirama.
"Bukannya bagus kalo Adit berhasil ketemu Zara? Terus dia ngehancurin hubungan gue dan Zara dan setelahnya pergi. Itu kan yang dia mau?" Dewa mulai membuka suara. Bukan kalimat yang Ryan ingin dengar.
Dengan waktu kurang dari sepuluh detik setelah Dewa mengatakan hal bodoh itu, Ryan menarik Dewa bangun, mencengkeram kerah kaus polo yang ia kenakan. Menatap Dewa dengan tatapan tajam sampai rasanya hati Dewa ikut merasakan tajamnya kedua mata itu hingga terasa ngilu.
Dewa menatap Ryan dengan tenang. Meski tidak sebenarnya, ia sudah lelah. Semua usahanya sia-sia kalau akhirnya ia akan menyakiti seseorang lagi.
"Dan lo bisa jaga Zara, gue akan nyerah. Gue gak akan nyakitin lo, Yan."
Ryan mengendurkan cengkramannya. Ucapan Dewa seakan menjadi sebuah ujung tombak yang langsung menusuk tepat pada kesadarannya. Ryan hampir kehilangan kewarasannya saat ini, dihadapi masalah mengenai kepulangan Adit, Dewa yang memberikan respon bertolak belakang, dan perasaannya yang terbongkar secara tidak lansung melalui bibir Dewa sendiri. Hal terakhir adalah hal yang paling Ryan benci, ia tidak mau menyakiti Zara maupun Dewa.
"Kita bukan bocah SMP lagi Yan. Dan gue belajar untuk ngerelain apa yang gue sayang untuk orang yang bisa ngejaganya lebih baik dari gue." Dewa terus berbicara, tapi Ryan hanya mampu terdiam.
"Gue tau lo suka sama Za--" Dan sebelum pertanyaan itu lolos dari bibir Dewa, Ryan menghantam Dewa dengan kepalan tangannya, tepat di wajah. Ryan tidak akan sanggup mendengar penuturan Dewa. Ryan selalu bertekad bahwa ia yang akan mengatakannya secara langsug sendiri, bukan begini, dengan menghancurkan persahabatan mereka.
"Gue gak akan lepasin orang yang gue sayang gitu aja, dan seharusnya lo ngelakuin hal yang sama," desis Ryan sebelum berbalik badan meninggalkan Dewa yang sudah terjatuh tersungkur di atas ranjangnya dengan luka biru di sekitar bibirnya.
Dewa sedikit bersyukur bahwa kedua orang tuanya tidak ada di rumah atau kalau tidak, mereka akab menyaksikan keributan ini dan semakin memperburuk keadaan.
***
Cahaya yang masuk melalui celah-celah jendela kafe pagi ini sedikit mengganggu penglihatan Zara. Sudah jelas Zara lebih memilih untuk tertidur di kamarnya seharian daripada harus duduk sendirian dengan segelas machiato dingin di kafe dekat sekolahnya. Tapi latihan cheersnya memaksa Zara untuk bangun pagi dan melupakan semua bayangan indahnya mengenai movie marathon dan semangkuk penuh berisi popcorn caramel. Berhubung sebentar lagi akan ada kejuaraan tahunan dan inilah kesempatan pertamanya mengikuti kejuaraan ini sebagai ketua cheers dari Bratasena International High School.
Sudah yang kelima belas kali Zara mengangkat gelasnya dan menyesap minuman miliknya perlahan--yang dilakukannya agar minumannya tidak cepat habis-- dan sudah yang ketiga kalinya Zara mengecek arlojinya, tapi Lala belum juga memunculkan batang hidungnya. Padahal cewek itu yang memaksa Zara menunggunya untuk latihan hari ini, meminta untuk datang lebih awal karena ada beberapa hal yang ia bicarakan katanya.
Sebelum Zara berinisiatif menghubungi Lala, sesosok laki-laki berbadan tegap berhenti tepat di hadapannya membuat Zara mendongak. Didapatinya Dewa berdiri tersenyum ke arahnya. Zara mengernyit heran melihat kedatangan Dewa. Bukankah aneh secara tiba-tiba Dewa menghampirinya tanpa mengiriminya pesan terlebih dahulu? Dan seingat Zara, mereka memang tidak memiliki janji.
"Kok lo disini De?" Zara bertanya heran. Menunggu jawaban Dewa tapi yang ia dapatkan hanya kekehan kecil darinya. Zara yakin seratus persen bahwa yang di hadapannya saat ini tidak seperti Dewa. Hanya perasaan Zara saja atau bagaimana ia tidak tahu yang jelas menurut Zara, Dewa tidak pernah bersikap seperti ini.
"Long time no see, Zara."
Refleks Zara membulatkan matanya tidak percaya. Dia bukan Dewa. Zara yakin seyakin-yakinnya bahwa ia bukan Dewa. Dari cara ia menatap Zara, suaranya, tawanya, dan bagaimana gelagat yang ditunjukkan di hadapan Zara. Meski Zara yakin bahwa dia sedang tidak memanipulasi Dewa dan justru berusaha menjadi dirinya sendiri di hadapan Zara, Zara sempat mengira bahwa dia adalah Dewa.
Ya, sudah lama tidak berjumpa, Adit.
"Bahkan lo gak bisa bedain mana pacar lo dan mana kembarannya? How ironic, Anzara?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro