1 - Semua Tidak Lagi Sama
TETES demi tetes air jatuh seirama dengan degup jantungnya yang meletup. Pagi ini masih sama, menghirup aroma teh hijau yang berpadu dengan air mendidih, suara kucurannya selalu menjadi candu baginya. Perlahan dan mengalun dengan indah.
Hujan lagi. Setelah kemarau panjang akhirnya hujan datang mengguyur jalanan kota, meninggalkan jejak embun pada jendela kamarnya, juga suara tetesan air yang menggeletik kedua telinganya.
Ia membuka kedua matanya yang terasa berat, tampak seorang wanita paruh baya berdiri di hadapannya, dengan tatapan mematikannya.
Wanita yang di hadapannya ini berkata, "Zara bangun, udah siang." Tangan wanita itu menarik gelungan selimut tebal berwarna putih polos miliknya. Dengan gusar Zara bangun dan berjalan dengan gontai meninggalkan wanita itu dalam diam.
Masih setengah sadar, ia berjalan menuju kamar mandi yang terletak di sudut kamarnya. Berjalan menapak pada lantai lembap, aroma khas sabun stroberi miliknya menyeruak indera penciuman di pagi hari. Ia membuka keran pada wastafel putih di hadapannya saat ini, kemudian membasuh wajahnya dengan air hangat.
Setelah sekiranya ia selesai membasuh dirinya dengan air hangat, lebih tepatnya berdiam diri dan merenung dalam keheningan. Otaknya selalu berkata bahwa ini bukan drama tapi batinnya terus merasakan kesepian yang mendalam. Orang bilang ia berlebihan tapi siapa yang tahu kalau baginya, semua tidak lagi sama.
Zara berdiri di depan sebuah cermin besar, dengan seragam kebanggaan melekat pada tubuh mungilnya. Butuh perjuangan besar untuk bisa memasang nama Bratasena Senior High School di lengan kanannya. Akan tetapi, bagi Zara memiliki keluarga hebat, sekolah kebanggaan dan teman yang mendukungnya bukan berarti dapat menjadi jaminan ia hidup bahagia.
Ia selalu merasa kalau cermin itu membohongi dirinya. Buktinya, saat ini ia tersenyum di depan cermin seolah ia tidak memanggul sedikitpun beban. Di luar sana, ia kuat. Di dalam hatinya, ia bagaikan setangkai dandelion yang siap hancur lebur dan terbawa angin yang menakutkan.
"Jangan ngelamun terus, nanti kesambet." Suara bariton yang begitu familier di telinganya membuat ia menoleh, dan tersenyum. Kali ini senyum tulus yang ia berikan. "Hari ini teh hijau? Padahal gue maunya teh melati, harum." Ia mengikat rambut hitamnya menggantung, namun masih menyentuh kulit putih tengkuknya.
Lelaki di belakangnya kini tersenyum kikuk, tangannya meraih pundak Zara dan mendorong pelan ia keluar dari kamarnya. "Ih Iyan, gue belum selesai beres-beres!" Zara berseru jengkel. Laki-laki yang disebut Iyan itu hanya terdiam tidak menanggapi.
Kini keduanya berjalan menuruni setiap anak tangga yang dingin menusuk kaki telanjang mereka. Dua buah gelas berisi teh hijau, dengan kepulan asap yang membuatnya terlihat semakin menggiurkan telah tersaji di atas meja makan keluarga yang bertengger di sebelah kiri ruang keluarga.
Sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga kecil ini untuk meminum teh hangat di pagi hari. Bukan ritual, hanya saja Zara dan kedua orang tuanya adalah pecinta teh hangat, dan sangat membenci es.
"Kenapa sih lo ngelamun mulu tiap hari? Hidup tuh jangan dilamunin terus, kali-kali move on, emangnya cowok cuma dia aja apa?"
Zara menatap laki-laki di hadapannya dengan malas. "Move on? Ke siapa? Nyatanya yang bisa bikin gue nyaman cuma dia, semuanya sama aja. Datang untuk pergi. Buat apa gue berpindah hati ke orang yang sama-sama akan pergi nantinya?"
"Lebay lo...," kata laki-laki itu, "gue bukan semuanya Ra," lanjutnya dalam hati.
***
Untuk mendapatkan kembali hatinya, yang pertama kali harus gadis itu lakukan adalah menunggu. Pikirnya selalu begitu. Sepertinya kata menunggu itu sudah menjadi judul ceritanya, dan kegiatan menunggu itu sendiri seakan isi dari semua ceritanya.
Hari ini tepat lima tahun seorang Anzara Kaila Lavina menunggu pangeran berkuda putih dalam mimpinya, pangeran itu selalu terlihat manis dengan senyum yang tak kalah manisnya mengenggam tangan Zara erat seraya berkata "tunggulah aku sebentar lagi".
Maka untuk waktu yang tidak bisa dikatakan sebentar itu ia menunggu. Dalam diam dan kesunyian yang memporak-porandakan hatinya, menggantikan semuanya dengan kelabu.
"Katanya ada anak baru."
"Dia keturunan bule."
"Katanya dia pindah karena masalah di sekolah lamanya."
"Kok bisa masuk sini sih? Masuk sekolah ini aja susah banget kali."
"Anak bermasalah gak mungkin bisa masuk Bratasena, ngaco kali lo semua."
Suara-suara bersahutan membuat telinga Zara semakin panas. Pasalnya orang yang mereka bicarakan tepat berjalan di sisinya. Yang dibicarakan, Ryan hanya berjalan dengan santai seolah ia tidak tahu siapa yang dimaksud mereka.
Zara mendekatkan tubuhnya ke arah Ryan, ia berbisik. "Sabar ya Yan, mereka emang tukang gosip semua." Ryan hanya tertawa kecil dan mengangguk paham. Ia tidak pernah menganggap serius hal ini, sudah biasa jika dirinya dijadikan bahan omongan teman sekolahnya. Dulu ia juga mengalaminya, semuanya biasa saja. Hanya saja memang semuanya tidak lagi sama. Yang dulu bukanlah yang sekarang.
"Ryan ya?"
Suara lembut seorang perempuan membuat Ryan menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap perempuan itu. Tapi tidak untuk Zara, ia terlihat tengah menggertakkan giginya kala mendengar suara perempuan itu. Tak lama setelahnya Zara tertawa meremehkan, tersenyum licik ketika mendengar balasan Ryan. "Iya... lo siapa ya?" tanyanya begitu.
Perempuan itu menyelipkan rambutnya di belakang telinganya seraya tersenyum dan berkata, "Gue Adelia. Kita dulu satu kelas waktu SMP." Adelia mengulurkan tangannya yang hanya ditatap oleh Ryan. Iseng, Zara menjabat tangan Adelia, membuat Adelia terlonjak kaget. Ryan hanya tertawa pelan dengan tingkah Zara lalu menyeretnya pergi menjauh. Ryan yakin, kalau ia tidak melakukan hal itu, keributan besar akan terjadi di sana.
"Yan, lo harus denger cerita gue... gue semalem mimpi...."
Lagi, untuk yang kesekian kalinya Zara menceritakan mimpinya yang sama berulang kali. Dan Ryan hanya menjadi pendengar setia. Mimpi bagaimana Zara bertemu dengan seorang pangeran, oh tidak lebih tepatnya cinta pertamanya. Bagi Ryan, melihat Zara bahagia adalah caranya untuk bahagia juga.
Namun detik setelahnya Zara mengeluarkan air mata di hadapannya dengan tersenyum, lalu menyekanya ketika air itu akan turun lagi. Ia hanya berkata,"Gue... gue harus kuat nunggu dia, gue bisa kan Yan?"
Setidaknya Ryan selalu menjadi tumpuan Zara ketika yang diharapkan gadis itu justru pergi meninggalkannya.
***
a/n : yap ini cerita tragedy yang dirombak, setelah sekian lama akhirnya Zara kembali. Alurnya berubah ya soalnya mumet mikirin ending cerita sebelumnya dan cerita tragedy itu sangat memalukan-_- But, latar belakang tokohnya masih sama. Ryan masih jadi pengagum rahasianya Zara wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro