Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. DINGIN

Misteri layaknya sebuah permainan. Di mana kau akan memainkan satu per satu demi mendapatkan setiap kunci untuk menguak misteri itu.

* * * * *

"Halo, Ruby! Kita bertemu lagi." Sapa Max tak melepaskan tatapannya dari Ruby.

Ruby masih terdiam layaknya sebuah patung. Wanita itu seakan ditarik kembali pada kejadian sebulan yang lalu. Kejadian yang sangat ingin dilupakanya. Di mana saat itulah Max melihat sisi rapuh Ruby yang tidak pernah diperlihatkannya pada siapapun.

Dengan susah payah Ruby kembali menyeret dirinya pada masa sekarang. Dia menjilat bibirnya yang tiba-tiba mengering. Wanita berusia tiga puluh tahun itu berusaha keras menutupi kegugupannya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Max? Maksudku Mr. Baxley." Ruby lega bisa mengatur suaranya tidak bergetar.

Bukan Max yang angkat bicara melainkan Ray, "Duduklah Ruby. Mr. Baxley sudah menceritakan padaku jika dia mengenalmu sebulan yang lalu."

Ruby berharap apa yang diceritakan Max pada Ray tidak menyiratkan hubungan panas mereka. Akhirnya wanita itu duduk di kursi sejauh mungkin dari Max. Sialnya, Ruby harus akui jika dirinya begitu pengecut jika harus berhadapan dengan pria itu.

"Seperti yang kukatakan tadi. Mr. Baxley meminta bantuanmu, Ruby."

"Bantuan apa?" Ruby mengalihkan pandangannya pada Ray.

"Mr. Baxley sendiri yang akan menceritakannya. Aku akan meninggalkan kalian. Anda bisa memanggil saya di luar jika sudah mendapatkan jawabannya, Mr. Baxley." Ray tersenyum ramah pada Max.

"Tentu. Terimakasih, Mr. Garrison."

Ray pun berjalan keluar. Ruby menunggu Ray benar-benar menutup pintunya sebelum akhirnya mengeluarkan suaranya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ruby dengan nada dingin.

"Meminta bantuanmu."

"Apakah kau sudah kehabisan akal hingga meminta bantuanku? Apa kau sedang mempermainkanku?"

Alih-alih marah dengan ucapan Ruby, Max justru tersenyum. Eskpresi dingin yang tercetak di wajah Ruby mengingatkan Max pada pertemuan terakhir mereka. Setelah menghabiskan malam luar biasa bersama wanita itu, pagi harinya Ruby memasang eskpresi dingin dan mengatakan jika apa yang mereka lakukan adalah kesalahan. Ruby meminta Max untuk melupakan segala sesuatu tentangnya.

Sayangnya bukannya melupakan Ruby, pikiran Max justru dipenuhi oleh wanita itu. Senyuman, sentuhan, desahan serta rasa Ruby telah mengalihkan dunia Max. Bahkan semenjak malam luar biasa itu, Max tidak bisa tidur bersama wanita mana pun tanpa memikirkan Ruby.

"Sambutan yang luar biasa, Mawarku."

Darah Ruby berdesir mendengar panggilan itu. Sialnya panggilan itu mengingatkan Ruby akan desahan Max yang membuat tubuhnya memanas.

"Jangan memanggilku seperti itu, Mr. Baxley."

Max tersenyum melihat reaksi Ruby, "Mengapa? Bukankah kau memang mawar milikku, Ruby."

"Aku bukan milikmu, Mr. Baxley. Jika kau hanya menggangguku saja, lebih baik aku pergi."

Ruby bangkit berdiri dan hendak melangkah menuju pintu. Namun langkahnya terhenti saat mendengar ucapan Max.

"Aku ingin kau menjadi pengawalku, Ruby."

Wanita itu berbalik dan melihat Max sudah berdiri dan berjalan menghampirinya. Awalnya Ruby ingin menyemburkan amarahnya karena pria itu berani mempermainkan dirinya dalam pekerjaan. Tapi lidahnya kelu melihat pesona Max. Wajah Max yang tampan dihiasi jambang tipis. Ruby ingat betul rasa menggelitik rambut halus itu di tangannya. Namun yang paling mempesona dari Max adalah matanya. Warna coklat yang menampilkan rasa percaya diri tinggi.

"Sepertinya kau kehabisan pengawal hingga menginginkanku menjadi pengawalku."

Langkah Max berhenti begitu dekat dengan Ruby. Tatapan mata mereka bertemu. Tangan Max yang disembunyikan di saku celananya tengah menahan diri untuk tidak menarik Ruby mendekat padanya. Karena Max yakin cara agresif seperti itu akan membawa mawar indahnya menjauh darinya.

"Kau benar, Ruby. Pagi ini aku menemukan semua pengawalku tergeletak tak sadarkan diri di atas lantai."

"Apa maksudmu?" bingung Ruby.

"Pagi ini tidak seperti biasanya aku terbangun di halaman rumahku. Aku tidak mabuk atau pun mengadakan pesta liar jika itu yang kau pikirkan." Max membaca jelas pikiran Ruby membuat wanita itu mendengus kesal.

"Aku ingat dengan jelas aku berbaring di atas ranjangku. Merasa tidak beres, aku mencari pengawalku. Dan mereka bernasib sama denganku."

"Jadi maksudmu ada seseorang yang sudah membiusmu dan pengawalmu?"

"Itulah yang kupikirkan. Sebenarnya kejadian aneh tidak hanya terjadi pagi ini. Banyak kejadian aneh yang terjadi saat aku tinggal di mansion yang kubeli setelah kita menghabiskan malam yang luar biasa."

Seketika wajah Ruby memerah mengingat malam yang dimaksud oleh Max. Dia berusaha tidak menghiraukan kalimat terakhir itu.

"Kau bisa menyebutkan kejadian aneh seperti apa yang kau alami?"

"Terkadang aku mendengar suara ketukan di dinding. Atau benda yang berpindah sendiri. Seperti saat aku meletakkan gelas di atas meja makan lalu aku meninggalkannya sebentar dan gelas itu sudah berada di atas lantai. Dan yang paling mengusik adalah kejadian pagi tadi."

"Kau tidak mengecek CCTV dalam rumahmu?"

"Sudah. Tapi tidak ada apapun yang kami temukan. Seakan semua dikerjakan oleh hantu."

Ruby tertawa mendengar tahayul yang diucapkan oleh Max, "Aku tidak tahu jika pria modern sepertimu masih mempercayai hantu, Mr. Baxley."

"Aku tidak percaya hal seperti itu, Ruby. Karena itu aku meminta bantuanmu. Aku ingin kau menjadi pengawalku dan berpura-pura menjadi kekasihku untuk tinggal bersamaku."

Bibir Ruby terbuka tak percaya mendengar bantuan yang diminta Max padanya. Bukan masalah pekerjaan yang mengusik Ruby. Tapi tugasnya menjadi kekasih sewaan Max yang membuatnya takut. Takut dengan efek yang ditimbulkan Max pada tubuhnya jelas pekerjaan ini sangat berbahaya untuk Ruby.

"Maafkan aku Mr. Baxley. Aku harus menolaknya. Akan lebih baik kau meminta bantuan pengawal lainnya. Di sini pengawal wanita tidak hanya aku. Aku berharap kau bisa mengungkapkan misteri itu. Selamat siang, Mr. Baxley."

Ruby berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan itu. Tapi tiba-tiba sebuah tangan menarik tangan Ruby hingga tubuh wanita itu menabrak dada bidang Max.

"Aku bisa mematahkan tanganmu, Mr. Baxley. Lepaskan aku."

"Aku percaya itu, Ruby. Tapi aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau mendengar apa yang kukatakan. Aku tidak menginginkan pengawal wanita mana pun selain dirimu. Dan kau akan menerima pekerjaan ini."

Ruby mendengus kesal, "Kau terlalu percaya diri, Mr. Baxley. Bukankah kau baru saja mendengar aku menolakmu tadi."

"Aku akan menjelaskan apa yang akan kulakukan jika kau menolak pekerjaan ini, Ruby. Setelah penolakan itu keluar dari mulut manismu, aku akan menelpon seseorang dan membuat perusahaan ini jatuh berkeping-keping. Lalu aku juga akan menekan Ray dan semua orang yang disekitarmu hingga mereka menjadi gelandangan karena ulahmu."

Tatapan Ruby semakin tajam mendengar ucapan Max, "Kau tidak akan bisa melakukan hal itu."

"Tentu aku bisa, Ruby. Perusahaan ini berdiri tidak hanya di tangan Ray saja. Dengan kekuasaan yang kumiliki aku bisa membuat orang-orang yang ikut andil dalam perusahaan ini untuk menarik diri. Apa kau tidak memperhatikan wajah Ray yang begitu pucat saat kau masuk?"

Ruby mengingat wajah Ray saat dirinya masuk. Tidak ada senyuman di wajah pria itu. Biasanya Ray akan menyambut Ruby dengan senyuman. Dan Ruby tidak memperhatikannya tadi.

"Jadi kau mengancam Ray?"

"Aku tahu kau akan menolakku, Ruby. Karena itu aku membutuhkan strategi untuk membuatmu menerima pekerjaan ini."

Amarah Ruby benar-benar mendidih mendengar ancaman Max. Dia tidak percaya pria itu mau melakukan apapun demi mewujudkan keinginannya.

"Brengsek. Aku membencimu, Max Baxley. Kau melakukan cara rendahan untuk mendapatkan apapun yang kau mau."

Bibir Max justru melengkung karena senyuman, "Sayangnya aku menyukaimu, Ruby. Jadi kau menerimanya?"

"Selamat Mr. Baxley. Kau mendapatkan keinginanmu." Ruby mengucapkan kalimat itu dengan sedingin mungkin.

"Bagus. Aku akan membawamu pulang." Max menarik tangan Ruby keluar.

Di luar Ruby bisa melihat wajah Ray yang biasanya dipenuhi dengan tawa tampak begitu tegang. Pria itu langsung berdiri bergitu melihat Max dan Ruby.

"Apakah Ruby menerima pekerjaan yang anda tawarkan, Mr. Baxley?" tanya Ray penuh harap.

"Tentu dia menerimanya, Mr. Garrison. Dia akan mulai bekerja sekarang. Sampai jumpa Mr. Garrison."

Ruby bisa melihat kelegaan di wajah Ray. Wanita itu merasa bersalah karena mendatangkan masalah pada Ray. Karena itu saat Max menariknya pergi, Ruby menoleh ke belakang dan mengatakan 'maaf' tanpa suara.

Namun Ray bukannya marah justru tersenyum lembut dan memberikan kode untuk menelponnya. Ruby hanya menganggukkan kepalanya. Sekarang Ruby benar-benar berada dalam sangkar singa yang mengerikan. Dia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi Max.

* * * * *

Max membawa Ruby menuju mansionnya. Untuk mencapai mansion itu mereka harus melewati hutan yang lebat di sekeliling jalan. Dengan menggunakan mobil Baxley Maverick yang merupakan mobil buatan Baxley keluaran tahun lalu, mereka menembus jalanan dengan sangat cepat. Semua itu berkat mesin piston dua belas silinder di mana dua tepian enam silinder disusun dalam konfigurasi V atau biasa disebut mesin V12. Sehingga tidak heran mobil dengan desain sporty berwarna silver masuk dalam jajaran mobil sport tercepat.

Dari sudut matanya Max bisa melihat Ruby tampak begitu tenang duduk di sampingnya. Kepalanya menoleh dan mengamati pemandangan huitan di luar jendela. Mengetahui Ruby bukanlah wanita manja seperti yang biasa ditemuinya, membuat Max bebas melajukan mobilnya sekencang mungkin.

Mesin mobil berderu dan laju mobil itu perlahan melambat saat mendekati mansion Max. Mansion itu dikeliling pagar dinding yang tebal dan tinggi. Pagar besi yang membatasi mansion dan dunia luar itu terbuka saat melihat kedatangan Max. Saat itulah Ruby bisa melihat mansion megah yang indah.

"Menakjubkan." Puji Ruby tanpa sadar.

"Aku juga mengatakan hal yang sama saat melihatnya pertama kali."

"Aku yakin kau mendapatkannya dengan sangat licik." Ruby mencibir kesal.

"Sayangnya kau salah, Mawarku. Pemiliknya menjual mansion itu dan aku membelinya. Tidak ada cara licik dalam transaksi kami."

Ruby memilih diam membuat Max tersenyum penuh kemenangan. Mobil itu memasuki garasi di mana beberapa mobil keluaran Baxley tertata dengan rapi. Ruby seakan berada di ruang pameran mobil.

Setelah Max memarkirkan mobilnya dia pun melangkah keluar dan diikuti oleh Ruby. Wanita itu mengikuti Max menuju pintu yang menghubungkan dengan sayap bagian kiri dari mansion itu. Mereka melewati lorong yang menampilkan lukisan-lukisan abstrak serta barang-barang seni tiga dimensi.

"Di mana kau mendapati keanehan-keanehan itu?" tanya Ruby sembari mengamati ruang olahraga.

Kesan klasik yang awalnya dilihat Ruby seketika lenyap saat melihat ruang olahraga yang modern.

"Karena aku paling banyak menghabiskan waktu di lantai dua, jadi aku hanya mengetahui kejanggalan di sana."

"Bisa kita melihatnya?"

"Tentu saja."

Max melangkah melewati ruang olahraga serta ruangan lainnya menuju bagian tengah bangunan. Bagian depan rumah merupakan ruangan luas dengan kedua sisinya dibangun tangga melengkung menuju lantai dua. Max menarik tangan Ruby menuju lantai dua.

"Kau tidak perlu memegang tanganku. Aku tidak akan kabur." Ruby berusaha melepaskan tangannya.

"Sayangnya aku memang ingin memegang tanganmu."

Ruby malas harus berdebat dengan Max kembali. Karena dia tahun pria itulah yang berkuasa di sini. Wanita itu pun membiarkan kehangatan tangan Max menyelimuti tangannya yang terlihat mungil dalam genggaman pria itu.

Di lantai dua, Max menunjukkan bar kecil di mana barang-barang yang diletakkan oleh Max akan berpindah. Lalu Max juga memperlihatkan ruang kerjanya di mana Max sering mendengar suara gaduh tapi tak ada seorang pun di luar.

"Lalu di mana kamarmu?" tanya Ruby tanpa memperhitungkan senyuman yang merekah di wajah Max.

"Apa kau tidak sabar ingin aku membawamu ke sana, Mawarku?"

"Aku harus mengingatkanmu, Mr. Baxley. Kau bisa membuatku menerima pekerjaan ini, tapi tidak berarti kau bisa mendapatkanku. Aku hanya ingin melihat tempat pelaku itu menyeretmu ke taman belakang."

"Kau memanglah mawarku. Cantik tapi tidak mudah didekati. Baiklah aku akan membawamu ke sana."

Max menarik Ruby keluar dan melangkah menuju kamarnya. Kamar luas dengan satu ranjang berukuran besar memperlihatkan penghuninya yang merupakan pria lajang dan bebas. Warna gelap seperti hitam, coklat serta abu-abu mendominasi kamar itu. Di lantainya pun diletakkan karpet hitam yang lembut. Jendela kamar berukuran besar memperlihatkan taman belakang di mana Max bangun pagi ini.

"Berapa beratmu?" Ruby menatap pria itu.

"Apa kau mulai tertarik dengan tubuhku, Ruby?"

Ruby memutar bola matanya malas dengan sikap Max, "Bisakah kau langsung menjawab pertanyaanku?"

"Baiklah, Nona pemarah. Beratku 80 kilogram."

"Tidak akan mudah membawamu dari kamar menuju taman itu." Ruby menunjuk ke arah taman yang terlihat di jendela.

"Kau tidak berpikir ini ulah hantu bukan?"

"Aku memiliki pemikiran yang sama denganmu, Mr. Baxley. Aku tidak percaya hantu."

"Baguslah. Dan aku harus mengingatkanmu, Ruby. Sekarang kau adalah kekasihku. Jadi panggil aku Max."

"Baiklah, Max. Aku memiliki sebuah ide. Jika memang ini bukan hantu, maka pasti ada seseorang yang tidak menyukaimu. Karena itu aku ingin mengenal orang-orang yang ada di sekitarmu."

"Jadi apa idenya?" penasaran Max.

"Kau harus mengadakan perayaan pesta rumah barumu. Undang orang-orang terdekatmu. Dengan begitu aku bisa menilai mereka."

Max tersenyum mendengar ide itu, "Kau brilian, Ruby. Aku bahkan tidak memikirkan ide itu. Aku semakin yakin pilihanku untuk menjadikanmu kekasihku adalah tepat. Aku akan meminta orang-orang untuk mulai mempersiapkannya."

Genggaman tangan Max pun terlepas. Pria itu bergegas keluar meninggalkan kamar. Setelah Max pergi, Ruby memutuskan untuk pergi berkeliling. Dia berusaha mencari petunjuk apapun mengenai kejanggalan yang terjadi. Pasti sang pelaku meninggalkan jejak tak terduga.

Namun sayangnya setelah mengelilingi lantai dua, Ruby tidak menemukan petunjuk apapun. Seakan semua ruangan yang dilewatinya tidak menimbulkan kecurigaan. Dia memutuskan untuk turun ke bawah. Wanita itu melangkah menuju taman belakang. Ruby mengamati hamparan rerumputan di sekelilingnya. Taman itu benar-benar bersih sehingga tidak menimbulkan kecurigaan.

Lalu sepasang manik coklat gelap milik Ruby menangkap gerakan. Dia melihat seorang pria tua duduk di atas mesin pemotong rumput. Pria itu baru saja selesai merapikan rumput yang tidak jauh dari Ruby. Bergegas wanita itu berjalan menghampiri pria itu.

"Halo, Sir." Sapa Ruby.

Pria itu mendongak dan melihat Ruby dari atas hingga ke bawah dengan tatapan dinginnya. Tidak ada balasan sapaan yang keluar dari mulut pria itu. Rambut pria itu memutih dengan bagian atas yang sudah botak.

"Apakah kau tukang kebun di sini? Aku Ruby Laingley, kekasih Mr. Baxley." Ruby mengulurkan tangannya.

Pria itu mengamati tangan Ruby, tapi tidak kunjung membalas uluran tangannya.

"Emmet Lector." Jawab pria itu singkat dan kembali melanjutkan pekerjaannya tanpa mempedulikan Ruby yang tengah mengamatinya.

Dengan sikap dingin serta tidak peduli dengan sekitarnya membuat Ruby memasukkan Emmet ke dalam daftar orang yang patut dicurigai. Tukang kebun itu menjadi orang pertama yang tercatat dalam daftar. Sehingga Ruby harus mengamati pria itu ke depannya.

* * * * *

RUBY LAINGLEY

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro