Chaos 21: My Savior Knight
Izinkan aku menyenandungkan namamu dalam tidurku. Izinkan aku bercerita tentangmu pada Tuhan dalam doaku. Dan, izinkan aku mencintaimu sepanjang hidupku.
.
.
Perjalanan dari bandara menuju apartemen cukup padat. Brian yang baru saja merampungkan konser di Kota Udang, mendarat di ibukota pukul sepuluh malam. Meskipun badan penat, tapi hatinya terasa ringan. Setelah tiga hari mengkhawatirkan Lia karena tidak bisa mendampingi gadis itu, akhirnya Brian bisa merengkuh tubuh mungil wanita yang ia cintai.
Bersama dengan Deki, mobil yang lelaki itu tumpangi membelah jalanan kota Jakarta. Ia mengambil ponsel, lalu menempelkan benda persegi itu di telinga. Ia menghubungi Lia, untuk menanyakan di mana keberadaannya dan sudah tak sabar mendengar suara merdunya.
"Halo, Ba---"
"J-jemput aku, please. Brian, jemput aku .... "
Tubuh Brian seketika menegang ketika suara isakan Lia menelusup ke telinganya. Bukan ini yang ia harapkan.
"Babe, are you okay? Kamu di mana?"
"A-aku di kafe. Aku p-pengin pulang ... aku mau pulang sekarang .... Kamu bisa jemput, kan?"
"Kamu tenang... aku jemput kamu. Tunggu, ya ... ini masih jalan ke sana."
Pikiran Brian langsung melayang tidak tenang. Ada apa dengan gadisnya? Mengapa dia sampai sesenggukan begitu? Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala, mengenyahkan bayangan buruk yang memenuhi kepala. Jantungnya berdegup kencang, dirinya gelisah.
"Ki, buruan, ya ... ke Medang Cafe."
Brian segera melompat keluar dari mobil dan berlari menuju pintu masuk, sesaat setelah mobilnya memasuki pelataran parkir. Seorang pegawai langsung menghadangnya.
"Maaf, Mas ... udah tutup."
"Tahu, gue mau jemput Julia," balasnya buru-buru.
Kursi-kursi sudah dinaikkan ke atas meja. Terlihat ada seorang pegawai yang sedang mengepel lantai. Ia melewati meja kasir, menuju ke dapur, berpikir jika Lia ada di lantai dua. Namun, saat baru memasuki area dapur, matanya langsung menangkap keberadaan Lia yang duduk anak tangga, dengan para pegawai berdiri menontonnya. Wajah mereka terlihat tegang dan juga khawatir.
Brian mempercepat langkahnya, menerobos para pegawai yang berkerumun, menghampiri gadis itu. Ia berjongkok di depan sangat kekasih. Hatinya mencelos karena tangisan Lia pecah begitu pandangan mereka bertabrakan.
"Hei, hei ... Jul?" Brian menyingkirkan anak rambut yang menjuntai ke wajah Lia dengan lembut. "It's okay, aku di sini. Aku udah di sini. Kamu nggak perlu takut .... "
"B-Brian .... " Lia tergagap menyebut namanya. Napas perempuan itu tersengal-sengal.
"Iya, Sayang?" Brian menangkup wajah Lia dan menatapnya dengan penuh kelembutan.
Bibir Lia bergetar, air mata masih terus membanjiri pipinya. "A-aku nggak p-pernah minta jadi k-kayak gini, Bri ... n-nggak pernah. T-tapi, kenapa orang-orang p-pada nyalahin k-kondisiku?"
Brian menggeleng, mengusap air mata yang berjatuhan di wajah kekasihnya dengan penuh sayang. "Nggak ada yang nyalahin kondisi kamu, Jul. Nggak ada."
"S-siapa juga yang mau jadi korban penculikan? S-siapa? A-aku nggak mau," katanya dengan terisak, hampir kehabisan napas.
Brian langsung menarik Lia ke dalam pelukannya. Masa bodoh dengan para pegawai yang menonton mereka. Lelaki itu yakin, mereka adalah orang baik, tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakan Lia.
"P-pulang, Bri ... bawa aku pulang."
"Oke, oke ... kita pulang, kita pulang." Brian mengedarkan pandangannya mencari tongkat Lia, yang ternyata disandarkan di meja. Brian melepaskan pelukannya, untuk mengambil tongkat sangat kekasih.
"M-maaf Bang ... tadi Mbak Lia, habis jatuh," cicit Sheryl. "Kayaknya keseleo, deh."
"Oke, terima kasih." Brian mengangguk sambil tersenyum. "Ehm ... tas Lia masih ada di atas?"
"Oh, iya ... saya ambilkan dulu. Mending, Bang Brian gendong Mbak Lia aja, deh," kata Sheryl sebelum menaiki tangga.
Brian mengangkat tubuh Lia dan menggendongnya menuju mobil. Sheryl mengikuti dari belakang sambil membawa tas dan tongkat bosnya. Tak lupa, lelaki itu mengucapkan terima kasih pada Sheryl setelah meletakkan Lia di kursi penumpang.
"Tidur, nanti aku gendong lagi kalau sampai apartemen," tutur Brian menarik tubuh Lia mendekat, agar perempuan itu bisa bersandar dengan nyaman di dadanya. "Udah ya, nangisnya ... besok kepalamu bisa pusing."
***
Matanya mengerjap perlahan, kepalanya terasa pening luar biasa. Sepertinya ini efek menangis hebat semalam. Saat akhirnya kelopak Lia membuka sempurna, ia mendapati sepasang bola mata sedang menatapnya lekat. Seulas senyum langsung terbit pada bibir lelaki itu ketika pandangan mereka beradu.
"Good morning, Sweetheart." Brian berbaring miring, dengan tangan menyangga kepala.
Lia menggeser tubuhnya dan bersandar pada head board. "Kamu nggak tidur?"
"Tidur."
Rasanya perempuan itu tidak sanggup untuk menatap mata sangat kekasih. Malu, ketika ingatan semalam berputar kembali di kepala. Namun, tak bisa dipungkiri perkataan Erin membuat hatinya terkoyak. Sekeras apapun ia mencoba untuk terlihat baik-baik saja, orang lain akan tetap memandangnya lemah. Bagaimana pun juga, kecacatannya tidak akan pernah hilang.
"Jul, look at me .... " Brian bangun dari posisi tidurnya jadi duduk bersila, menatap Lia yang menoleh ke arah lain. "Do you want to talk about last night?"
Helaan napas meluncur dari bibir Lia. "Menurutmu, apa aku bisa menutupi kecacatan ini?"
"You're perfect just the way you are."
"Tapi, semua orang bakal lihatin cara jalanku yang nggak normal dan nggak akan jadi normal lagi."
"Jul, cara jalanmu emang nggak sama kayak kebanyakan orang, tapi bukan berarti kamu beda. Perbedaan itu bukan penghalang."
"Tapi, mereka tetap bakal lihat, Bri. Mereka bakal sadar, gimana nggak sempurnanya aku. Apalagi kalau aku bersanding sama kamu. Kamu itu pusat perhatian banyak orang, dengan aku bareng kamu, otomatis aku akan jadi pusat perhatian banyak orang juga. Emang kamu nggak malu, Bri? Punya pacar kayak aku?"
Brian tersenyum kecut. Ia menarik tangan Lia dan menggenggam jemari gadisnya. "Buat apa aku malu, Jul? Karena luka di badanmu? Karena kakimu yang nggak berfungsi sebelah? Bagiku, itu semua bukti, betapa kuatnya kamu, bisa bertahan, bisa ngalahin monster-monster itu. Nggak ada sedikit pun, hal yang bikin aku malu."
"Kamu belum lihat semuanya Brian. Mungkin, sampai aku mati, aku nggak akan pernah bisa pakai bikini, karena terlalu malu. Aku nggak bisa pakai baju seksi nemenin kamu ke acara award karena aku takut, kalau mereka lihat kondisi badanku, malah pada jijik. Apa kamu masih bisa jatuh cinta sama aku setelah lihat semuanya?"
Brian mengusap pipi sang kekasih dengan ibu jarinya. "Kamu yang tercantik di mataku. Dulu, sekarang, sampai nanti."
"Aku juga mau kelihatan cantik di mataku, Brian .... " Suara Lia bergetar.
"You are already beautiful, Babe."
"Tapi, selamanya mereka bakal lihat aku sebagai cewek cacat yang lemah, yang harus dikasihani." Sudut bibir Lia menukik ke bawah.
Kening Brian mengernyit. "Mereka siapa, sih, yang kamu maksud?"
Bibir Lia terkatup rapat, kepalanya menunduk. Perempuan itu enggan menceritakan kedatangan Erin ke kafe. Itu hanya akan menguatkan fakta bahwa dirinya memang wanita rapuh, yang selalu butuh perlindungan orang lain.
"Kamu nangis kayak kemarin, pasti ada penyebabnya. Nggak mungkin kamu tiba-tiba begitu. Ada orang kan yang bilang sesuatu ke kamu?" Brian buka suara karena tak tahan dengan aksi diam sang kekasih. "Kalau kamu nggak cerita aku bisa tanya temen-temen kamu di kafe, Jul."
Lagi-lagi helaan napas berat lolos dari mulut perempuan itu. Ia mendongak, memberanikan diri untuk menatap sepasang manik mata cokelat jernih itu. "Erin dateng nemuin aku," cicitnya.
Napas Brian seketika tercekat di tenggorokan, membuat mulutnya sedikit terbuka. Ia mengembuskan napas kasar, kecewa karena perempuan itu tidak mendengarkan permintaannya. Lelaki itu sangat mengerti, kekecewaan Erin pada dirinya, tidak terukur. Namun, memaksa bertemu dengan Lia adalah tindakan gegabah. Apalagi gadisnya sampai terpukul begitu dalam, menangis tak terkendali, pasti ada perkataan Erin yang menyakiti hati Lia.
Bego. Ini salah lo, Bri ... kalau lo bisa jelasin ke Erin secara gamblang, gimana kondisi Lia sekarang, mungkin hal ini nggak akan kejadian.
"Maaf .... " Brian berbisik, penuh sesak.
"Kenapa kamu yang minta maaf?"
"Karena aku bikin kamu nangis lagi. Kalau aku bisa tahan Erin biar nggak nemuin kamu, nggak akan begini."
"Kamu takut aku ketemu Erin karena kondisiku?" bisik Lia.
"Bukan, tapi karena aku tahu, gimana hancurnya Erin. Patah hati, bisa bikin orang nggak bisa mikir jernih," terang Brian. "Kenapa aku bilang begitu, karena aku pernah ada di posisi yang sama, waktu kehilangan kamu. Aku ngelakuin banyak hal tanpa mikir, berantem sama Sixth Sense, ngomong sesuatu yang nggak pantes ke Erin. Jadi orang gila, jadi goblok, jadi berengsek. Bahkan, aku pernah ngumpatin kamu. Tapi, bukan berarti apa yang Erin omongin ke kamu, nggak salah. Aku tetap kecewa sama dia."
"Kalau aku di posisi Erin pun, aku bakal ngelakuin hal yang sama. Mungkin, lebih parah," tutur Lia, kini menatap lurus ke jendela. "But, I can not accept when she blamed my condition. Dia bilang, dia relain kamu, karena aku lemah. Kalau kondisiku nggak begini, dia bakal pertahanin kamu. Siapa juga yang mau jadi cacat begini? It's unfair. Toh, aku nggak minta kamu balik ke aku. Tapi, sekarang ... rasanya kalau dia minta kamu lagi, aku nggak akan sanggup buat lepasin. Jujur, itu yang bikin aku takut nemuin Erin karena aku tahu, aku nggak bisa kasih apa yang dia mau. I became too greedy. Aku nggak bisa lepas kamu lagi, Brian .... "
Brian merengkuh pundak Lia dan membawanya ke dekapan. "Aku nggak akan ke mana-mana. I promise you."
Lia menyandarkan kepalanya di atas dada Brian. Menjadikan suara deguban jantung sang kekasih sebagai alunan melodi penenang hati. "Mungkin, aku sekarang memang jadi perempuan lemah, Bri ... karena aku tahu, aku nggak bisa bertahan kalau kamu pergi dari hidupku."
"I love it when you are addicted to me like I do. I can't survive without you too."
TBC
***
Atas permintaan khalayak ramai, mumpung malam minggu katanya, double update deh, boleh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro