Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chaos 15: Break the Comfort Zone

Forever is a long time. But with you, I think it will never be enough.
.
.

Satu pesan masuk ke ponsel Lia, berhasil membuat bibirnya mengembang dan sudut matanya menyipit. Ia segera memunguti barangnya ke dalam tas dan mengambil tongkat, lalu keluar dari ruang kantor Medang Cafe. Perempuan itu menyambangi meja kasir, untuk pamit pada Sheryl dan Naya, yang sedang bertugas.

"Gue cabut dulu, ya. Nanti kalau sempat, balik lagi abis maghrib," kata Lia pada kedua gadis itu.

"Mau pacaran, ya?" goda Naya---petugas kasir sambil menyengir.

"Udah nggak kehitung nih, berapa kali tuh mobil putih, dateng ke sini." Sheryl menimpali.

"Emang mobil putih kayak gitu, punya satu orang doang?" tukas Lia mulai tak nyaman alias grogi. Kendaraan roda empat Brian memang cukup mencolok. Apalagi itu masuk ke dalam jajaran salah satu mobil mewah.

"Gue hafal platnya kok. B 1214 NSS," jawab Sheryl menepuk dada. "Eh tapi, itu plat kalau dibaca jadi ... "

"Brian SS?" sambung Naya, si gadis hitam manis berambut ikal itu. Matanya yang berwarna emas, menyipit.

Sedangkan Sheryl menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Matanya yang sipit, melebar sempurna. "Lo pacaran sama---"

Dengan sigap, Lia membekap mulut Sheryl dengan tangannya. "Jangan berisik! Besok gue traktir!"

Perempuan yang jauh lebih muda daripada Lia itu mendengkus lalu bersedekap. "Bilangnya cuma teman kuliah! Temen kuliah tai kucing! Nggak tahu apa, gue ih ... demen banget sama dia Kak Lia!"

Lia tergelak puas, saat melihat Sheryl mencebikkan bibir. "Gue kasih hadiah spesial deh, besok."

"Kalian ngomongin apa, sih?" dumal Hana menatap Lia dan Sheryl bergantian dengan sebal.

"Nggak kok," kataku terkekeh. "Gue duluan, ya ... kasihan nanti ada yang berjamur di dalem mobil."

Untung saja, Sheryl tidak membocorkan informasi beberapa waktu lalu, saat melihat Brian dan dirinya yang mengobrol di atas. Dan, yang membuat Lia semakin tenang, Sheryl tidak bertanya hal-hal pribadi, apalagi soal Erin, si mantan pacar Brian.

Wajah suntuk Brian menyambutnya, begitu ia duduk di bangku penumpang. Perempuan itu tertawa kecil, sambil memberikan lirikan setengah mengejek pada sang pacar.

"Kenapa, sih? Bete banget mukanya."

"Luaamaaa .... banget, Juleha! Aku tuh laper, kamu ke sini nggak bawa apa-apa lagi," rajuk Brian.

"Salah sendiri udah jam dua, belum makan siang. Nanti gampanglah beli. Sekarang, jalan dulu. Kita janjian buat lihat apartemen sama Pak Galih jam tiga sore."

"Kejamnya nggak ilang ternyata. Natural banget, bawaan lahir kayaknya." Brian berdecih, tapi kakinya tetap menginjak pedal gas dan menjalankan mobil.

"Ini bukan apartemen mewah kan, Bri? Normal? Nggak aneh-aneh kayak kemarin?"

"Kapan aku cari apartemen aneh buat kamu? Aku cari apartemen yang terbaik buat kamu. Nggak ada aneh-aneh."

"Ya, aneh dong, Bri! Gajiku tuh, buat bayar sewa bulanan yang kemarin kamu kasih lihat ke aku, nggak cukup! Ada kolam renangnya segala. Kamar utamanya segede lapangan voli. Aku nggak tajir kayak kamu, ya .... "

"Mau kubayarin, kau tolak."

"Ya, tolaklah! Bego banget kamu, kalau mau keluar duit begini, begitu, buat cewek yang belum jadi istri. Kamu kan nggak tahu, kalau nanti apartemen itu kujadiin tempat selingkuh."

Brian langsung mengetuk kepala Lia dengan punggung tangannya. "Kebiasaan ini lambe kebablasan!"

Omong-omong soal apartemen, beberapa hari ini Lia memang sedang sibuk cari tempat tinggal baru, karena ia ingin keluar dari rumah Bude Wati. Bukan karena dia diusir, atau karena sudah tidak lagi nyaman. Dirinya sadar, dunia ini masih luas. Banyak sudut yang belum ia jelajahi. Ia tidak bisa mengurung diri dan terus-terusan bersembunyi di bawah perlindungan orang lain. Ia harus bisa berdiri sendiri lagi. Membiasakan berinteraksi dengan dunia luar.

Langkah Lia tertahan, saat telinganya menangkap suara Bude Wati dan Ghea sedang membicarakannya dari ruang keluarga. Keningnya mengernyit, berusaha keras untuk menyerap informasi sebanyak mungkin di antara bisingnya suara televisi yang menyala. Namun, otak Lia berhasil menyambungkan kata demi kata yang berhasil masuk ke pendengarannya.

"Bu, Ibu sadar nggak sih, Lia udah terlalu lama begini?"

"Begini gimana?"

"Nggak ada perubahan. Dia tetap ngurung diri di rumah. Dulu, kita suruh dia kerja di kafe dengan harapan biar bisa punya temen baru. Tapi, tetap aja ... dia masih sendiri. Dia nggak boleh begini terus-terusan, Bu ... aku takutnya Lia jadi selamanya bergantung sama orang lain, dan nggak bisa percaya sama dirinya lagi."

"Ditunggu aja ... pelan-pelan, pasti Lia bisa sembuh. Toh, kalau dia mau tinggal di sini selamanya, Ibu nggak keberatan."

"Aku juga nggak keberatan. Seneng, jadi kayak punya adik kandung. Tapi, Ibu ngerti maksudku, kan?" tukas Ghea. "Apa kita ganti terapis aja kali, ya? Aku takut, depresinya tambah parah."

"Cari terapis yang cocok itu susah. Dokter Alice juga baik orangnya," balas Bude Wati tidak mau ambil pusing. "Lagian, sekarang Lia udah mau main lagi kok, sama Brian."

"Iya, lumayan, sih. Brian bisa bawa Lia keluar rumah, jalan-jalan. Tapi, Brian bukan orang baru. Dia mantan pacarnya, yang aku yakin dipercaya banget sama Lia. Makanya Lia bisa nyaman sama Brian," terang Ghea. "Kalau dia tinggal sendiri, seenggaknya dia bakal keluar rumah, buat beli kebutuhan sehari-hari. Walaupun terpaksa."

"Sekarang kan, semuanya ada delivery service. Kalau dia mau nggak keluar, ya bisa aja nggak akan keluar."

"Tapi seenggaknya, dia pasti keluar lihat-lihat lingkungan sekitar. Buat kenalan gitu."

"Jangan, ah! Ibu ngeri kalau dia tinggal sendirian. Kalau Lia kenapa-napa, gimana? Udah paling bener dia tinggal di sini. Besok deh, Ibu ajak Lia jalan ke luar."

"Kita nggak muda selamanya, Bu. Ada saatnya nanti kita bakal sibuk sama hidup masing-masing. Someday, aku bakal nikah lagi, dan mungkin nggak akan tinggal di sini. Sedangkan Ibu, kalau dihitung pakai logika, Ibu sama Lia tuaan Ibu, yang artinya kemungkinan besar, Ibu bakal ketemu Tuhan lebih dulu."

Lia tersadar dari lamunan saat bahunya  diguncang Brian. Lelaki itu menunjuk ke arah luar jendela. "Kita udah sampai, Babe .... "

"Oh, iya. Ayo, keluar."

Pilihan apartemen Brian kali ini, cukup membuatnya puas. Apartemen kelas menengah dengan dua kamar---satu kamar utama, satu kamar kecil---. Lia berkeliling melihat bagian pantri yang menyambung dengan dining room. Ada jendela, meskipun tidak terlalu besar, tapi cukup. Di kamar utama terdapat jendela model floor to ceiling di depan tempat tidur. Perfect position, ia tahu tirai di sana tidak akan ditutup. Perabotannya pun sudah cukup lengkap. Tinggal bawa baju, siap ditempati.

"Gimana?" tanya Brian.

"Nice, I like it." Senyum perempuan itu mengembang sempurna, menampakkan deretan gigi putihnya.

"Pak Galih, ada CCTV di setiap hallway, tempat parkir, tangga darurat, nggak? Ada blind spot?"

"Full CCTV, tenang aja, Mas. Insya Allah nggak ada blind spot. Security juga 24 jam."

"Aku setuju banget kalau kamu ambil tempat ini. Deket juga ke apartemenku," timpal Brian. "Gimana? Mau ambil?"

"Oke. Bisa langsung urus administrasi sekarang nggak?" Lia menoleh ke arah Pak Galih.

Pria berbadan tinggi besar dengan brewok di wajahnya mengangguk. "Ayo, kita ke kantor dulu."

***

Brian terkikik kecil sambil sesekali melirik pacarnya yang cemberut duduk di bangku penumpang. Ia berhasil mengerjai Lia untuk makan malam di apartemennya, padahal perempuan itu bermaksud kembali ke Medang Cafe setelah selesai berurusan dengan Pak Galih. Ya, enak aja ... nggak mesti seminggu sekali ketemu, waktu ketemu cuma cari apartemen, nggak ada dinner romantis.

"Sekali-kali, dinner sama pacar, lah. Emangnya manajer kafe, kudu on the spot tiap jam?"

"Ya, nggak, sih."

"Nanti aku masakin kamu. Aku baru belanja kemarin."

Lia menatap ke arah sang kekasih dengan mata menyipit. "Masak? Sejak kapan kamu bisa masak?"

Brian mengangkat telunjuknya dan menggerakkan ke kanan kiri. "No, no ... jangan meremehkan saya."

"Oke. Buktikan, kalau enak, nanti aku kasih hadiah."

"Hadiahnya nginep di apartemenku, setuju?" Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya.

Lia mendengkus, tapi mengangguk juga. Dia percaya seratus persen, jika Brian cuma membual. "Deal."

Sesampainya di apartemen, Brian langsung ke pantri dengan Lia yang mengekorinya. Ia mengeluarkan telur, keju, sosis, dan bahan-bahan lainnya dari dalam lemari es ke atas meja. Tak lupa dua bungkus mi instant juga ia siapkan.

"Kok mi instant?" Dua alis Lia menukik ke tengah.

"Ini menu makan sore kita."

"Idih, apaan? Aku kira kamu bisa masak beneran!" Lia memukul lengan Brian.

"Loh, aku nggak bilang bisa masak macem-macem, kan? Jadi, masak mi instant juga termasuk! Kamu nggak boleh protes!" Brian membela diri. Kini lelaki itu tertawa puas, sambil mengisi panci dengan air.

"Curang, ih!" Lia mencebik tak terima.

"Serius, tapi ini enak banget. Anak-anak Sixth Sense kalau aku masakkin ini, bisa nambah dua kali," tukas Brian percaya diri. "Sekarang kamu duduk aja, biarkan Chef Brian yang bekerja."

"Iya, lah! Males bantu, masak mi instant doang!" Lia menarik kursi dan duduk di pantri, menonton sang pacar beraksi.

"Lah, tadi kuajakkin ke resto fine dining nggak mau .... " Brian menyahuti sambil memotong-motong bawang bombay dan cabai.

"Nanti ada yang lihat Brian ... aku males kalau wajahku muncul di mana-mana."

Lelaki itu lalu mengambil mangkuk alumunium, piring, dan beberapa wadah lainnya dari lemari, membawanya ke meja pantri. Karena tangannya penuh, membuat ia tak sengaja menjatuhkan mangkuk alumunium tersebut ke atas meja, sehingga menimbulkan suara nyaring.

Adegan mangkuk melayang di udara sebelum menyentuh permukaan meja yang terbuat dari marmer itu bagaikan gerakan slow motion di mata Lia. Pupilnya melebar, bersamaan dengan napasnya yang tercekat. Ia merasakan dadanya menjadi sesak. Kenangan mengerikan itu perlahan kembali berputar dan menguasainya. Perempuan itu mencengkeram erat ujung meja, berusaha mengenyahkan bayangan gelap yang semakin pekat.

Tiba-tiba, sosok yang paling ia takuti selama lima tahun ini, berdiri tegak di depannya. Lia mendongak dengan bibir bergetar. Ia terus menggelengkan kepala, memohon agar sosok itu tidak menyentuhnya

"Please, no ... please, don't touch me."

Monster itu masih diam, tapi dengan perlahan ia mendekatinya. Lia bangkit dari kursi, berjalan mundur dengan terpincang-pincang, mencoba melarikan diri. Tanpa tongkat, dia tidak bisa berjalan cepat. Kakinya terpeleset, membuat ia terduduk di lantai. He will kill me.

"Please, don't touch me, please .... " Lia terus memohon dengan wajah berurai air mata.

Dalam keadaan duduk, ia terus menggeser tubuh sampai punggungnya menyentuh sofa. Posisinya terpojok. Tamat sudah, tidak ada jalan untuk kabur.

"P-please ... don't---"

"Lia ... "

Lia menjerit keras, sambil terus terisak. Kakinya menjejak-jejak ke depan, menghalau monster itu mendekatinya. Matanya terpejam saat melihat sosok itu mengulurkan tangan di atas kepalanya. Bukan tarikan rambut hingga membuat kulit kepalanya pedih, melainkan dekapan erat yang menyambutnya.

"It's okay, you are safe. You are safe now, Babe." Sebuah tangan mengusap punggung Lia dengan lembut. "Jangan takut, ini aku, Brian."

"B-Brian?" Lia mendorong dada lelaki itu, lalu memandangi wajah khawatir Brian di sana. Air matanya mengucur semakin deras. Kelegaan seketika menyeruak di dadanya. "Oh, thank God!"

Brian kembali menarik Lia ke dalam  dekapan dan menciumi puncak kepalanya. Menyaksikan bagaimana gadisnya masuk ke lorong masa lalu, membuat hatinya teremas. Wajah ketakutan Lia, tercetak begitu jelas di ingatannya. Perasaan ingin terus melindungi perempuan dalam pelukannya ini semakin menggebu-gebu.

"Are you okay, now?" bisik Brian, sambil terus membelai rambut gelap wanita kesayangannya.

"I am sorry, Brian ... I am sorry. I think I just freak out."

"Kamu nggak perlu minta maaf." Brian mengurai pelukannya, ia mengangkat dagu Lia dan membubuhkan kecupan singkat di bibirnya. "Kamu istirahat aja di kamar, gimana? Biar aku yang masak."
Lia mengangguk ragu-ragu.

Brian langsung menggendongnya menuju kamar utama dan meletakkan tubuh perempuan itu di tepi tempat tidur. Ia lalu menghapus bekas air mata di pipi Lia dengan ujung Ibu jarinya.

"Tadi ... kamu kenapa?"

Lia mengembuskan napas panjang sebelum menjawab. "Aku ... punya trauma kalau lihat peralatan makan pakai alumunium. Barang-barang itu bikin aku inget waktu aku ... di sana. I know, it's not make sense, but I---"

"Apa lagi? Barang apa lagi yang bikin kamu trauma?"

"You know I can't stay in room without windows. Rantai sama cambuk juga, make me remember that time again." Suara Lia mengecil.

"Okay, I got it." Brian menangkup wajah Lia, lalu tersenyum kecil. "Kamu tunggu di sini, kalau makanan siap, I will call you."

"Makasih, Brian ... maaf juga, karena jadi cewek lemah," cicit Lia menggigit bibir bawahnya. Ia langsung merasa jadi kecil di hadapan lelaki itu.

Brian tertawa kecil. "Kamu jauh dari kata lemah. You are strongest woman I have ever know. Believe me." Ibu jarinya mengusap bibir merah muda gadisnya. Ia lalu menunduk untuk memagut bibir itu, melumatnya pelan. Sedangkan tangannya yang bebas mengusap pipi perempuan itu.

Lia, walaupun awalnya cukup terkejut, tetap membalas pagutan mesra dari lelaki itu. Tangannya melingkar pada leher Brian, tanpa sadar menarik lelaki itu semakin mendekat. Ia memejamkan mata saat merasakan lidah mereka mulai beradu. Sosok mengerikan itu lenyap dari kepala. Dalam pikirannya sekarang hanya ada satu hal, bagaimana agar momen ini tak akan pernah berhenti.

Brian melepaskan ciumannya dengan napas terengah-engah. Ia membubuhkan kecupan cepat di ujung hidung Lia sekali lagi. "My sweetest appetizer ever. I'll come back with our dinner."

"O-okay," bisik Lia tergagap, merasakan jantungnya berdebar dengan hebat.

TBC
***

Bibir mulai aktif ya Bun....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro