3. The Other Side
Happy baca ❤️
Sorry for typo.
.
.
.
Senin pagi ini atmosfer meja makan kediaman Hastari terasa berbeda dari sebelumnya. Jika biasanya ada canda tawa, saling jail atau berebut menu sarapan, kali ini Aluna dan Barra memilih duduk anteng saat menikmati setangkup roti panggang yang dibuatkan mamanya.
Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka. Sunyi karena masing-masing sibuk sendiri. Terasa aneh dan rikuh.
Hastari sampai berdeham beberapa kali seraya mengabsen mata kedua putra-putrinya bergantian.
"Aluna berangkat bareng Kakak, kan, Nak?" Preambule mama hanya diangguki Aluna. Gadis itu fokus mengunyah sisa roti gandum isi selai kacang- sarapan favoritnya, lalu meminum susu kotak rasa pisang.
Decakan menguar dari mulut Barra. Memerhatikan Aluna dari tempatnya duduk seraya menatap kurang suka saat mama mereka sedang bertanya tapi hanya dijawabi dengan anggukan oleh Aluna.
"Mama tanya, jawab yang benar, Aluna!"
Aluna terkesiap. Seumur dia hidup seatap dengan Barra, Aluna tahu jika lelaki itu sudah memanggilnya dengan menyebut namanya dengan benar, tandanya Barra sedang dikuasai kesal.
Kalimat Barra diabaikan, Aluna menoleh Hastari. "Iya Ma, Aluna berangkat sama Kak Barra, tapi kalau Kakak keberatan, Aluna bisa pesan ojek online---"
"Enggak usah aneh-aneh, Lo berangkat sama gue!" putus Barra sebelum adiknya selesai bicara.
Range Rover hitam milik Barra berjalan meninggalkan pelataran rumah. Lelaki yang mengenakan kacamata minus itu tengah fokus pada roda kemudi, di sisinya ada sang adik duduk bergeming sejak keduanya memasuki kendaraan.
Cukup lama keduanya diam, saking larut dalam pikiran masing-masing, sampai Barra lebih dulu mengeluarkan suara pelan.
"Lo kenapa, Ken?" tanyanya menoleh Aluna sepintas.
"Enggak papa, Kak." Aluna menjawab singkat, dia memilih melabuhkan pandangan ke sisi kaca mobil, mengamati jalanan yang terlewati.
Canggung dan rikuh mendominasi interaksi Barra dan Aluna.
"Gue perhatiin Lo lebih banyak diam, biasanya pecicilan, rese, Lo aneh kalau pendiam gini, Ken."
Kalimat Barra mendapat pengabulan Aluna. Gadis itu mengangguk setuju, bukan tentang kata-kata terakhir yang diucap Barra, tapi pada kata satir tentang sikapnya yang selalu pecicilan, rese dan suka petakilan.
"Aluna memang rese, petakilan, enggak pantas jadi cewe seperti kata Kakak," sahutnya pelan.
Barra melepas embusan napas. Niatnya bercanda, tapi sepertinya salah waktu saat menilik raut Aluna berpendar sendu.
"Becanda, Ken, jangan terlalu serius, ntar aja kalau udah di depan penghulu." Lagi, candaan refleks yang semakin membuat Aluna menunduk tak nyaman. Barra ingin menampar mulutnya sendiri yang hobi sekali keceplosan tanpa difilter. Candaannya garing dan datar. Alih-alih tertawa, lawan bicaranya malah terlihat muram.
Mobil Barra berhenti tepat di pelataran gedung perkantoran daerah Thamrin. Aluna membuka sabuk pengaman serta pintu, gegas ingin turun, tak lupa merapal terima kasih pada kakaknya.
"Hati-hati di jalan, Ken, mana wejangan buat gue? Biasanya enggak pernah absen bilang hati-hati." Barra protes. Satu hal menghilang dari kebiasaan Aluna, terasa sangat aneh baginya. Padahal setiap pagi adiknya itu selalu rutin bilang hati-hati usai merapal terima kasih, tak jarang pula disertai cubitan pelan di lengan kakaknya.
Aluna tersenyum tipis, "Hati-hati, Kak." Usai berucap langsung melenggang menuju lobi kantor tanpa menunggu mobil Barra menghilang dari pandangan. Menyisakan sedikit getir di hati Barra.
___
Barra Wisnu duduk dengan tidak tenang di ruang kerjanya siang ini.
Usai menghadiri rapat manajemen pukul sepuluh tadi, meninggalkan war room, usai meeting kelar, dilanjut mengerjakan tugas-tugasnya sebagai manager operasional sebuah perusahaan manufaktur. Matanya masih mengarah ke laptop, tapi pikirannya melayang ke arah lain. Benaknya sibuk menawan permintaan mama.
Nikah sama Aluna?
Itu kayak impossible banget buat Barra. Dia sayang Aluna sebagai seorang adik yang manis, yang membuatnya senang saat bisa menjaili Kendedes-nya itu, tapi untuk menjalin hubungan lebih dari sebuah persaudaraan, kenapa rasanya sangat aneh sekali.
Barra mendesah pelan. Perlahan laki-laki yang memakai setelan celana bahan hitam mengilat serta kemeja polos biru pirus itu larut dalam keheningan yang dia ciptakan sendiri. Pikirannya terbagi antara keinginan mama, dan deadline kerjaan, semuanya terasa berebutan memasuki batok kepalanya, menimbulkan pening dan rasa lelah. Barra kasih diam sembari menatap awang-awang, sampai getaran ponsel baru mereaksi lelaki itu dari gemingnya. Tangannya menggulir kursor, membuka aplikasi chat untuk memeriksa pesan masuk.
[Mas, nanti ke rumah ya, Ara kangen kamu.]
Membaca pesan masuk, Barra refleks menepuk kening. Sudah beberapa hari ini absen mengunjungi seseorang yang terlanjur dia istimewakan. Sayangnya malam ini Barra harus berkutat dengan banyak tugas - lembur menggarap konsep untuk proyek baru yang akan segera deadline.
Barra cepat-cepat mengetik balasan.
[I'm so sorry, malam ini saya lembur, ada deadline yang harus dirampungkan.]
Balasan dikirim, tak lama reply pesan kembali masuk.
[ Oh, oke enggak papa. Maaf ganggu kamu. Mungkin besok saja kalau kamu ga sibuk. Good luck, Mas ]
Satu lagi yang mengusik ketenangan Barra saat ini. Ara, balita perempuan nan lucu berusia dua tahun itu membuat Barra kerapkali disergap rasa bersalah mendalam. Dua tahun ini berusaha sembunyikan semuanya dari mama dan Aluna, bahkan dari teman-teman kantor, kecuali circle terdekat yang tahu tentang Ara. Entah bagaimana pendapat mama dan Aluna saat mengetahui sisi lain darinya nanti.
Untuk saat ini Barra memilih bungkam, mungkin suatu saat nanti saat ada waktu yang pas, dia akan membagi sisi lainnya pada Mama dan Aluna.
[Terima kasih, salam buat Ara. Kamu butuh apa? Biar saya pesankan lewat aplikasi. Oh iya, kemarin saya transfer, coba dicek, kalau butuh apa-apa jangan sungkan, ya]
Balasan Barra sebelum meletakkan ponselnya ke saku celana, untuk kemudian fokus kembali pada pekerjaan.
Mata Barra melirik arloji, jam makan siang hampir habis, tidak ada gairah untuk melangkah keluar sekadar ngopi atau menikmati santap siang. Semua permasalahan yang tumpang tindih membuat lambungnya otomatis terasa penuh.
___
"Aluna, dipanggil ke ruangan Pak Teddy," suara Mbak Hesti - rekan kantor bagian HRD- tempatnya bekerja dengan jobdesk sebagai staff administrasi membuyarkan fokusnya - yang sedang menyusun pengarsipan data perusahaan.
"Kok tumben enggak nelpon langsung, Mbak Hes?"
"Iya, tadi gue barusan dari ruangan Pak Teddy, minta tanda tangan, jadi beliau titip pesan buat Lo."
Aluna ber-oh-pendek, sejurus meninggalkan kubikelnya melenggang ke ruangan Pak Teddy sembari membawa notebook, karena biasanya atasannya itu akan minta beberapa laporan, atau minta dibuatkan surat resmi perusahaan.
Ketukan pintu diiringi suara permisi Aluna sebelum memutar handel dan melenggang masuk.
"Permisi Pak Teddy, kata Mbak Hesti, Bapak memanggil saya, ada yang bisa dibantu, Pak?" tanya Aluna sopan.
Pak Teddy mengangguk. Atasannya itu menitahkan Aluna duduk sementara beliau masih fokus menelpon.
"Aluna, sudah berapa lama stay di sini?" tanya Pak Teddy usai mengakhiri sambungan telponnya.
"Hampir satu tahun, Pak." Jawaban Aluna mereaksi Pak Teddy. Laki-laki paruh baya itu manggut-manggut paham. "Kenapa ya, Pak? Apa ada masalah?" Aluna bertanya dengan kening berkerut khawatir. Takut kalau-kalau dia membuat kesalahan fatal sampai harus menerima surat peringatan, atau lebih parahnya langsung didepak dari posisinya.
Pak Teddy menggeleng disertai derai tawa.
"Bulan depan akan ada pergantian Direktur Utama setelah Pak Wahid memutuskan pensiun dini."
Aluna masih belum menangkap maksud dan korelasi kalimat Pak Teddy dengan dirinya yang dipanggil menghadap.
"Mr. Ridwan, yang nanti akan menggantikan Pak Wahid butuh sekretaris yang siap mendampingi saat sudah di sini nanti, Aluna. Saya rasa daripada HRD harus menginterview pegawai baru untuk calon sekretaris, saya pikir tidak ada salahnya mempromosikan kamu, Aluna."
Aluna sedikit membola, terkejut dengan pernyataan Pak Teddy.
"Maaf Pak, apa tidak salah, bukannya ada Mbak Dina ya, sekretaris Pak Wahid, otomatis nanti akan mendampingi Mr. Ridwan, kan?" Aluna masih tak percaya. Gelengan Pak Teddy menjawab rasa penasaran Aluna.
"Dina pamit resign sudah dari sebulan lalu, suaminya tidak kasih izin dia buat kerja setelah tahu Dina hamil."
Oh, pantesan. Gumam Aluna dalam hati, baru tahu berita ini. Menggigiti bibirnya karena masih agak tak percaya kalau mendapat promosi jabatan.
"Pasti kamu bertanya-tanya, kenapa kamu, Aluna."
"I-iya, Pak."
"Karena kami tahu siapa yang pantas mengisi posisi ini, kamu memilih yang terbaik di antara kalian. Cekatan, rajin, dan tanggap. Kamu memiliki semua kriteria seperti yang diinginkan oleh Mr. Ridwan." Itu pujian atau sebuah kejujuran, tapi Aluna tidak berani bersorak walau dalam hati. Saat ini jantungnya terasa deg-degan gara-gara mendapat promosi mendadak. "Besok Dina akan mendampingi kamu, mulai training dan siapkan diri, Aluna." Sambung Pak Teddy, lalu memberi ucapan selamat pada salah satu karyawannya itu.
Aluna pamit usai Pak Teddy selesai dengan penjelasannya. Sepanjang mengayun kaki kembali menuju kubikel ada satu hal yang menawan pikiran Aluna. Dia merasa tidak asing dengan nama Ridwan, tapi entah pernah bersinggungan di mana dan kapan, Aluna tidak ingat. Nama Ridwan sangat banyak, mungkin bisa jadi berbeda orang dengan yang sedang Aluna pikirkan.
Ah! Kenapa rasanya biasa saja, tidak ada euporia yang menguar dari jiwa Aluna, padahal sudah lama dia memimpikan bisa mendapat promosi jabatan. Semua tertutupi oleh getir ketika membayangkan tentangnya dan Barra Wisnu.
****
Ken punya rahasia, Mas Barra pun punya sisi lain.
Nah, loh, piye?
24-03-2022
1400
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro