17. Tawaran
Happy baca ❤️
Sorry for typo
.
.
.
Siang yang terik, atmosfer panas semakin terasa membakar saat Aluna mendapat serangan kalimat pedas yang dilontarkan Pak Ridwan kepadanya.
Akibat terlalu memikirkan masalah Barra dan Kamela, sampai Aluna melalaikan tugas mengurus dokumen yang akan dibawa Pak Ridwan meeting siang ini. Dokumen penting yang telah disiapkan dari jauh-jauh hari malah tertukar dengan map berisi kertas kosong saat meeting telah dimulai. Akibatnya Aluna harus menanggung amarah yang ditumpahkan oleh Boss-nya tersebut.
Menunduk diam, tak berani membalas setiap kalimat tendensi yang Pak Ridwan ucapkan menjadi pilihan Aluna.
"Sangat tidak profesional! Kamu membuang-buang waktu saya dengan percuma. Kamu tahu, berapa kerugian yang harus perusahaan ini alami kalau sampai kesepakatan kerja sama hari ini berakhir gagal, hah!?"
Kilat amarah memancar jelas di kedua mata Pak Ridwan saat mengomel.
Aluna masih bergeming. Bagaimanapun dia mengakui dalam hati, kalau semua karena keteledorannya, meeting siang ini terpaksa diundur dua minggu ke depan. Wajar kalau Pak Ridwan murka. Pasalnya perusahan tempatnya bekerja akan segera melaunching beberapa produk baru. Siang ini jadwal bertemu dengan para investor dari Luar Negeri. Pak Ridwan bersiap mempresentasikan produk baru di depan para calon pemegang saham, tapi harus berakhir memalukan saat dokumen yang disiapkan ternyata berisi kertas kosong. Rapat yang telah direncakan dari jauh hari berakhir dengan penundaan karena kesalahan teknis yang tidak terduga.
"Bisa kerja atau tidak kamu itu!" Suara garangnya disertai lemparan berkas berisi kertas kosong ke arah Aluna seolah menjadi tamparan tak langsung. Mata Aluna membias kaca. Kaget dan malu bercampur jadi satu.
"Saya tidak mau tahu, dua Minggu lagi kalau sampai terjadi kesalahan yang sama, saya pastikan posisi kamu akan digantikan orang lain!" Intimidasi terakhir yang diucapkan Pak Ridwan sebelum Boss-nya itu melenggang keluar ruangan disertai bantingan pintu cukup keras.
Aluna hanya bisa merapal maaf dan iya. Selebihnya lebih banyak bungkam karena takut salah bicara. Kali pertama selama dia bekerja di kantor ini, Aluna ingin hari segera beranjak petang. Dia ingin cepat-cepat pulang, dan menangis karena menghadapi hari yang cukup berat.
"Jangan diambil hati. Pak Ridwan memang seperti itu perangainya. Nanti kalau sudah menguap marahnya, biasanya beliau juga lupa kalau barusan marah." Suara itu menukas gerakan Aluna yang tengah memunguti kertas di lantai. Saat kepalanya menoleh ke sumber suara, dia mendapati calon atasan baru berdiri di sisi kusen pintu ruangan yang setengah terbuka sembari mengantongi tangan pada celana formalnya.
"Iya, Pak." Aluna menjawab singkat. Afirmasi positif yang diucapkan Pak Sadewa barusan tidak berefek apapun baginya.
Sadewa Soedirdja. Putra tunggal Ridwan Soedirdja - yang Aluna tahu laki-laki berpenampilan metroseksual itu disiapkan untuk menggantikan posisi bapaknya yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun.
"Hai, kita belum kenalan. Saya ..."
"Pak Sadewa, saya sudah tahu nama Bapak." Aluna menukas cepat, menimbulkan tawa kecil Sadewa.
Laki-laki berperawakan jangkung itu manggut-manggut mendengar ucapan Aluna. Dia memangkas jarak, berdiri mendekat tepat di sisi Aluna, dan tanpa canggung langsung mengulurkan tangan. "Sadewa," ucapnya seraya memamerkan senyum tipis. "Kita harus kenalan secara formal, kan?" Sambungnya memicu keterdiaman Aluna.
Usai geming beberapa saat, Aluna membalas uluran tangan Sadewa. "Aluna, Pak!" sahutnya menyebut nama.
"Jangan diambil hati kata-kata pedas Papa tadi. Papa memang begitu orangnya, suka marah, tapi juga gampang lupa kalau pernah marah. Saya bisa jamin, setelah ini pasti Papa akan bersikap biasa." Tanpa diminta Sadewa memberi penjelasan tentang sikap papanya alias Pak Ridwan. Aluna hanya mengangguk pelan menanggapinya. Kalaupun nanti Pak Ridwan masih marah, toh itu memang karena kesalahannya, tadi Aluna hanya akan mempersiapkan diri agar tidak baper atau kaget.
"Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu, ada kerjaan yang harus saya selesaikan." Aluna ingin pamit.
"Tunggu!" Interupsi Sadewa.
Aluna menghentikan langkah. Kepalanya menoleh pada Sadewa yang berada beberapa meter di belakangnya.
"Iya, Pak?"
Sadewa mendekat pada Aluna, masih dengan gayanya menyimpan tangan ke saku. Lelaki itu tersenyum tipis. "Senang berkenalan dengan kamu ... Aluna," ucapnya pada Aluna. "Saya boleh bilang sesuatu, Aluna?"
Kening Aluna berkerut mendengarnya. "Bilang apa, Pak?"
Tawa Sadewa kembali berderai. "Agak konyol memang, tapi mata kamu ... mata kamu mengingatkan pada kembaran saya yang telah lama pergi."
Aluna masih mencerna ucapan Sadewa. Batinnya ber-oh-pendek. Oh, jadi Pak Sadewa ternyata bukan anak tunggal, tapi punya saudara kembar. Telah lama pergi? Apa itu artinya ... pergi dalam makna lain, pergi yang tak pernah kembali lagi? Aluna jadi bertanya-tanya sendiri.
"Pergi selamanya?" Melompat juga pertanyaan itu dari Aluna.
"Iya, saudara kembar saya meninggal dalam tragedi kecelakaan beberapa tahun silam." Pak Sadewa menawan rasa penasaran Aluna. "Dia laki-laki, bukan perempuan. Tapi mata kamu, sungguh, saya seperti melihat dia dalam mata kamu." Sadewa memberi pengimbuhan, seolah paham apa yang ingin Aluna tanyakan selanjutnya.
"Saya permisi dulu Pak." Membalas kata-kata Sadewa dengan pulasan senyum, lalu memutus obrolan dengan pamit.
__
Petang menyapa. Aluna bersiap meninggalkan pelataran kantor. Tujuannya tidak langsung ke rumah, tapi mampir ke rumah sakit, tempat Ara dirawat. Kemarin sudah berjanji pada Barra kalau dia akan mewakili datang membesuk kecil itu beserta mamanya - Kamela.
"Kamu, ngapain ke sini?" Pertanyaan Mela menyambut langkah Aluna saat dia memasuki ruang perawatan Ara sore ini. Mata Mela menatap Aluna sebentar, kemudian bergulir pada Ara.
Aluna meneruskan langkah, kejinya menjangkau sofa yang tidak jauh dari bed perawatan. Duduk di sana sembari menyilang kedua tungkai, senyumnya terpulas manis pada Mela.
"Mulai hari ini saya mewakili Kak Barra buat datang ke sini," ujar Aluna santai.
Mela menoleh tak santai. Perempuan itu membaringkan Ara yang berada dalam dekapannya, kemudian melangkah ke tempat Aluna duduk.
"Maksudnya gimana?" tanyanya dengan wajah menegang.
Aluna menyunggingkan senyum lemah. Malas berdebat dan ribut, dia memilih mengalah dan tetap bersabar saat menghadapi polah Kamela.
"Seperti yang saya bilang barusan, beberapa waktu ke depan, Kak Barra enggak akan ke sini, dia sibuk ngurusin persiapan pernikahan kami, sebagai calon istri yang baik, saya mewakili dia buat mengunjungi kamu dan Ara." Aluna berharap Kamela bisa mudah menangkap maksud ucapannya.
"Pasti kamu yang melarang Mas Barra buat datang ketemu saya dan Ara." Tuduhan tak berdasar tercetus dari Kamela.
Aluna menggeleng-geleng samar. Gemas aslinya mendapati sikap keras kepala Kamela. Embusan napas di lepas kasar.
"Terserah apa kata kamu, tapi saya ke sini karena sudah janji sama Kak Barra kalau seminggu ke depan bakal gantiin dia buat mengunjungi kalian."
"Kami enggak butuh. Kamu enggak usah repot-repot datang ke sini." Kukuh Kamela.
Aluna beranjak, berniat menengok keadaan Ara yang tengah terlelap. Tapi baru dua langkah tangannya dicekal Kamela. "Mau ngapain kamu?!" Hardiknya menatap tajam pada Aluna.
Aluna menghempas cekalan tangan Kamela. Matanya menatap sepasang manik legam milik Kamela, jelas sekali dia rekam ada jelaga ketakutan serta cemas mengobar di mata mamanya Ara tersebut.
"Saya cuma ingin lihat keadaan Ara, kenapa kamu lebay gitu reaksinya?" Tanya balik Aluna.
Kamela terdiam. Perempuan itu membiarkan Aluna meneruskan langkah menuju bed perawatan Ara.
Aluna memperhatikan sosok cantik nan mungil yang terbaring lemah di atas brangkar. Matanya menatap kelopak mungil yang terpejam erat di sana. Ada setitik rasa tak biasa saat Aluna mengamati Kiara dari jarak super dekat seperti sekarang. Batinnya seperti diketuk, merasa dekat padahal baru terlihat.
Pantas saja Barra sangat menyayangi Ara, gadis kecil yang manis itu memang menggemaskan. Padahal Aluna belum berinteraksi apapun dengan Ara, baru sebatas menyentuh dahi dan mengusap rambut Ara lembut.
"Jangan diganggu, dia baru bisa tidur nyenyak!" Interupsi Kamela menghentikan polah Aluna. Dia memahami kalimat ibunya Ara barusan. Aluna mengalah, beringsut mendekat pada tempat Kamela memaku langkah.
"Saya punya tawaran buat kamu," ujar Aluna.
Kamela menoleh dengan kedua alis menukik bersamaan. "Tawaran apa maksud kamu?" Tanya berbalas tanya. Ekspresi Kamela terlihat menyelidik.
Aluna isyaratkan agar Kamela mengikutinya duduk di sofa. Keduanya duduk bersisihan dan Aluna mulai membicarakan tentang tujuannya datang ke sini. Aluna menjelaskan kalau dia akan membantu Kamela sampai perempuan itu bisa mentas dan mandiri.
"Mas Barra saja enggak pernah keberatan menanggung saya dan Ara, kenapa malah kamu yang ribut?" Protes Kamela salah paham. "Jangan-jangan kamu sengaja ngelakuin ini, mau menjauhkan Ara dari papa angkatnya, iya?!" Sambungnya masih menatap tajam ke arah Aluna.
Dengkusan kasar menguar dari hidung Aluna. Sudah juga ternyata bicara dengan Kamela yang keras kepala. Sekarang dia paham kenapa Barra sampai bingung menghadapi sikap kepala batunya perempuan satu itu.
Aluna mengibas tangan ke udara. Ekspresinya tetap dibuat sesantai mungkin. "Terserah sih, saya enggak peduli sama komentar kamu, yang penting tujuan saya baik, mau bantu kamu biar enggak selamanya bergantung sama seseorang. Mau sampai kapan kamu dan Ara hidup dari bantuan orang lain? Pikirin juga masa depan Ara, sebentar lagi dia bakal sekolah, kebutuhan-nya makin banyak. Enggak mungkin, kan, kamu hanya mengandalkan kebaikan satu orang? Kalau orang itu rezekinya lancar, bisa terus bantu, kalau suatu saat ada kendala, terus enggak bisa bantu lagi, kamu mau apa? Nangis-nangis gitu? ... Lemah!" Kalimat terkahir sengaja Aluna tekankan agar Kamela bisa meresapi semua yang dia jabarkan. Bukan sengaja mau bersikap jahat, tapi demi kebaikan Kamela dan Ara sendiri.
"Lupakan sejenak tentang persaingan kita. Saya juga yakin banget kok, kamu mati-matian mau sama Kak Barra agar enggak kehilangan perhatian sama semua fasilitas yang dia kasih. Iya, kan?"
Skak mat! Kamela terdiam. Tidak berani mengangkat pandangan menatap balik pada Aluna. Refleksinya mencengkeram erat pinggiran sofa sebagai pelampiasan rasa kecewanya.
___
Meet Sadewa Soedirdja
Apakah dia bakal jadi saingannya Kang Barra?
Mohon maaf ya, updatenya agak lama, lagi ngerjain sesuatu di duta.
Terima kasih para manusia baik yang sudah menyempatkan waktu buat baca dan kasih komen serta vote. Sehat selalu kalian semua.
24-04-2022
1500
Tabik
Chan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro