Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Saya Calon Istrinya!

"Mari mencoba saling jatuh cinta ..."
Barra tidak tahu, dapat suntikan keberanian dari mana sampai bisa kelepasan mengatakan hal demikian pada Aluna.

Kalau dipikir-pikir, lucu memang. Barra merasa termakan karmanya sendiri. Dulu, saat Aluna masih kecil, dia kerapkali mencandai, nanti kalau Una besar, jangan menikah sama laki-laki lain, sama Kakak saja. Agaknya secara tidak sadar kemungkinan omongan sebatas candaan menjadi doa tak terucap yang didengar malaikat. Barra harus waspada, karena bisa jadi omongannya dikabul oleh Allah.

Laki-laki yang mengenakan jas biru gelap itu  mengalihkan pandangan. Menatap Aluna dari jarak dekat, tanpa dikomando rasa deg-degan bertamu tanpa permisi. Sepertinya Barra baru memercayai sebuah kalimat; Tuhan Maha Membolak-balikkan perasaan setiap hamba.

Kemarin biasa saja saat berada di dekat Aluna, kenapa sekarang harus dirangkul rasa salah tingkah. Sebagai laki-laki yang hampir tak pernah dekat dengan perempuan lain, Aluna seorang yang mengisi hari-hari Barra dari dewasa muda sampai menjadi dewasa seutuhnya. Usia delapan belas tahun Barra kehilangan sosok sang ayah yang telah berpulang, satu pukulan telak menghampiri. Di saat teman sebaya sibuk bermain romansa dengan lawan jenis, Barra Wisnu sibuk mengajar cita-cita. Waktunya digunakan untuk belajar agar bisa lulus tepat waktu. Sukur-sukur mendapat predikat cumlaude - yang bisa membanggakan mama.

Lepas wisuda strata satu, mama langsung mengirimnya ke luar negeri untuk melanjutkan S2-nya. Walau saat itu Barra menolak, tapi mamanya beragumen, sayang jika Barra menyia-nyiakan kesempatan beasiswa. Tidak semua orang mendapat kesempatan bagus.

"Ken, gimana?" Tanyanya mencuat, tidak sabar menanti reaksi Aluna.

Sementara, Aluna menegang di tempat. Otaknya mendadak mode born out. Apa pendengarannya yang bermasalah? Ataukah, Barra Wisnu yang sudah gila atas ucapannya barusan? Alih-alih menjawab, Aluna malah menguarkan tawa kering.

"Hahahaa ...." Tawa keringnya melesat tanggapi ungkapan Barra. Aluna menggeleng-geleng sebagai reaksinya, baru merapal jawaban bagi Barra,. "Kak Barra gila!"

Mengajak saling jatuh cinta? Aluna pikir itu adalah kata-kata paling konyol yang dia dengar sepanjang hidup.
Dalam otaknya sibuk menadahi tanya; gimana bisa antar saudara saling jatuh cinta?
Ya, walau dia dan Barra bukan saudara kandung--yang berarti tidak ada ikatan darah, tetap saja rasanya aneh. Sudah terbiasa bersama sebagai adik-kakak, rasa berkasih-sayang layaknya persaudaraan lebih mendominasi batin Aluna, lalu, gimana bisa tumbuh rasa cinta?

Barra memulas tengkuk. Lelaki itu memejam sebentar, sebelum akhirnya membuka mata, menatap Aluna lagi.

"Jadi, kesimpulannya Una enggak mau?"

"Enggak!" jawab Aluna tanpa berpikir panjang.

Dua jempol Barra mengacung. Senyumnya tercetak tipis di antara rahang kokohnya.

"Sip! Udah Kakak rekam, nanti tinggal kasih dengar ke mama, biar mama tahu sendiri kalau Una menolak. Kalau Kakak sih, oke-oke aja." Wajahnya menyirat jail saat berucap.

Aluna menganga. Memang dasar! Bukan Barra namanya kalau enggak memantik rasa kesalnya. Laki-laki satu itu benar-benar ujian besar baginya.

"Kak Barra kok culas!" hardiknya dengan raut kesal.

Bisa-bisanya tanpa Aluna tahu lelaki di sebelahnya itu telah mengaktifkan mode recorder pada ponsel pintar miliknya--merekam semua obrolan yang baru saja terjadi. Dia pikir Barra mengatakannya secara sungguhan dari hati. Nyatanya hanya iseng dan sengaja menjebak.

Tawa Barra berderai. Tidak kok, soal rekaman itu hanya alibinya mengalihkan rasa gugup akibat menanti jawaban Aluna.

"Hapus, Kak!" Seruan Aluna ditanggapi dengan gelengan. Rasa sebal menjangkau ubun-ubun Aluna, dia raih paksa ponsel kakaknya yang tersimpan pada saku jas. Barra sampai terkesiap oleh polah Aluna.

"Agresif banget jadi cewek, enggak baik, Ken," ucapannya lembut. Ponsel di tangan Aluna dia ambil kembali. "Percuma juga Lo ambil, hape gue dilock, Lo enggak bakal bisa ngebuka." Pengimbuhan Barra.

Dengkusan kecil. Aluna cubit kecil pinggang Barra sebagai pelampiasan rasa kesal.

Sepasang mata milik Barra mengawasi Aluna. Dari balik bulu mata dia perhatikan raut cemberutnya Una. Makin gemes. Pengin menjaili lagi, tapi sadar diri, mereka sedang berada di kendaraan. Sangat tidak lucu kalau reaksi Aluna berlebihan, mungkin akan memukul, menendang, atau mencubit kecil bagian tubuhnya- yang mungkin akan membikin sedikit goncangan pada kendaraan roda empat tersebut. Bisa-bisa melahirkan salah paham bagi orang yang melintas. Nanti dikira macam-macam, mesum di dalam mobil.

"Una mau pulang, kalau Kakak masih betah disini, Una mau naik taksi aja!" Aluna menukas.

"Iya, ayo pulang. Jangan ngambek gitu, makin jelek, Ken." Tangannya mengusap sepintas rambut Aluna. "Tadi itu cuma candaan, Kakak enggak rekam, kok. Suwer, Ken."

"Bodo amat, Kak!" Tak acuh sama sekali. Mau direkam sekalipun Aluna tak peduli. Palingan dapat sedikit ceramah mama nantinya.

Barra hendak melajukan mobil, du saat bersamaan ponsel dalam saku meraung kencang. Sebuah panggilan telepon baru saja masuk. Melirik sekilas nama si pemanggil, Kamela.

Matanya bertukar pandang dengan Aluna, seolah meminta pendapat; apa boleh diangkat telponnya?

"Angkat aja dulu, Kak," sahut Aluna seolah memahami maksud tatapan Barra.

"Assalamualaikum, iya Mel, kenapa?" Barra angkat telepon. Kamela di seberang sana terdengar terisak sembari bicaranya terbata-bata.

"Wa-wa'alaikumussalam, Mas, kamu bisa ke sini sekarang? Ara, Mas ..."

"Ara kenapa?" Wajah Barra sontak dihiasi cemas.

Aluna menoleh sepintas, memerhatikan Barra saat merapal nama Ara. Dalam sekejap dia bisa menebak kalau yang berbicara dengan Barra di seberang sana pasti perempuan sama yang telah tiga tahun ini disembuhkan lelaki itu.

"Ara badannya panas, Mas, dari semalam. Aku mau bawa ke rumah sakit, kamu bisa ke sini Mas? Aku sama Ara butuh kamu."

Barra belum menjawab, di ambang bimbang karena bersamaan dia sedang bersama Aluna.

"Ke situ, sekarang Mel?" Mata bergerak menyerobok pada mata aslinya saat jawabi permintaan Mela.

Dengkusan pelan. Aluna menukas.
"Enggak usah bingung, datang saja ke sana, biar aku turun di sini," lafalnya tanpa menatap Barra.

Telepon diakhiri dengan kata-kata terlahir Barra menyatakan akan mengusahakan datang.

"Dia, Kamela," lafalnya menjelaskan pada Aluna. "Anaknya Mela, Ara, demam dari semalam, makanya mamanya minta Kakak ke sana, mereka butuh bantuan buat segera ke rumah sakit."

Aluna tidak habis pikir. Ini jaman modern, bukan lagi era susah layaknya tahun terdahulu. Apa-apa bisa dengan mudah didapatkan. Contohnya fasilitas kendaraan umum. Sekarang ini enggak perlu berdiri lama-lama di halte atau pinggir jalan untuk sekadar menyetop taksi atau ojek. Ada beragam pilihan aplikasi penyedia jasa taksi maupun ojek online. Bukan Aluna tak mau bersimpati, tapi dengan keadaan serba mengkhawatirkan, harusnya perempuan itu bisa kan, membawa anaknya ke rumah sakit tanpa menunggu bantuan orang lain.

"Jangan marah, ya. Una ikut saja sekalian, biar Kakak kenalin sama Mela dan Ara."

Anggukan pelan. Aluna menyatakan iya lewat gerakan kepala singkat. Barra bergegas melajukan mobil menuju kediamannya yang sekarang ini ditempati Mela dan Ara.

"Pantas ya, selama bertahun-tahun Kak Barra selalu melarang setiap Una sama Mama mau main ke rumah Kakak." Membunuh bosan dan canggung, Aluna melempar kalimat sindiran.  Alih-alih tersindir, tawa Barra berderai malahan.

"Bukan gitu, Kakak cuma enggak mau mama syok trus pingsan pas tahu di sana ada dua perempuan yang Kakak sembunyikan."

"Kakak ... kenapa enggak nikah saja sama perempuan itu? Kalian kelihatan cocok." Pertanyaan itu sengaja ditebar, Aluna ingin tahu reaksi Barra.

Barra tersenyum tipis sebelum menjawab. "Dulu memang iya, Kakak pernah pengin nikahin Mela, tapi dia nolak Kakak. Katanya belum bisa move on dari Kula." Tawanya kembali berderai usai berkata.

Aluna ber-oh-pendek. Rupanya tebakannya benar, Barra pernah suka dengan Mela-Mela itu. Aluna membuang muka, mendadak rasa tak suka akan jawaban Barra mengakuisisi hati.

"Kenapa nanya-nanya gitu, Ken?" Tolehan sekilas saat Barra bertanya.

Kedua bahu Aluna terangkat. "Enggak papa, cuma nanya aja."

Tidak terasa mobil sampai di komplek . Barra memarkir kendaraan tepat di depan pagar bercat putih setinggi dada orang dewasa.

"Turun yuk!" ajaknya pada Aluna.

Keduanya turun, menjangkau teras depan rumah tipe 41 itu. Aluna melangkah pelan di belakang Barra. Rasa penasaran lebih mendominasi tentang sosok Mela dan Ara.

Sengaja membiarkan Barra lebih dulu mengetuk pintu, Aluna berdiri di sisi taman kecil di sebelah carport. Saat pintu terkuak, mata bundarnya langsung menangkap sosok langsing dengan balutan kulot dipadu blus. Yang membuat Aluna tercengang, adalah sosok cantik itu serta merta menubruk tubuh Barra--memeluk paksa seraya menangis pelan.

"Mela, tolong jangan begini, nanti ada yang salah paham." Barra agak syok dengan tingkah spontan Kamela.

Perempuan berhijab itu melepaskan diri, serta merta melafalkan maaf atas kelancangannya, "Maaf Mas, aku ... aku bingung, Ara demam dari semalam, akhirnya kamu datang ke sini."

Ketukan heels terdengar mendominasi percakapan Kamela dan Barra. Sosok mungil dalam balutan busana kerja itu menginterupsi fokus kedua orang beda jenis kelamin tersebut. Mata bundar miliknya berpendar tajam disertai senyum tipis yang terpulas.

"Mas, si-siapa itu?" Kamela bertanya dibarengi tatapan pada Aluna.

Barra ikut menoleh ke arah sang adik. Aluna mendekat, berdiri persis di sebelah Barra, tangannya terulur pada Kamela masih dibarengi senyum manis. Detik berikutnya barter perkenalan diucapkan, "Hallo, Mbak, kenalkan, saya Aluna ..." Aluna menakar ekspresi Kamela.

"Ha-hai juga, kamu boleh panggil saya, Mela. Kamu---"

"Calon istrinya Kak Barra." Aluna menukas sebelum Kamela selesei dengan kalimatnya.

___

Huwa, Una udah berani bilang calon isteri. 🤭

Mas Bar, tolong ya, yang tegas setelah ini. 🤐










07-04-2022
1500

Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro