Closer - @najihajarot
Closer by najihajarot
Premis dari PrythaLize :
Gadis miskin yang menyelinap masuk di kapal Titanic
Genre: Thriller
=========================================
"Kau tahu, Ruth, jika kau merasa semua itu mudah, kau akan terjatuh pada akhirnya."
Itu kalimat terakhir ayahku sebelum Walter menemukannya tertidur di lantai dengan busa keluar dari mulutnya. Umurku 13 tahun ketika beliau meninggal, dan sejak itu Walter selalu menemaniku seakan-akan aku adiknya. Umurnya 17 tahun saat itu, dan kini 25. Aku masih menganggapnya bukan siapa-siapa, seperti sumpah yang kukatakan pada ayah.
Aku mengelus telapak tanganku. Tanganku berkeringat, tetapi tempat ini sama sekali tidak panas. Di sampingku Walter berdiri, berbicara dengan karismanya yang terlihat menyedihkan di mataku.
Ruangan tempat aku berdiri membuatku mabuk. Aroma wine, masakan-masakan dengan bumbu, bahkan parfum wanita-wanita kelas atas. Aku yang biasanya hanya mencium aroma hujan dan tengik pinggir jalan tidak dapat beradaptasi dengan cepat.
"Ah iya, perkenalkan, ini...." Walter melingkarkan tangannya ke pinggulku, memamerkanku pada lawan bicaranya yang sudah berambut kelabu. "Marie, tunanganku."
Aku mengangguk sekilas. Pria-pria itu tertawa geli, lalu menyebutkan masing-masing namanya, entah siapa saja aku tidak ingin mendengarnya. Semakin lama aku diam, semakin erat pelukan Walter. Aku tidak menyukainya.
Akhirnya acara makan malam selesai. Aku mengembuskan napas lega, menyenderkan kepalaku ke bahu Walter yang kelihatannya lelah pula.
"Kau masih ingin berpura-pura?" tanyaku. Walter terkekeh seraya kami berjalan keluar ruang makan megah itu.
"Tidak, aku lelah," ujarnya. "Aku juga tidak ingin kau menjadi istriku."
Aku tersenyum kecut. "Sekarang apa yang akan kau lakukan?"
"Ke bawah, melihat-lihat mesin yang menggerakkan kapal ini."
"Aku ingin tidur...."
Walter menatapku heran. "Kau? Tidur?"
Sebuah reaksi yang tidak ganjil lagi darinya. Aku hanya dapat mengembuskan napas berat. "Baiklah, aku ikut. Aku sudah menemanimu ke kapal superbesar ini. Titnic, Tita... apa namanya?"
Ia mendecak. "Royal Mail Steamer Titanic. Sudah kukatakan berapa kali?"
"Sayang sekali Walter, aku tidak peduli akan kapal-kapal yang kau kagumi itu."
"Diamlah kau." Ia menatapku kesal, tetapi aku tahu ia tidak benar-benar kesal. Walter selalu seperti itu, menyimpan sedikit kasih sayang bahkan di saat ia marah sekali padaku. Ia mendadak tersenyum. "Kau mau bawa papan catur ke bawah?"
Langkahku terhenti. "... Apa?"
Ia berdiri di hadapanku, memandangku jahil dengan rambut auburn-nya yang sudah ia acak-acak lagi. Sangat tidak cocok dengan jas yang ia kenakan. "Kau tahu, bermain catur sambil mendengar deru mesin... seperti dulu."
"Memangnya kita boleh turun ke sana? Aku yakin tidak." Kulipat tanganku di depan dada.
"Kau tidak ingin mencoba? Kedengarannya bukan seperti Ruth yang kukenal."
Aku menaikkan sebelah alisku. "Oh, maaf, aku bukan Ruth. Aku Marie, tunangan Tuan Thomas yang--"
"Kau mau ikut atau tidak."
Aku menyeringai kecil. "Tentu saja."
---
Kami tidak diperbolehkan masuk.
Walter memandang laut di dek kapal, memandangnya sendu dengan penuh penghayatan. Aku memalingkan wajah, mencegah rambutku terus menggores wajahku yang terasa beku pada malam ini. Langit begitu gelap, aku hanya dapat memandang Walter. Entahlah, aku lebih memilih untuk memandang orang itu dari pada barang-barang di sini.
Entah mengapa, malam ini aku ingin pulang.
Aku sadar kapal ini nyaman, sangat nyaman malah. Kasurnya empuk, aku dapat makan tiga kali sehari, ada wastafel di ruangan tempat aku menyembunyikan diri... malam ini malam ke-5, dan semoga aku dapat mencapai New York.
Mendadak kapal ini bergetar. Aku menyenderkan tubuhku ke dinding. Kulihat Walter masih bergeming. Kutebak ia masih terlarut dalam fantasinya, mengucapkan kata-kata seperti White Star Line, mesin uap maju mundur, horse power....
Tubuhku masih bergetar, kapal ini bergetar hebat. Walter dengan bodohnya masih berdiri di sana.
"Kita menabrak gunung es!"
Aku meneguk ludah. Teriakan itu terdengar dari atas. Aku mendongak, hanya dapat melihat kelamnya langit.
"Ruth, lari!"
Walter mendadak menggenggam tanganku, menariknya dengan paksa. Aku menarik tanganku kembali.
"Apa?!" tanyaku, kesal dengan tindakannya.
"Kita berada di depan kapal," terangnya, "kulihat airnya makin dekat padaku."
Aku mengerjapkan mataku, berusaha untuk memikirkan apa maksudnya. Menyadari aku masih berpikir, ia tari lagi tanganku, berteriak, "Kapal ini akan tenggelam!"
Baru beberapa detik kemudian aku sadar semua orang di sana mulai berlari.
Mataku basah. "Apa maksudmu tenggelam?" tanyaku. Langkahku mulai kupercepat, berusaha menyamakannya dengan langkah lebar Walter. "Bukankah kau bilang kapal ini tidak dapat tenggelam?"
Walter hanya menatapku sebentar, napasnya mulai terengah-engah dan wajahnya memerah. Ia memalingkan wajah lagi, menggenggam tanganku lebih erat dari sebelumnya.
Teriakan wanita di belakangku mengoyak gendang telingaku. Seorang pria tua menginjak sepatuku, lalu terantuk hingga ia terjatuh, dilangkahi oleh orang-orang di belakangnya. Aku hendak meraih tangannya, tetapi Walter malah menarikku kebih jauh.
Jantungku berdegup gila. Aku tidak mengira aku aka mati sekarang. Tunggu, apakah aku akan mati? Mataku berkunang-kunang, tetapi kakiku masih bergerak. Aku tidak ingin mengecewakan Walter, aku tidak ingin mati.
Suara tangisan bayi membuyarkan pikiranku, membuatku nyaris terpeleset.
"Bodoh!" teriak Walter. Aku meringis. Apakah ia tidak paham aku wanita lemah?! Ia menatapku lagi. "Genggam tanganku erat-erat."
"Kau sudah melakukannya dari tadi!"
Ia menggelengkan kepala kasar, lalu lanjut berlari. Walter panik. Benar-benar panik. Walter tidak suka keramaian, apalagi teriakan-teriakan yang terus terdengar selama kami berlari.
Lantai tempat kami berlari makin menukik. Seperti perkataannya, kugenggam erat tangan Walter. "Apa yang terjadi?" tanyaku. Walter tidak menjawab. Ia tetap berlari. Aku tetap berlari.
"Walter, jawab aku!" Air mataku menetes. "Mengapa kau mengajakku ke sini?!"
"... Kukira ini akan menjadi hiburan yang menyenangkan untukmu!"
Kuseka air mataku. "Kita akan mati!"
"Tidak," bisiknya. "Kita akan berusaha."
Walter mendorongku ke samping. "Lari!" teriaknya. Aku nyaris tidak percaya. Kapal ini benar-benar kacau. Bagian depan kapal terus tenggelam, membuat bagian belakang kapal terus bergerak ke atas. Miring, terus bergerak....
... Walter terseret ke bawah....
Aku....
Aku tidak bisa melihat Walter lagi.
---
Udara malam itu sangat dingin, tetapi seperti yang kuduga, air laut jauh lebih dingin dan menyakitkan.
Aku masih ingat wajah pucat pasi Walter, terjatuh menabrak tiang-tiang kapal bersama yang lainnya. Aku terus bersandar ke dinding, berusaha keras agar tidak jatuh. Tetapi wanita di sampingku mendorongku begitu saja, mengirimku langsung ke laut, entah berapa detik aku terbang di udara.
Semuanya menjadi gelap, tetapi aku terbangun.
Aku berada di atas sekoci, berisi beberapa pria, wanita, bahkan seorang lelaki kecil yang berwajah datar dan sedih. Tidak ada yang bicara. Tidak ada yabg menatap satu sama lain. Baju kami sama-sama basah, dan dingin malam menyiksa kulit kami.
Aku mengembuskan napas berat, berharap kakak tiriku, Walter, berada di sisiku. Aku sudah berjanji pada ayah agar aku terus berada di sampingnya, tetapi tidak terlalu dekat.
Dan jika Walter mati pada malam ini, itu berarti jiwa Walter berada di dalam hatiku.
Bukankah itu... terlalu dekat?
.
.
END.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro