Yes, I do
Kwon Soonyoung
Aku meletakkan ponselku kembali ke atas meja setelah mengucapkan salam perpisahan pada Midori. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kemarin malam aku meminta bantuan Junseo hyung untuk memesan kamar ini. Dari pukul sepuluh aku mempersiapkan semua kejutan ini untuk Midori. Aku bahkan terpaksa berbohong padanya dengan mengatakan ada jadwal syuting agar dia tidak curiga.
Kelopak bunga sudah disebar dari pintu masuk hingga coffee table dimana nanti akan ada kue dan minuman. Balon-balon beraneka warna sudah memenuhi langit-langit kamar. Aku bahkan menggantung ucapan "Would you be my girlfriend?" di dinding atas tempat tidur. Semoga Midori suka.
Aku berdiri dan menuju kamar mandi. Masih ada cukup waktu untuk berdandan. Aku memutuskan untuk mandi dan mempersiapkan diri. Aku sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan Midori!
--
Aku bersenandung senang karena akan menjemput Midori. Sesuai dengan waktu yang telah kami sepakati, aku akan menjemputnya di taman sungai Han dekat tempat tinggal Hyesung. Kuharap gadis itu sudah sampai sana. Aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya!
Dengan kacamata frame bundar dan snapback hitam di kepala, aku turun dari van Seventeen. Penyamaran sederhana dan tidak terlalu mencolok. Apalagi aku tidak memakai riasan apa pun, jadi lebih terlihat seperti orang biasa. Midori juga bilang ia lebih suka aku tanpa make up sih, lebih manusiawi katanya. Entahlah, aku juga tidak tahu apa maksud ucapannya.
Aku mengetik pesan singkat pada Midori, menanyakan dimana dirinya berada. Balasan muncul tak lama kemudian. Ia sedang menikmati es krim di kursi dekat area jembatan. Aku segera melangkah menuju tempat yang ia maksud.
"Soonyoung!"
Aku menoleh. Kulihat Midori melambaikan tangan kirinya dengan semangat padaku. Wajahku memerah. Aku memalingkan wajah tak berani menatapnya.
Midori sangat cantik!
"Kau kenapa?" tanya gadis itu heran setelah aku memutuskan untuk mendekat.
"Kau...," aku menghentikan ucapanku. Akhirnya tanpa banyak bicara aku melepaskan cardigan yang kukenakan dan menyampirkannya pada bahu Midori.
Midori diam. Pipinya memerah akibat perbuatanku. Dengan tangan kirinya yang tidak memegang cup es krim, ia membenahi pakaian yang aku berikan padanya. Well, itu adalah oversized cardigan. Dipakai olehku saja kebesaran, apalagi dikenakan oleh Midori yang bertubuh lebih mungil dariku. Yah, setidaknya cardigan itu bisa melindungi bahu sekaligus paha Midori. Anggaplah sebagai jubah.
"Aku hanya takut kau jatuh sakit. Udara sore hari kan semakin dingin," kilahku.
Midori tersenyum. Ia mengangguk mengerti dan mengajakku untuk duduk di bangku panjang tak jauh dari tempat kami berdiri.
"Kukira karena kau tidak suka gaya berpakaianku. Kan jarang-jarang aku tampil feminime menggunakan blus seperti ini dan rok," katanya sambil kembali menikmati sisa es krim di dalam cup.
"Aku suka," jawabku cepat sebelum gadis ini makin salah sangka. "Tapi aku ingin menjaganya hanya untuk jadi milikku. Tidak boleh ada laki-laki lain yang melihatmu seperti ini."
"Ah, ehm, oh...," Midori tampak bingung harus membalas apa. Ia salah tingkah dengan ucapanku. Melihat hal itu, aku jadi makin gencar menggodanya.
"Kau juga menata rambutmu dan berdandan. Pantas saja aku pangling. Kau terlihat sangat memukau."
Wajah Midori merah padam. Bukan karena marah, tapi karena kelewat malu. Ya ampun, kalau begini sih, dia sudah tidak butuh blush on lagi.
Aku mencubit pipinya sekilas. Karena tidak kuat menahan malu, gadis di sebelahku ini menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangan. Aku tertawa kecil.
"Puas?"
Aku berusaha keras menahan tawaku. "Kalau ini bukan tempat umum, aku pasti sudah menghujani wajahmu dengan ciuman. Pipimu bahkan terlihat nikmat seperti kepiting rebus."
"Hentikan, Kwon Soonyoung!"
Aku meringis ketika Midori menghadiahiku dengan pukulan ringan di badan. Aku berusaha menangkisnya sembari tetap tertawa. Lucu banget sih gadis ini....
"Kau masih mau lebih lama disini atau bagaimana?" tanyaku setelah Midori kelelahan sendiri.
Midori mengangkat cup es krimnya yang sudah kosong. "Aku masih lapar padahal sudah makan ini," ucapnya sambil mengerucutkan bibir.
Aku tersenyum geli. Akhir-akhir ini Midori memang jadi bisa bersikap kekanak-kanakan. Manja gitu. Dengan sebelah tangan aku merapikan anak rambutnya yang berantakan akibat tertiup angin.
"Kalau gitu ayo kita makan. Aku sudah menyiapkan banyak hal untukmu," ucapku sambil tersenyum.
"Apa itu? Makanan?" tanyanya penuh antusias.
Aku kembali mencubit pipinya. Kalau Midori sedang tersenyum, akan timbul lesung pipit manis di kedua pipinya. Jadi makin gemas.
"Ya, makanan," jawabku sambil menjulurkan lidah. "Kau bahkan terkesan lebih senang karena ada makanan ketimbang karena akan menghabiskan waktu denganku."
"Memang," jawab Midori sambil tersenyum meledek.
"Oke, aku menyerah," aku berdiri dari posisi duduk sambil membenahi posisi snapback dan kacamataku. Kalau terus dituruti, entah kapan kita akan berangkat. "Kajja!"
"Kajja!" Seru Midori lucu meniru ucapanku.
Ya ampun. Aku ingin segera memeluknya karena kelewat gemas!
--
"Ini kunci kamarnya. Nomor 717 ya," ucapku sambil memberikan access card pada Midori setelah mobil yang kami tumpangi berhenti di basement gedung hotel.
Midori menerimanya dengan tatapan bingung. Aku tahu pasti ia tidak mengerti maksudku.
"Soonyoung akan turun dulu. Kau menyusul sepuluh menit kemudian. Kalian berdua tidak boleh terlihat bersamaan, apalagi ini hotel," Junseo hyung yang masih duduk di kursi pengemudi menerangkannya.
Midori mengangguk-anggukkan kepala sambil menyuarakan o panjang. Kini ia tampak mengerti. Gadis itu menoleh ke arahku dan berbisik satu kata.
"Hwaiting!"
Aku tersenyum. Gadis ini punya hobi baru menggunakan bahasa Korea sehari-hari. Gemas, aku mengacak rambut kebanggaannya dan membuka pintu di samping kananku.
"Pakai topi yang aku berikan tadi. Jangan lepas cardiganku, arrasseo?" Aku memberi peringatan padanya sebelum benar-benar pergi.
Midori mengangguk patuh. "Siap."
---
Aku menunggu dengan harap-harap cemas. Semenit yang lalu Junseo hyung menghubungiku bahwa Midori sudah keluar dari van menuju kamar yang telah aku pesan. Aku buru-buru merapikan makanan yang terhidang di meja beserta dengan dekorasinya.
Tak lama kemudian kudengar suara kasak-kusuk di depan pintu. Aku menyambar buket bunga dari atas sofa dan bergegas berdiri sebelum Midori membuka pintu.
Pintu mengayun terbuka perlahan. Midori melongokkan kepalanya ke dalam ruangan. Ya ampun dia bersikap seperti maling!
"Kemarilah," panggilku sambil menyembunyikan buket bunga di balik punggung.
Midori masuk dan kembali menutup pintu di balik punggungnya. Ia menatap terpana dengan taburan kelopak bunga mawar yang membentuk jalan menuju tempatku berdiri. Well, aku menikmati wajah terkejutnya saat ini.
"Kau repot-repot menyiapkan ini semua?" tanyanya lagi begitu sampai di depanku.
Aku mengabaikan pertanyaannya. Midori kini sudah menatapku lekat-lekat. Aku memasang posisi berlutut dan mengeluarkan buket bunga dari balik punggung. Kedua mata Midori terbuka lebar. Ia bahkan menutupi mulutnya dengan kedua belah tangan saking kagetnya.
"Maaf karena telah membuatmu terlalu lama menunggu, semoga aku tidak terlambat," ucapku sambil tersenyum. "Maukah kau menjadi kekasihku?"
Midori masih tidak bersuara. Matanya berkedip-kedip lucu.
"Bolehkah aku menangis?" Midori akhirnya bersuara. Walaupun ia tertawa kecil, kulihat ia berusaha menghapus air mata yang berhasil jatuh ke pipi.
Aku segera berdiri kembali. Panik karena tidak menyangka gadis ini akan menangis.
"Uljima," ucapku sambil memegang kedua tangannya. Namun bukannya berhenti, air mata Midori justru keluar makin deras. Akhirnya aku memberanikan diri membawa gadis ini masuk ke dalam pelukanku. Tanpa izin.
"Kau membuatku merasa bersalah. Berhentilah menangis," ucapku pelan.
Midori menarik diri dari pelukanku. Ia tersenyum lebar. Wajahnya berseri.
"Kau tidak mau dengar jawabanku?"
Aku menyelami kedua matanya. Midori yang malu, menyambar buket bunga mawar yang masih berada di genggaman tanganku dan berlalu pergi begitu saja.
Tunggu. Jadi jawabannya apa?
Otakku bekerja keras. Setelah tahu maksud perbuatannya, aku langsung memeluknya dari belakang. Tanpa ragu, aku menghujani wajahnya dengan ciuman ringan. Salah satu hal yang sudah kutahan sejak tadi.
Midori tertawa kegelian. Ia memintaku untuk melepaskannya, namun tentu saja aku menolak.
Setelah kami "resmi" memiliki hubungan, kini aku tidak akan mengalah. Aku bisa bebas memberinya ciuman kapanpun aku mau. Haha.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro