Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Her Answer

Tanaka Midori

Aku menutup bagasi mobil saat Soonyoung selesai mengeluarkan kopernya. Tak lupa aku menekan tombol lock pada kunci mobil dan mengantungi benda ini di saku celana.

"Masih ada banyak waktu, mau ngobrol sambil minum kopi dulu?" tawarku pada Soonyoung.

Soonyoung melihat jam di layar ponselnya. Ia mengangguk. "Let's go!"

Kami memasuki kedai kopi dan memilih duduk di bagian terdalam dari area tempat duduk. Aku sih yang memilihnya, dengan pertimbangan bersembunyi dan berjaga-jaga agar tidak ketahuan fans. Aku masih ingat betul bagaimana dulu foto-foto kencan Hyesung dan Jihoon saat di Jepang tersebar luas di internet. Hal itu juga yang membuat keduanya memilih untuk memutuskan hubungan.

Eh, memangnya aku dan Soonyoung sedang kencan?

"Ah, pesanannya sudah jadi. Biar aku yang ambil," kata Soonyoung sambil membawa pager yang masih bergetar.

Aku memandangi punggung Soonyoung yang berjalan menjauh. Aku menumpukan dagu pada sebelah tangan sembari mengamatinya. Pikiranku terbayang dengan semua hal yang telah aku lakukan bersama dengan Soonyoung selama lima hari ini.

Soonyoung berjalan kearahku dengan nampan berisi minuman di tangannya. Aduh, aku ketahuan sedang memperhatikannya. Sudah kepalang basah, aku hanya menunjukkan senyuman andalanku sembari menatap kedua matanya.

"Ini milikmu," ucap Soonyoung sambil meletakkan cangkir berisi kopi susu pesananku. "Dan ini milikku," kali ini ia meletakkan iced americano di hadapannya.

"Terima kasih," ucapku singkat. Aku mencicipi sedikit minumanku.

Hening kembali. Aku merasa Soonyoung menjadi lebih pendiam jika sedang berdua saja denganku. Aduh, canggung parah! Kemana kemampuan bicaraku?

"Kau akan terus bekerja di restoran keluarga?" tanya Soonyoung membuka percakapan.

Aku mengangkat kepala memandangnya. "Sepertinya begitu."

"Kenapa? Kau tidak senang bekerja disana?" tanyanya memberi tanggapan ketika mendengar nada bicaraku yang tidak antusias.

Apa wajahku setransparan itu? Atau memang Soonyoung yang terlalu peka?

Aku memberikan cengiran kecil. "Kalau aku punya pilihan lain, mungkin akan aku pertimbangkan."

Soonyoung menatapku lamat-lamat. Tatapan serius namun tidak menghakimi.

"Apa yang ingin kau lakukan?" Aku menelengkan kepala karena tidak mengerti dengan pertanyaannya. "Kalau kau punya pilihan lain, apa yang ingin kau lakukan?" ucapnya lagi memperjelas kalimat tanyanya.

Aku memainkan pegangan cangkir yang berada di hadapanku. "Cita-citaku adalah membuka kursus handycraft sendiri. Semacam kursus kerajinan tangan begitu. Selain kursus, mungkin aku akan membuka toko kecil juga."

"Kau suka membuat kerajinan tangan?"

Aku mengangguk semangat. "Suka. Suka sekali. Selain seni origami, aku tertarik dengan berbagai jenis kegiatan karya tangan lainnya."

Soonyoung tersenyum manis. "Kalau begitu, lakukanlah. Kau punya banyak kesempatan untuk melakukannya. Kau berhak melakukan hal yang kau suka."

Seketika semangatku hilang entah kemana. "Bicara memang lebih mudah dari kedengarannya. Untuk buka tempat kursus dan toko kerajinan tangan tidaklah mudah. Butuh banyak biaya untuk memulainya."

"Kau...," Soonyoung tampak kebingungan memilih kata-kata. "Kau kesusahan dalam hal ekonomi?"

Aku tersenyum miris. "Aku masih memiliki tiga adik yang harus aku urus dengan benar. Mereka semua belum kuliah. Aku satu-satunya harapan ayah dan ibu dalam membesarkan bisnis keluarga."

Soonyoung diam. Sepertinya ia bingung bagaimana harus membalas ucapanku.

"Kalau kau bagaimana? Sudah ada rencana untuk kedepannya jika sudah tidak menjadi seorang idol lagi?" tanyaku balik.

"Sekali menjadi idol, akan tetap menjadi idol," jawabnya penuh percaya diri. Aku mencibir tanpa suara sebagai tanggapan.

"Hmm, kedepannya yaa," ucap Soonyoung sambil menerawang jauh. "Aku sih terpikirkan untuk membangun akademi dance bersama Lee Chan. Apalagi keluarga Chan sudah memiliki sekolah menari. Aku bisa bekerja sama dengannya."

"Kau pasti bisa mewujudkan mimpi itu," ucapku sambil tersenyum tulus.

"Kau juga bisa," balas Soonyoung. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan hingga lebih dekat denganku. "Kalau masalah uang, kau bisa mencari investornya. Siapkan saja proposal rencana pembangunannya."

"Membuka usaha itu tidak mudah," elakku pesimis.

"Memang tidak mudah," sahutnya. "Kalau dikerjakan hanya seorang diri," lanjutnya sambil meringis polos.

Aku mendalami kedua mata Soonyoung. Seketika aku tersadar dengan ucapannya. Aku terkekeh kecil. Skeptis. Masa iya sih dia menawarkan diri sebagai partner kerjaku?

"Kenapa? Aku ingin menawarkan diri lho," ucap Soonyoung tak terima. "Yah, kau bisa memikirkannya baik-baik. Yang jelas, aku ini tipe pekerja keras yang siap belajar untuk memulai sesuatu. Kau bisa mempertimbangkannya."

Aku kembali menatap kedua matanya. Benar-benar hanya ada kesungguhan di dalam sana. Dengan susah payah aku meneguk ludah dan membuang wajah ke arah lain.

Aku akan bekerja dengan seorang idol ternama!

---

Kwon Soonyoung

Tiga puluh menit lagi kereta shinkansenku akan berangkat. Kini aku dan Midori sudah berdiri bersama dengan Seokmin di dekat pintu peron.

Yup. Seokmin memang ada di Osaka sejak kemarin. Ia juga menghabiskan waktunya bersama sang pacar disini. Hmm, siapa ya nama ceweknya? Aku benar-benar lupa.

"Hei, kau masuk dulu sana," ucapku sambil berbisik pada Seokmin menggunakan bahasa Korea.

"Kenapa, Hyung?"

Aduh bocah ini. "Tentu saja karena aku masih ingin berdua dengan Midori," balasku gemas.

"Aish, Hyung iniii," goda Seokmin. Heol! Dia bahkan mengeluarkan senyum kudanya. Midori, yang kebingungan, memandangi kami bergantian.

Aku menyikut lengan Seokmin pelan, memberi kode agar dongsaeng-ku itu segera melakukan hal yang aku minta. Takutnya Midori keburu curiga duluan.

"Tanaka-san," panggil Seokmin akhirnya. "Aku tunggu di dalam saja ya."

"Kenapa?" tanya Midori bingung

Seokmin memandangku dengan tatapan kebingungan. Aku mengedip-edipkan kedua mata, memberinya isyarat agar tidak mengatakan hal-hal bodoh yang tidak perlu.

"Soonyoung hyung," Seokmin tampak kebingungan mencari kata-kata. Dahinya berkenyit karena berpikir keras. Akhirnya ia menyerah. "Soonyoung hyung... wants dateu."

Mata sipitku sukses terbuka lebar. Sial! Kenapa Seokmin jadi bilang begitu?

"Hmm, what do you mean?" tanya Midori tampak tak mengerti.

"Dateu, dateu...," Kata Seokmin lagi. Ia menunjukkan senyum jahilnya padaku. "Ah molla. Hyung, bilang padanya aku masuk ke dalam duluan."

Seokmin tersenyum pada Midori yang masih kebingungan. Ia menunduk kecil. Sebelum berbalik badan dan berjalan melewati palang karcis kereta, dongsaeng-ku itu melambaikan tangannya sekilas pada Midori.

"Dia... tadi bilang apa?" tanya Midori padaku. Ia mengangkat tangan kanannya membalas lambaian Seokmin. "Dia mau dateu? Dateu itu kencan kan maksudnya? Bukannya tadi dia bilang, pacarnya tidak ikut mengantar kemari?"

Aku menggaruk bagian belakang kepalaku yang tidak gatal. Bingung juga bagaimana menjelaskannya.

"Itu... Maksudnya dia mau kencan lewat telepon dulu. Makanya dia meminta tolong padaku untuk menyampaikan kata pamitnya padamu," ucapku setengah berbohong.

"Oohh, begitu," Midori mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kembali menatap ke arahku. "Kalau begitu, kau mau masuk juga?"

"Masih ada sisa sepuluh menit lagi," ucapku sambil melempar senyuman. Midori mengangguk-angguk kecil mendengarnya.

"Hmm, Midori," panggilku.

"Ya?"

"Aku cuma bilang, ucapanku yang semalam jangan terlalu dipikirkan. Aduh, aku sepertinya salah bicara. Wajah Midori tampak terkejut dan menjadi muram.

"Maksudku, aku tidak memaksamu untuk buru-buru memutuskan. Semalam aku tulus mengatakan hal tersebut padamu. Tapi aku tidak mau hubungan kita kembali menjadi canggung hanya karena kau sudah tahu akan perasaanku," ucapku menjelaskan dengan cepat.

Midori tampak memainkan ujung bajunya dengan tangan. Ia mengelak dari tatapan mataku.

"Ehm, itu...," Hening. Midori tidak melanjutkan kalimatnya.

Aku jadi penasaran. Kulirik jam besar yang tergantung di langit-langit atap stasiun. Tidak banyak waktu lagi.

"Kwon Soonyoung," aku kembali menoleh pada Midori. Gadis itu kini dengan berani menatap ke dalam mataku. "Aku mengatakan hal ini dengan jujur. Untuk saat ini, pikiranku akan terfokus dengan mimpi-mimpiku, tidak ada ruang untuk memikirkan masalah percintaan. Tapi aku sendiri pun tidak tahu, aku tidak merasa keberatan dengan pernyataan cintamu tempo hari."

Aku diam. Bolehkah aku berharap.

Midori menoleh ke arah lain. Ia menyembunyikan wajahnya dibalik kedua belah telapak tangan.

"Aku bahkan merasa senang setelah mengetahui perasaanmu padaku. Ada perasaan aneh yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya."

Tunggu. Jadi bagaimana maksudnya?

Kuturunkan kedua tangan Midori hingga wajahnya terlihat mataku. Gosh. Selama ini, baru sekarang aku melihat wajah Midori benar-benar merah. Apa dia malu? Haha.

Aku berdeham kecil sambil mengulum senyum. Tahan Soonyoung, tahan. Perasaanku terlalu bahagia saat ini. Sampai rasanya aku bisa berbuat hal gila dengan berteriak-teriak kesenangan.

"Aku mengerti," jawabku, masih dengan memegang kedua telapak tangannya. Aku menunduk sedikit agar dapat melihat wajah Midori dengan lebih jelas. "Kalau begitu, aku akan berusaha keras membuktikan ucapanku. Tidak perlu terburu-buru. Untuk saat ini, nikmati saja perasaan yang kita rasakan masing-masing."

Midori mengangkat wajahnya. Kini kami saling berpandangan. Ah, dengan wajah kami berada sangat dekat seperti ini, aku masih berani menunjukkan senyum bodoh padanya.

Midori mengangguk, ia tersenyum manis. Huhu, aku pasti akan merindukan senyum dengan lesung pipitnya ini.

"That will do," katanya dengan mantap.

Aku menegakkan punggung. Sekarang aku sudah lega. Aku bisa meninggalkan Osaka dengan tenang karena sudah mengetahui isi hati Midori.

"Kalau begitu, boleh aku memelukmu?" tanyaku takut-takut. "Untuk beberapa waktu ke depan, aku akan sangat sibuk hingga tidak bisa begitu saja pergi ke Osaka. Aku janji akan menghubungimu lewat telepon, kapanpun aku ada waktu luang."

Midori tertawa kecil. "Baiklah, baiklah. Aku menunggumu." Gadis itu kemudian merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

Tanpa melewatkan kesempatan yang sudah ada di depan mata, aku meraih tubuh mungil Midori masuk ke dalam dekapanku. Gadis ini memberikan tepukan-tepukan ringan di bahu dan punggungku. Nyaman sekali, aku tidak mau pergi meninggalkannya.

"Nah, sekarang pergilah," ucapnya sambil mengurai pelukan kami. "Jangan lupa hubungi aku jika kau sudah sampai."

Aku mengangguk. "Pasti. Tunggu aku ya, Tanaka Midori."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro