Freeze
Osaka, 2023
Kwon Soonyoung
Malam yang cerah di Osaka. Sayangnya, hal ini justru membuat perutku berbunyi nyaring. Aku sempat menyesal menolak ajakan makan pizza dengan member lain, alasannya sih karena aku sedang diet. Namun pada akhirnya aku berteriak semangat ketika Jihoon bertanya apakah ada member lain yang ingin ikut makan udon dengannya. Aku tidak akan bisa tidur jika belum menenangkan genderang perang di perutku.
Disinilah aku sekarang, di sebuah restoran udon terkenal di Dotonburi. Ugh, padahal sekarang sudah hampir pukul sepuluh malam. Sepertinya rencana dietku akan tertunda hingga jadwal Jepang Seventeen selesai. Aku sangat mencintai makanan Jepang, sangat disayangkan jika aku melewatkannya begitu saja.
Aku memesan tempura udon dan ocha dingin sebagai pilihan menu makan malam ini. Dulu aku sempat mengejek Jihoon yang selalu makan di restoran ini dengan memilih menu yang sama tiap kali kami ada jadwal di Osaka. Namun setelah mencicipi tempura udon buatan restoran ini, makanan favorit Jihoon, aku terkena karma. Menu itu tanpa sadar menjadi pilihan numero uno tiap aku makan disini.
Setelah pelayan pergi, aku mengeluarkan ponsel dari saku celanaku. Wonwoo mulai meracuniku dengan permainan tembak-tembakan. Walaupun hasilnya selalu kalah, jempolku sudah secara otomatis menekan ikon game ini tiap tangan memegang ponsel. Yah, tinggal tunggu seminggu atau dua minggu ke depan, aku pasti akan bosan dengan sendirinya.
Sembari menunggu loading, ekor mataku mendapati Jihoon sedang mengamati isi ruangan yang saat ini sedang kami tempati. Aku membiarkannya. Bukan rahasia lagi kalau Jihoon memiliki kenangan manis bersama seseorang di kota ini. Han Hyesung, mantan kekasihnya, hilang tanpa kabar sejak empat tahun yang lalu. Kasihan Jihoon, sampai sekarang pun pasti ia masih mengharapkan agar gadis itu kembali ke sisinya. Yah, aku juga kangen sih dengan Hyesung. Tapi pasti rasa rinduku dengan yang dimiliki Jihoon berbeda. Ya iya lah.
Ugh, belum sampai lima menit, karakter yang aku mainkan sudah mati. Aku melenguh tertahan. Malas, aku meletakkan ponsel di atas meja dan mulai mengamati sekitar. Aku berdiri dan berjalan tanpa suara menghampiri Jihoon yang sedang termenung memandangi salah satu hiasan dinding di sisi ruangan. Yah, rangkaian origami ini memang sangat mencolok.
"Wah, ini bukannya tanda tanganmu, Jihoon?" tanyaku sambil menunjuk sebuah pojok kosong di bagian kanan atas pigura. Walaupun sipit, mataku ini cukup jeli untuk mengenali tanda-tanda keberadaan Seventeen. Jihoon mengamati arah yang aku tunjuk dengan sedikit berjinjit. Ah, mungkin ia melewatkannya karena terlalu pendek hingga tidak bisa melihat.
"Akhirnya pesanan datang!" teriak Mingyu yang masih duduk di atas tatami.
Aku menoleh. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera kembali duduk. Sudah saatnya perutku disini. Kalau digambarkan sebagai karakter anime, pasti mataku sudah berbinar-binar dengan air liur yang menetes saat memandangi udon di hadapanku. Pandanganku tidak teralihkan sedikit pun. Aku tidak sabar untuk menikmatinya!
"Midori-san?"
Mendengar suara Jihoon yang tercengang, aku menoleh ke arahnya. Temanku itu tampak memperhatikan wajah salah satu pelayan yang baru saja meletakkan mangkuk udon milik Jihoon di atas meja. Penasaran, aku ikut mengamati wajah gadis itu dengan kening berkerut. Ugh, kalau dari tempatku duduk, wajahnya tidak terlalu terlihat jelas.
"Lee Jihoon? Seventeen?"
Wah, jadi gadis itu mengenal Jihoon! Rupanya Jihoon cukup terkenal disini. Tidak hanya tanda tangannya saja, tapi pelayannya pun mengenali Jihoon. Tunggu. Gadis itu tadi memanggil Jihoon? bukan nama panggungnya, Woozi? Apa mereka sudah sedekat itu? Wah, aku kecewa sekali jika ternyata Jihoon sudah melupakan Hyesung untuk seorang gadis Jepang lain.
"Dia temanku, hyung. Tenang saja," ucapan Jihoon pada Minho hyung, manajer kami, membuat jelas semuanya. Ah, jadi mereka hanya teman. Syukurlah.
Gadis itu sepertinya tersadar akan posisinya saat ini. Ia membenahi tempat bersimpuhnya hingga dapat menghadap kami berempat. Kini aku dapat melihat wajahnya dengan lebih jelas.
"Ah, Seventeen member? Halo, namaku Tanaka Midori," ucapnya memperkenalkan diri dalam bahasa Jepang.
Aku terdiam. Napasku berhenti. Gadis itu... sangat mempesona!
Selama beberapa saat aku hanya terpaku memandangi wajahnya yang tampak berseri ketika berbicara dengan Jihoon dan Mingyu. Aku hanya diam. Bahkan tanpa sadar kedua mataku tidak berkedip sama sekali. Minho hyung sampai menyikutku pelan agar tersadar. Aku yang biasanya berisik ini bisa menjadi bisu di depan gadis cantik yang baru pertama kali aku temui.
"Jihoon-ah, dia siapa?" bisikku penasaran tepat di telinga Jihoon.
Jihoon menoleh. "Dia sahabat Hyesung, anak pemilik kedai ini."
Gadis itu menoleh ke arahku dan Jihoon yang sibuk berbisik-bisik. Walaupun ia tidak mengerti bahasa Korea sepertinya ia sadar bahwa nama temannya disebut. Midori berseru seperti teringat sesuatu. Ia menunjuk hiasan dinding yang tadi sempat aku dan Jihoon amati bersama.
"That's Hyesung masterpiece," katanya dalam bahasa Inggris lancar, namun dengan logat Jepang yang kental. "Apa kau ingat bagaimana antusiasnya dia saat menyarankan untuk membuat senbazuru? Dia berhasil menyelesaikannya empat tahun lalu," katanya dengan nada ceria pada Jihoon.
Aku hanya memandanginya dengan terpana. Wajahnya itu.... Bagiku, dia lah masterpiece yang telah Tuhan ciptakan di muka bumi.
Entah apa yang gadis itu bicarakan lagi dengan Jihoon. Namun, melihat bagaimana antusiasnya Midori menjelaskan sesuatu pada Jihoon, aku dan Mingyu ikut berdiri dan menghampiri pigura yang berisi pajangan origami seribu burung bangau itu. Dengan bahasa Jepang, ia membacakan kalimat yang tertulis di sana.
Seketika otakku blank. Walaupun aku lulus dari jurusan sastra Jepang semasa sekolah dulu, hingga kini aku mendapat pelajaran tambahan bahasa Jepang dari pihak agensi, namun tidak ada satu pun kata yang dapat kumengerti dari mulutnya. Atau jangan-jangan tidak hanya bahasa Jepang-ku yang error? Secara keseluruhan otakku seperti mati suri tiap melihat keindahan lesung pipit Midori yang tercipta tiap kali ia tersenyum.
Aku dan Mingyu saling pandang begitu penjelasan Midori pada Jihoon selesai. Bedanya, Mingyu mungkin benar-benar tidak mengerti dengan maksud perkataan Midori tadi. Sedangkan aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Mengapa aku bisa bersikap aneh seperti ini?
Mingyu, Jihoon, dan Midori saling berbicara menggunakan bahasa Jepang. Sepertinya topik yang mereka bahas sangat alot dan cukup serius. Terlihat dari reaksi Jihoon yang mengepalkan kedua tangan di sisi tubuh dan menaikkan nada bicara. Aku sendiri masih berusaha me-reset otakku yang konslet yang mendadak. Aku berusaha keras memahami situasi saat ini. Aku sudah tertinggal jauh dengan apa yang sedang mereka bahas.
Tanpa mengerti apa-apa, aku merangkulkan sebelah tangan pada bahu Jihoon dan membawanya kembali duduk di depan meja. Yah, setidaknya aku masih bisa mengerti bahwa saat ini Jihoon sedang marah dan butuh menenangkan diri. Entah apa yang dikatakan oleh Mingyu, namun tak lama kemudian Midori berpamitan keluar ruangan dengan raut wajah bingung.
Aku hanya dapat memandangi punggung gadis itu yang berjalan menjauh dan kembali menutup pintu ruang makan kami begitu ia keluar. Tanpa kentara, aku menghela napas kecewa. Aku belum sempat mengobrol dengan Midori. Ugh, kenapa otakku baru dapat bekerja setelah dia pergi? Idiot!
Kesadaranku kembali ditarik ke alam nyata ketika Jihoon menggebrak meja dengan kedua telapak tangannya. Minho hyung yang sedang makan sampai meloncat kaget dibuatnya. Aku sendiri hanya melongo bodoh. Kedua mataku yang sipit sampai membuka lebar.
"Kalian pasti tahu, kan?" tanya Jihoon dengan nada menuduh. Ia melihat ke arahku yang duduk tepat di sebelahnya. Dia melengos ketika hanya mendapatkan tatapan clueless dariku.
Ya, aku memang tidak tahu apa-apa. Bahkan aku tidak tahu apa yang sebenarnya sedang ia bicarakan.
"Ya, Kim Mingyu," kali ini Mingyu yang jadi sasarannya. "Ceritakan semuanya padaku. Jangan ada yang disembunyikan walaupun sekecil apapun itu," ancamnya pada dongsaeng kami itu.
Aku melihat siluet ketakutan dan merasa bersalah di mata Mingyu. Walaupun berbadan besar, ia memang tidak pernah berani melawan Jihoon. Bahkan ketika dulu mereka saling berebut Hyesung, Mingyu hanya bisa menghindari Jihoon selama beberapa saat. Perang dingin.
"Jihoon-ah, sebaiknya kita makan dulu," ucapku menengahi. Aku tidak mau Seventeen masuk berita dan dikatakan membuat onar di tempat makan. Lagipula aku masih butuh waktu untuk memahami semuanya. Otakku bekerja sangat lambat malam ini. Sepertinya ada pengaruh dari kekurangan makanan juga.
"Mingyu-ya, kemarilah. Ayo kita habiskan sebelum toko ini tutup," ucapku pada Mingyu yang masih berdiri.
Aku menata mangkuk udon milik Jihoon dan Mingyu hingga berada di depan masing-masing pemiliknya. Bahkan karena Jihoon hanya diam saja, aku sampai harus membantunya memegang sumpit. Jika tidak dipaksa, dia pasti akan mematung sampai pagi tiba.
Ugh, mengapa aku yang paling tua diantara mereka justru menjadi pelayan? Dasar dongsaeng-dongsaeng nakal.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro