Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Conversation

Kwon Soonyoung

"Kau kekasih kakakku?" tembak orang dari seberang sana. "Namamu... Soonyoung? Nama macam apa itu?"

"Perkenalkan namaku Kwon Soonyoung. Aku orang Korea, jadi mungkin kau tidak terlalu familiar dengan nama ini," ucapku setelah berhasil meredam rasa kesal. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?"

"Tanaka Takuo," jawabnya singkat. "Jadi apa benar kau adalah kekasih kakakku?" tanyanya lagi. Sepertinya ia benar-benar penasaran dengan hubunganku dan Midori. Yah, aku sendiri tidak bisa menjelaskan secara pastinya.

"Aku teman kakakmu," jelasku pada akhirnya. "Calon kekasihnya. Calon kakak iparmu,"lanjutku dalam hati.

Terdengar helaan napas panjang dari seberang. Ia terdengar sangat lega. Tunggu, jadi maksudnya ia senang karena aku ternyata bukan kekasih kakaknya? Apakah aku sudah kalah bahkan sebelum maju berperang?

"Syukurlah. Aku tidak pernah melihat Kak Midori dekat dengan pria manapun, jadi aku takut kau akan menyakitinya," jelasnya. Kali ini nada bicaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Kalau begitu, apa maksudmu mengirim pesan yang mengatakan pada kakakku untuk menjaga diri baik-baik? Bukankah itu percakapan yang lazim dikatakan oleh sepasang kekasih yang akan berpisah?"

Kalau saja saat ini aku tidak berusaha bersikap sopan demi mengambil hati adik Midori, aku pasti sudah tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan polosnya itu. Ternyata dibalik sikap sangar yang berusaha Takuo perlihatkan, ia tetaplah anak kecil yang belum terlalu banyak tahu masalah hubungan percintaan seperti ini.

Eh, aku juga begitu sih. Aku jadi teringat dengan julukan Hyesung yang ia gunakan untuk mengejekku. Unlucky Lover. Ugh, memang dia tahu apa sih tentang kehidupan romance-ku?

"Tidak selalu begitu, Tanaka-san," balasku. "Aku beritahu kau sebuah rahasia. Aku memang sedang berusaha mendekati kakakmu. Aku berjanji tidak akan menyakitinya."

"Aku tidak ingin percaya. Lagipula aku tidak kenal denganmu."

Wah, sombong juga anak ini. Sepertinya mendekati keluarga Midori akan menjadi pekerjaan yang lebih menyulitkan daripada mendapatkan hati gadis itu. Ini baru salah satu adiknya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisinya jika bertemu keluarga Midori secara langsung. Gadis itu seperti putri yang dilindungi tiga orang pangeran di sekelilinginya. Menyeramkan.

"Kau tidak perlu mempercayaiku sekarang, aku akan membuktikannya," ucapku mantap tanpa gentar.

Terdengar kekehan kecil dari seberang. "Ternyata kau orang yang cukup tahan banting," katanya. "Ah ya, aku penasaran. Kenapa Kakak bisa bertemu denganmu? Bukankah kau tadi bilang kau adalah orang Korea?"

"Aku kenal Midori dengan perantara Han Hyesung, sahabat baik Midori," ucapku menjawab rasa penasarannya.

Terdengar suara ah panjang dari seberang. Sepertinya ia kini mengerti benang merah apa yang menghubungkan diriku dengan kakaknya. "Kalau Kak Hyesung mengenalmu dengan baik, berarti aku cukup bisa mempercayaimu. Baiklah, aku mengizinkan kau untuk menjadi teman Kakakku."

Hei, aku tidak meminta izin padamu untuk hal itu! batinku.

"Ah ya, bahasa Jepangmu lumayan bagus," katanya lagi. "Walaupun masih terdengar aneh di telingaku."

Aku menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Sabar Soonyoung, sabar. Heran, mengapa ada pria yang secerewet ini? Padahal ini sudah hampir subuh, mengapa ia masih punya banyak tenaga untuk bicara hal-hal yang tidak penting seperti ini?

"Aku masih belajar. Terima kasih atas pujianmu," kataku menanggapinya dengan tenang.

"Baiklah. Sebenarnya masih banyak hal yang harus aku periksa darimu. Untuk memastikan apakah kau benar-benar pantas jika ingin menjadi kekasih kakakku. Tapi sepertinya hal itu harus ditunda, sekarang sudah sangat larut," katanya panjang lebar. "Semoga kita bisa bertemu ketika kau berkunjung ke Jepang. Jika saat itu tiba, aku akan mengadakan tes wawancara dengan cara yang lebih pantas.

Aku hanya tertawa kecil. Dasar, anak-anak. "Baiklah. Aku tunggu saat itu tiba," komentarku.

Tanpa ada salam perpisahan, sambungan telepon terputus. Seperti saat di awal tadi, bahkan sapaanku tidak dianggap olehnya. Benar-benar tidak sopan.

Aku menghela napas panjang dan melemparkan ponselku ke atas kasur. Aku kembali berbaring menatap langit-langit kamar. Sungguh percakapan yang aneh. Percakapan aneh yang membuatku kembali berpikir ulang.

Pertemuan pertamaku dan Midori memang tidak terlalu berkesan. Bahkan gadis itu melupakan namaku begitu saja. Namun tidak denganku. Begitu melihat wajah Midori untuk pertama kali, jantungku sempat melewatkan detakannya sepersekian detik.

Sebenarnya dibandingkan terpana bisa dibilang bahwa aku terkejut ketika melihat Midori. Rambut pendeknya, senyum lesung pipitnya, bahkan sinar mata bersahabatnya mengingatkanku akan seseorang. Aku bahkan heran mengapa bisa ada dua orang bukan saudara yang memiliki penampilan sangat mirip satu sama lain. Awalnya aku berpikir bahwa aku berhalusinasi. Namun begitu mendengar Midori berbicara menggunakan bahasa Jepang, aku segera tersadar bahwa Midori adalah orang yang berbeda dengan yang aku kenal.

Ah, mengapa aku tiba-tiba jadi bernostalgia. Aku menggelengkan kepala, berusaha menghempaskan pikiran aneh di kepala. Tengah malam yang sunyi seperti ini terkadang memang bisa membuat orang berpikir hal-hal yang tidak perlu. Sebaiknya aku segera tidur kembali.

---

Tanaka Midori

Hoam, pukul berapa ini?

Aku menguap lebar sembari meregangkan kedua tangan di atas kepala. Tidurku benar-benar nyenyak. Sepertinya ini tidur terlelap selama sebulan belakangan. Aku bahkan bisa bangun pagi tanpa bantuan alarm.

Alarm? benar juga. Aku tidak mendengar bunyi alarm yang biasa aku setel di ponsel. Aku menoleh ke samping, ke meja dimana aku biasa meletakkan ponsel sebelum tidur. Tidak ada. Ah, benar juga semalam Takuo meminjamnya dariku.

Aku berjalan keluar kamar sembari mengucek kedua mata. Hm, sejak kapan Masuo bisa bangun sepagi ini? Walaupun hari biasa, ia bahkan sangat susah untuk dibangunkan berangkat sekolah. Apalagi di hari libur seperti ini.

"Selamat pagi!" aku mencubit pipi adik terakhirku itu dengan gemas.

"Onee-chan!" protesnya. Aku tertawa menanggapi.

"Kau sudah bangun sepagi ini," komentarku. Aku berjalan menuju kulkas dan mengambil susu dingin rasa strawberry dari dalamnya.

Masuo mengernyitkan dahinya. "Ini sudah pukul setengah tujuh. Tentu saja aku sudah bangun," jawabnya enteng. "Justru kakak yang bangunnya terlambat."

Aku menyemprotkan susu yang ada di mulut. Mataku membelalak dan mencari keberadaan jam dinding. Benar apa yang dikatakan Masuo. Kalau begini, berarti aku terlambat untuk ke pasar mengambil belanjaan!

Kuletakkan susu yang belum habis kuminum di atas meja. Masuo hanya menatapku dengan pandangan heran. Tanpa mempedulikannya, aku berlalu menuju kamar. Tidak sampai semenit aku sudah kembali lengkap dengan jaket dan tas berisi dompet. Aku melesat menuju meja kecil di ruang keluarga tempat kunci mobil tersimpan. Nihil. Ugh, dimanakah benda itu ketika aku membutuhkannya?

"Kakak cari apa?" tanya Masuo.

Belum sempat kujawab pertanyaannya, pintu depan terbuka lebar. Takuo masuk dengan kedua tangan mengangkat tas belanja besar penuh berisi barang. Dibelakang ayah menyusul masuk dengan satu buah dus di tangan. Aku hanya terpaku di tempat. Jadi, ayah dan Takuo sudah pergi menggantikan tugasku.

"Kakak bersiap-siap ke dapur saja. Sebentar lagi aku juga akan kesana mengantar barang-barang ini," kata Takuo begitu melewatiku.

"Kenapa tidak bangunkan aku saja?" tanyaku sambil mengikuti berjalan menuju ruang penyimpanan makanan.

Takuo meletakkan barang-barang di tangannya. Ia menoleh ke arahku. Jika dekat begini, aku jadi terasa sangat pendek dibandingkan dirinya.

"Aku hanya ingin membantu sedikit selagi memiliki waktu di hari libur," katanya santai. "Aku kasihan pada kakak yang selalu bangun subuh untuk bekerja sendiri. Bisa-bisa kakak akan terus pendek dan tidak bisa tumbuh lagi."

Ugh, kupikir Takuo sudah menjadi sedikit lebih dewasa. Ternyata sikapnya tetap saja menyebalkan. Lihat saja, dia bahkan tidak memperhatikan keberadaanku lagi disana dan mulai sibuk memindahkan sayur-sayur ke dalam lemari pendingin.

"Anak-anak, ayo bekerja. Ibu kalian sudah berangkat ke restoran dan mulai menyiapkan bahan-bahan," seruan Ayah dari ruang tengah menarik perhatianku. Setidaknya kali ini Takuo bebas dari serangan omelan berkat 'membantu' menyelesaikan tugasku.

"Ah, jangan lupa kembalikan ponselku," ucapku pada Takuo sebelum berbalik pergi. "Aku terlambat bangun karena tidak ada alarm."

"Ya, ya, ya, tenang saja," kata Takuo tampak acuh. "Pergilah. Ibu membutuhkan kakak di restoran."

Lihat kan? Adikku yang satu ini memang sangat menyebalkan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro