16
Anshan, 2022
"Taraaa."
Minghao hampir saja menjatuhkan gelas plastik di tangannya karena terkejut. Pria itu menoleh ke belakang. Ia siap menyuarakan sumpah serapahnya, namun hal itu tersangkut di kerongkongan. Mulutnya terbuka karena terpana melihat penampilan orang yang ditunggu-tunggunya.
"Gimana, cantik kan?" tanya orang yang berhasil mengagetkan Minghao sembari tersenyum manis. Tangan kanannya sibuk memainkan ujung rambut pendek sebahu yang mengembang lucu.
"Kau terlihat seperti..." Minghao menggantung kalimatnya. Gadis itu mengerjap-erjapkan kedua matanya menunggu kelanjutan kata yang akan keluar dari mulut Minghao. "Anjing pudel."
Tak sesuai dengan harapan, gadis itu melengos pergi. Ia menghentak-hentakkan langkahnya seperti anak kecil. Minghao tertawa. Pria itu segera menyamai langkah kakinya.
"Maaf Chen," Minghao masih berusaha mengatur tawanya agar berhenti. "Kuakui kau tampak lebih fresh dengan dandanan barumu."
"Benarkah?" Gadis bernama Chen itu tersenyum lebar. Ia melompat kesenangan ketika melihat anggukan kepala Minghao. "Xie xie, Hao."
Senyum Minghao tidak bertahan lama. Pria itu segera menangkap pergelangan tangan Chen dengan tangannya yang bebas ketika sahabatnya itu nyaris saja tertabrak sepeda. Setelah mengucapkan permintaan maaf pada pengendara, Minghao kembali melihat ke arah Chen dan menunjukkan tatapan marahnya.
"Sudah kubilang berkali-kali, perhatikan jalanmu ketika berada di tempat umum," omel Minghao.
Chen meringis. Sedari kecil ia sering membuat kekacauan dan pria di hadapannya inilah yang selalu kerepotan mengatasi semuanya. Minghao dapat berubah menjadi pria yang cerewet ketika sedang bersamanya. Tentu saja itu merupakan suatu keharusan. Apalagi mengingat tingkah laku Chen yang acap kali membuat pusing kepala.
"Kalau begitu, ayo kita cari tempat nyaman untuk mengobrol," usul Chen. Gadis itu langsung menggamit lengan kiri Minghao yang tidak memegang gelas minumannya.
Minghao melirik Chen disampingnya. Ia menyedot ice americano-nya dengan tenang.
"Jun bisa membunuhku kalau tahu kau sedekat ini denganku," lirih Minghao.
Chen mendongak. "Tidak akan. Karena aku akan memberikan hal yang lebih dari sekadar bergandengan tangan padanya."
Minghao menyemburkan minumannya. Chen bergerak menjauh. Gadis itu sibuk membersihkan tangannya yang terkena tetesan minuman Minghao.
"Kau jorok sekali," keluh Chen.
"Aish.... Jinjja," Minghao tampak frustasi. Ia menghela napas panjang. Pria itu memegang kedua bahu gadis itu, memaksanya agar membalas pandangan Minghao.
"Dengar. Mau secinta, sesayang apapun itu pada Jun, kau jangan melakukan hal-hal diluar batasan," Minghao berbicara sungguh-sungguh. "Walaupun Jun terkesan polos, dia tetap saja seorang laki-laki."
Chen memandang Minghao dengan tatapan bingung. Gadis itu melepaskan genggaman tangan Minghao pada bahunya.
"Memangnya pergi berkencan ke taman bermain itu tidak wajar dilakukan oleh pasangan?" tanyanya sambil menelengkan kepala.
"Eoh?" Minghao tersadar.
Dibandingkan Jun, Chen bahkan lebih polos lagi. Bahkan kepolosannya sudah mencapai taraf bisa dikatakan sebagai kebodohan hakiki. Mau dibandingkan dengan pasangan manapun di dunia ini, perpaduan Chen-Jun adalah pasangan anak kecil namun berumur tua.
"Tidak, tidak," Minghao menggeleng. Ia menyesap sisa minumannya yang tinggal seperempat gelas. "Kau bisa berkencan sepuasnya di taman bermain."
Senyum Chen kembali mengembang. Gadis itu melangkahkan kakinya dengan riang menuju kedai es krim terdekat. Minghao membuang gelas plastik di tangannya sebelum ikut mengantri dengan Chen memilih es krim.
"Ngomong-ngomong," Minghao membuka percakapan sembari menunggu pesanan miliknya dan milik Chen dibuat. "Mengapa kau memotong dan mengecat rambutmu?"
Gadis itu menghentikan senandung kecilnya. Ia meringis ke arah Minghao yang masih menunggu jawaban.
Setahu pria itu, Chen sangat menyayangi surai hitamnya yang tebal dan lembut. Bahkan ketika kecil dulu secara tidak sengaja ujung rambut panjangnya terbakar saat acara api unggun, Chen menangis selama dua malam di dalam kamarnya. Semua orang berusaha keras agar gadis kecil itu mau keluar dan kembali bermain seperti biasa. Hanya Minghao yang berhasil. Anak laki-laki berumur sepuluh tahun itu merelakan dirinya dicukur cepak ala tentara demi menghibur sahabat kecilnya. Berakhirlah kedua pasang sahabat itu kembali bermain tanpa malu dengan penampilan mereka.
"Aku ingin mencoba hal baru," jawab Chen. Gadis itu melirik ke kanan dan kiri sebelum berjinjit mendekatkan mulutnya ke sebelah telinga Minghao. Ia berbisik, "Apalagi warna rambutku kini sama dengan Jun. Ketika besok kita kencan, rambut kita jadi sama. Jun pasti akan terkejut."
Minghao yang tadi ikut menunduk agar memudahkan gadis itu berbisik, kembali menegakkan punggungnya. Ia menatap ke arah Chen dengan pandangan heran yang susah diartikan. Gadis disebelahnya memang aneh. Minghao mengurungkan niatnya untuk berkata bahwa rambut Jun bahkan akan kembali berganti gaya di comeback mendatang. Namun ia tidak tega untuk merusak senyum bahagia yang terukir di bibir indah Chen.
Chen meraih es krim miliknya dan milik Minghao. Gadis itu pergi berlalu begitu saja menuju salah satu kursi kosong yang tersedia disana. Minghao menyusul dengan dua gelas kecil berisi air mineral di masing-masing tangannya.
"Jadi, bagaimana dengan gadis itu?" tanya Chen sambil menjilat es krim miliknya. Tangan kanannya mengulurkan es krim vanilla Minghao pada pemiliknya.
"Baik-baik saja," jawab Minghao. Ia berusaha menyembunyikan rasa malunya dengan melahap es krim di tangan.
Chen meneliti wajah sahabatnya itu. "Kalian sudah hampir dua tahun tidak bertemu. Apa kau masih sering menghubunginya?"
Minghao menurunkan es krim-nya. "Tentu saja kami selalu berkomunikasi melalui chat," Minghao terdiam sejenak. "Walaupun tidak semudah jika kau berada dalam satu daerah waktu yang sama. Perbedaan area waktu dan jadwal kesibukan membuat komunikasi tidak begitu lancar."
"Jangan-jangan dia sudah punya kekasih," tembak Chen tanpa ragu. Gadis itu menunjukkan senyum jahil ketika Minghao memelototinya. "Kalau begitu, kau yang harus bergerak duluan, Xu Minghao."
"Melodi sangat sibuk dengan kuliahnya," keluh Minghao. "Aku takut mengganggu."
Chen menghela napas panjang. "Kalau begitu, siap-siap saja untuk kalah cepat dari orang lain."
"Mengapa kau mendoakan hal buruk untukku?" protes Minghao.
Chen hanya meringis. Gadis itu enggan menjawab dan berpura-pura sibuk menghabiskan es krimnya. Minghao membuang wajah ke arah lain. Ia bukan kesal dengan Chen. Ia kesal karena ucapan gadis itu memang benar dan dia tidak bisa membantahnya.
"Dua bulan lagi, Seventeen akan konser di Malaysia," lanjut Minghao. Pandangannya menerawang pada anak kecil yang sedang makan gulali di luar sana. "Tapi dia mengatakan tidak bisa menghadirinya karena sedang wisuda."
"Kalau begitu, kau saja yang datang padanya," ucap Chen. Matanya masih terfokus pada es krimnya yang mulai meleleh. "Kalau kau terus-terusan menunggu, bisa saja dia tidak akan datang. Kau harus berani mengambil langkah pertama."
"Sejujurnya aku takut akan tersebar skandal jika aku mengambil langkah untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku takut untuk membawanya masuk ke dalam dunia artis. Ini sungguh dunia yang menyeramkan," Chen mengangguk-angguk mengerti dengan kekalutan hati sahabatnya.
"Kau takut skandal seperti yang menyerang Jihoon dan Jeonghan juga akan terjadi padamu?" Minghao mengangguk. "Kalau begitu, hidup saja melajang sampai kau tua nanti."
"Kau...," ucap Minghao gemas. Sedari tadi gadis di hadapannya itu tidak memberinya bantuan sama sekali. Minghao meneguk air mineral miliknya dalam sekali teguk. Ia butuh mendinginkan diri jika berlama-lama berada di sisi Chen.
"Aku benar kan?" ucap Chen tak mau kalah. Gadis itu tersenyum ketika melihat raut wajah Minghao yang kesal dan bahkan tidak menanggapi perkataannya lagi. "Kau tidak perlu takut. Kau tetaplah seorang laki-laki normal yang akan tertarik dengan wanita. Tidak mungkin kan kau tidak berkencan. Itu kebutuhan semua orang. Kau bukan alien."
Minghao menoleh. Ia tampak tertarik dengan kalimat-kalimat yang dikeluarkan Chen. Gadis itu akhirnya berubah menjadi seseorang yang bisa diandalkan.
"Kalau kau yakin Melodi adalah gadis sungai Han-mu waktu itu, memang kau rela untuk kehilangannya lagi?" pertanyaan Chen menyadarkan Minghao. "Xu Minghao, ikuti kata hatimu. Aku mendukung setiap pilihan yang akan kau lalui. Ketika orang-orang menyerangmu, ingat saja masih banyak orang yang siap menangkapmu ketika kau jatuh. Setiap langkah pasti ada resikonya. Tapi aku yakin kau bisa mengatasinya."
Minghao tampak berpikir keras. "Ya, kini aku paham."
"Jadi?" Chen mencondongkan tubuhnya ke depan. Ia penasaran dengan keputusan pria itu.
Minghao tersenyum ketika mendapati raut wajah penuh rasa ingin tahu yang berada di hadapannya. Pria itu tidak menyangka dulu ia pernah patah hati karena Chen, cinta pertama yang tak pernah ia dapatkan. Persahabatan mereka lebih berharga daripada hubungan romantis sebagai sepasang kekasih. Minghao mendengus geli ketika mengingat bagaimana dirinya memilih menangis di tepi sungai Han ketika menyadari bahwa Chen jatuh ke pelukan Jun, rekan kerja yang sudah ia anggap sebagai saudara kandungnya sendiri. Perbuatan bodoh yang ia lakukan. Namun Minghao tidak menyesal. Jika dugaannya benar, Chen dan Jun lah yang membuatnya bertemu dengan Melodi empat tahun yang lalu. Bertemu dalam keadaan mengenaskan dan memalukan.
Minghao menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Ia tersenyum misterius.
"Xu Minghao," rengek Chen ketika menyadari bahwa pria itu tidak akan menjawab rasa ingin tahunya yang besar. Sifat kekanakan gadis itu muncul lagi.
"Saat kami konser di Malaysia, kau akan datang kan?" tanya Minghao membahas topik lain.
Chen memajukan mulutnya. Namun ia tetap menjawab pertanyaan Minghao, walaupun kesal karena diabaikan.
"Tentu saja, aku sudah berjanji pada Jun. Lagipula aku dapat mengambil libur dari pekerjaanku kapan saja."
"Kalau begitu," Minghao menggantungkan ucapannya. "Bisa temani aku membeli hadiah wisuda yang bagus? Aku tidak mengerti selera wanita."
"Kau...," Chen menutup mulutnya yang sukses membuka karena terkejut. Ia terlihat bahagia dengan keputusan sahabatnya itu. "Tentu. Aku dan Jun akan menemanimu pergi belanja," Chen meraih ponsel dari saku jaketnya. "Ya ampun, aku sangat senang mendengarnya. Kau harus segera membeli tiket pesawat menuju Jakarta."
Tawa Minghao pecah. Ia tidak percaya Chen akan sesenang ini. "Aku akan membelinya setelah berkomunikasi dengan sahabat Melodi di Indonesia sana."
"Kau kenal dengannya?" tanya Chen ragu.
Minghao menggeleng. "Tidak. Tapi aku punya koneksi yang bisa menghubungkan kami berdua," ucapnya yakin. "Aku ingin membuat kejutan yang tak terlupakan bagi Melodi."
Chen mengacungkan kedua ibu jarinya ke atas. Senyuman lebar mengembang di wajahnya. "Itu baru Minghao yang kukenal." Yang dipuji hanya tertawa malu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro