Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[THE 8] Pillow Talk

"Kau suka makanan yang ibuku buat?"

"Suka."

"Apa ayahku terlalu mengganggumu?"

"Tidak kok."

"Hm, apa lagi ya? Kau mau kita bicara apa lagi? Atau langsung tidur saja?"

Melodi menarik napas panjang. Gadis itu berguling ke kanan, ke tepi kasur yang saat ini sedang dia tempati. Gadis itu melotot pada Minghao yang tampak asyik memandangi langit-langit kamar. Tahu karena sedang diperhatikan, Minghao menoleh ke arah Melodi.

"Kenapa?" tanyanya dengan nada datar.

"Kenapa katamu?! Bagaimana kau bisa setenang itu?!" pekik Melodi tertahan. Tangannya terulur untuk menjitak kepala kekasihnya. Sayang, Minghao keburu menghindar.

Minghao terkekeh karena berhasil mengelabui Melodi. "Kenapa?" tanyanya lagi, membuat Melodi harus menahan urat kesabarannya agar tidak putus saat ini juga.

"Kenapa kita harus tidur bersama?" Akhirnya kalimat yang daritadi bertahan di ujung lidah Melodi berhasil dilepaskan.

"Karena kau yang memilih. Kau kan tidak mau tidur berdua dengan ibuku," jawab Minghao ringan. "Kata tidur bersama yang keluar dari bibirmu terdengar sangat sensual. Bagaimana bisa kita dibilang tidur bersama jika kita tidur di kasur yang berbeda seperti ini? Kau di atas, aku di bawah."

"Jangan pernah berpikir untuk diam-diam naik ke kasurku saat aku sudah tidur!" ucap Melodi memberi peringatan. Tangannya menarik selimut hingga batas garis leher.

"Yah... kenapa?" Tawa Minghao kembali pecah saat mendapati rona merah di kedua pipi gadisnya. "Iya, iya. Aku tidak akan menggodamu lagi. Maafkan aku. Karena kedatangan kita yang terlalu tiba-tiba, Ibu dan Ayah belum menyiapkan kamar lain untukmu."

"Huft, seharusnya aku tidak memilih untuk tidur di kamarmu. Lebih baik aku tidur di sofa ruang TV saja."

"Apa kau tidak nyaman berada di satu ruangan yang sama denganku?"

"Bukan begitu," sambar Melodi. Dia memilah-milah kata yang tepat sebelum kembali bersuara. "Maksudku, apa ini tidak terlalu cepat? Kita belum pernah berciuman. Selama ini pun tidak pernah tidur bersama. Kau juga tidak pernah menginap di apartemenku, entah itu di Jakarta atau di Seoul."

Minghao membenahi posisi kepala di bantal. Pria itu mengamati lamat-lamat perubahan raut wajah gadisnya yang tidur di kasur atas. Melodi masih berbaring tengkurap dengan wajah menghadap Minghao, hanya saja tatapannya berkeliaran kesana-kemari, mengamati apa saja asal tidak bertemu pandang dengan bola mata pria berdarah keturunan negeri asal Panda tersebut.

"Terkadang aku bertanya-tanya," ucap Minghao dengan suara serius. "Apa yang telah si brengsek itu perbuat sampai kau jadi seperti ini?"

"Si... brengsek?" ucap Melodi tidak mengerti. Minghao jarang sekali mengumpat di hadapannya. Ini kejadian langka.

"Mantanmu. Si atlet itu."

"Namanya Nathan."

"Bagiku, namanya si Brengsek."

"Hush, sudah lah. Kau tidak cocok mengumpat seperti ini," ucap Melodi memberi peringatan dengan kening berkerut.

"Karena dia, kini kau jadi menarik garis batas pada setiap pria yang ada."

"Wanita harus menjaga diri, Minghao."

"Aku kekasihmu. Aku tidak akan menyakitimu." Minghao berdecak kesal dan memicingkan kedua mata. "Apa jangan-jangan, kau menganggapku sama seperti pria lain? Kau tidak pernah benar-benar percaya padaku sebagai kekasihmu?"

"Minghao, kau ini bicara apa sih?"

"Kita sudah jalan bersama hampir dua tahun."

"Lalu?"

"Aku tidak merasa hubungan ini pantas disebut sebagai pacaran."

Melodi terhenyak. Ucapan Minghao menusuk tepat di hatinya. Ada ngilu yang tak bisa dijelaskan pasti dimana letaknya, yang jelas, saat ini dada Melodi terasa sangat sesak. Nada bicara Minghao terdengar sangat terluka. Melodi jadi ikut terluka.

"Maaf. Sepertinya aku masih jet lag," ucap Minghao pada akhirnya. Pria itu berbaring memunggungi Melodi. "Kau sebaiknya juga istirahat. Besok keluarga besarku akan datang. Kau pasti akan kewalahan menanggapi sapaan mereka semua."

Diam-diam Melodi menghela napas panjang. Selama ini Minghao selalu sabar. Hubungan mereka berdua yang terkesan berjalan di tempat seperti ini, bukan berarti tidak mengusik hati kecil Melodi sama sekali. Gadis itu juga tahu, kekasihnya sering menahan diri. Sebenarnya, yang diinginkan Minghao cukup sederhana. Kepastian. Hati yang utuh. Minghao ingin Melodi benar-benar menerima Minghao sepenuh hati.

Lima menit berlalu tanpa ada percakapan yang terbentuk. Melodi masih betah menatap punggung Minghao. Minghao pun masih tak bergerak mengubah posisi. Melodi tahu, pria itu belum tidur.

"Apa badanmu tidak sakit tidur di kasur tipis seperti itu?" tanya Melodi setelah menyusun keberanian.

"Aku sudah biasa."

"Berbaliklah."

"Tidak mau."

"Duh, Xu Minghao. Kau kalau sedang merajuk jadi benar-benar menyusahkan ya?" kesal Melodi. "Aku bilang, berbalik. Ya, berbalik."

"Tidak mau."

"Baiklah. Aku yang akan turun kesitu."

Melodi menyibak selimut yang menutupi badannya dan menurunkan kaki ke lantai. Dengan jantung berdebar kencang karena akan melakukan aksi tak biasa, Melodi berbaring di balik punggung kekasihnya. Niat awal Melodi adalah membujuk pria itu agar tidak merajuk dengan cara memeluknya dari belakang, seperti yang sering dia lihat di drama-drama romantis. Sayangnya, tubuh Melodi seketika kaku. Dia hanya bisa berbaring memandang langit-langit kamar dengan kedua lengan terlipat di atas perut. Persis seperti mayat, bedanya, kelopak mata Melodi tidak menutup.

"Jangan menguji kesabaranku. Aku tidak mau melanggar batas yang telah kau buat," ucap Minghao dingin. Pria itu tak berbalik badan meskipun tahu Melodi berbaring tepat di sebelahnya.

"Kau berbeda dari mereka." Melodi berbicara dengan mengabaikan ucapan berisi peringatan Minghao sebelumnya. "Kau berbeda dari pria-pria lain di luar sana. Kalau kau sama, tidak mungkin aku mau memacarimu. Aku tidak bodoh."

Minghao diam. Tanpa sadar pria itu menahan napas. Minghao fokus menekan debaran di dadanya yang mulai meningkat secara perlahan. Dia tak ingin Melodi tahu bahwa saat ini Minghao sedang gugup setengah mati.

"Yang bilang seperti itu kan kau sendiri. Aku heran, kenapa kau jadi merendahkan kualitas dalam dirimu dan tidak percaya diri melihatku? Hei, kau adalah Xu Minghao! Kau satu-satunya pria yang kuizinkan untuk berbaring di kasur yang sama denganku."

Pada akhirnya Minghao berbalik. Dia berbaring dalam posisi miring menghadap Melodi. Senyum kecil terulas di bibir tipis Minghao mengetahui bahwa Melodi pun gugup, sama seperti dirinya. Minghao langsung tahu saat melihat gerak-gerik gadis itu yang berulang kali menggigiti bibir bawahnya.

"Kau tidak mengizinkanku. Kau sendiri yang datang kemari."

"Tidak ada bedanya. Hasil akhirnya tetap sama. Saat ini kita sedang berbaring bersama."

"Mau berbagi selimut denganku?" tawar Minghao.

Melodi menjitak dahi Minghao keras. Si cowok mengaduh. "Aku tidak akan berlama-lama disini."

"Ugh, aku jadi merindukan sisi lain dirimu yang selalu bertingkah manja saat sedang PMS."

"Xu Minghao," panggil Melodi dengan nada sarat makna.

"Iya, Nyonya. Maaf."

Melodi melirik sekilas pada pria di sebelahnya. Dia menelan ludah susah payah sebelum akhirnya berguling. Kini keduanya berbaring saling tatap. Jarak di antara mereka semakin menipis.

"Maaf kalau kau salah menangkap maksud kelakuanku selama ini. Aku bukannya tidak serius menjalin hubungan denganmu. Aku hanya... masih kaku. Aku sudah berkali-kali bilang, kita ini berawal dari sepasang sahabat menjadi sepasang kekasih. Aku canggung dan tak tahu bagaimana harus bersikap. Kalau aku salah sikap, bisa-bisa aku kehilangan pacar sekaligus teman baik. Aku tidak mau hal itu terjadi."

Minghao tetap menutup mulut dan memasang kedua telinga. Saat ini, Minghao ingin menjadi pendengar yang baik. Kesempatan Melodi membuka diri mengutarakan apa yang ada di hatinya termasuk momen yang jarang terjadi. Bisa dihitung menggunakan jari.

"Menurut penelitian, menikahi sahabatmu sendiri bisa menurunkan angka perceraian sampai tujuh puluh persen. Tapi, bagiku, itu susah. Aku bingung memposisikan diri kapan aku harus bersikap sebagai sahabatmu, kapan aku bersikap sebagai kekasihmu. Aku orang yang penuh perhitungan, hingga akhirnya malah membuatmu tidak nyaman."

"Minghao, jangan iri pada pasangan lain di luar sana. Aku janji. Aku akan benar-benar menghapus garis batas ini. Aku pun ingin melakukan banyak hal bersamamu."

"Hei, hei. Kau membuatku malu," Minghao menutupi wajahnya dengan sebelah telapak tangan. "Tadi, kau bicara tentang menikah? Ya ampun. Aku senang sekali! Kau memikirkanku sampai sejauh itu rupanya."

"Bukankah... bukankah... arah hubungan kita memang...," Melodi berkata dengan kalimat terputus-putus. Gadis itu malu. Jangan sampai hanya dirinya sendiri yang berpikir bahwa hubungan mereka memang sudah seserius itu.

"Ya, tentu saja, Sayang! Aku akan menikahimu!" balas Minghao kelewat senang. Senyumnya mengembang dari telinga kiri ke telinga kanan.

Kali ini gantian Melodi yang menutupi wajah. Dia membiarkan Minghao mengguncang-guncang bahunya sebelum menariknya masuk ke dalam pelukan. Pria itu dengan semangat menjatuhkan kecupan-kecupan kecil di puncak kepala Melodi.

"Aku belum selesai bicara."

"Okay, lanjutkan," ucap Minghao. Dia menarik diri. Matanya tampak berbinar.

Melodi menarik napas panjang sebelum kembali bersuara. "Aku, Clarissa Melodi, berjanji akan berusaha tidak lagi egois mementingkan perasaanku sendiri dalam hubunganku bersama Xu Minghao."

Minghao meringis. Menurutnya, Melodi benar-benar imut. Dia mengucapkan kalimat tadi penuh kesungguhan dan keseriusan.

"Aku, Xu Minghao, berjanji akan membuat Clarissa Melodi tidak menyesali keputusannya dengan memilihku sebagai kekasihnya."

Minghao dan Melodi saling tatap. Bukannya bicara, mereka malah tertawa bersama. Ketegangan mencair. Mereka sudah berbaikan. Kali ini, Melodi yang bergerak lebih dulu menyusup masuk ke dalam dekapan kekasihnya.

"Apa aku boleh memberimu saran?" tanya Minghao lirih, tangannya tak berhenti mengusap rambut bergelombang gadisnya.

"Saran apa?"

"Jangan terlalu serius. Tidak semua hal harus dipikirkan seserius itu. Kau tidak perlu pusing memikirkan harus menjadi sahabatku atau kekasihku. Aku hanya ingin dirimu. Kau cukup menjadi Melodi dan aku akan menerimamu dengan kedua tangan terbuka lebar. Aku ingin kau menikmati hubungan kita sekarang tanpa ada beban."

"Boleh?"

"Tentu saja boleh."

"Tapi aku tidak pandai bersikap sebagai pacar yang baik."

"Memang pacar yang baik itu bagaimana?"

"Bersikap manis dan menggemaskan. Melemparkan aegyo sesekali. Atau bersikap manja sesering mungkin. Aku tidak bisa begitu."

"Jangan seperti itu. Seram. Seperti bukan dirimu saja." Minghao terkekeh saat mendengar kekasihnya mendengus sebal.

Selama beberapa menit, mereka berdua betah diselimuti oleh keheningan yang menenangkan. Melodi mengusap punggung Minghao, Minghao mengusap rambut Melodi. Si gadis bahkan tidak sadar bahwa diam-diam Minghao menyampirkan selimut di tubuhnya dengan selimut yang sama yang sedang pria itu digunakan.

"Ngomong-ngomong, kalau begitu, apa kau mau menikah denganku?" tanya Minghao tiba-tiba.

"Tentu saja."

Minghao terkekeh. "Percakapan macam apa ini? Kita membicarakan pernikahan dengan mudah tanpa ada suasana romantis sama sekali. Tidak ada bunga. Berbaring bersama pun, saat ini kita sedang berbaring di lantai berlandaskan kasur tipis yang tidak cukup hangat."

"Kalau begitu jangan diteruskan."

"Tapi aku ingin membicarakan ini sekarang."

"Kalau begitu lanjutkan," ucap Melodi tak terganggu sedikit pun. Meski begitu, dalam hati dia meledek kelakuan kekasihnya. Minghao si plin-plan.

"Bagaimana kalau kita menikah dalam waktu dekat?"

"Hah?!"

"Maksudku, dalam kurun waktu tiga tahun ini. Bagi idol, itu waktu yang sebentar," ucap Minghao membela diri. "Aku harus menyiapkan banyak hal sebelum melamarmu secara jantan. Aku harus diskusi dengan agensi. Untuk para fans di luar sana, aku juga ingin membujuk mereka untuk menerimamu sebagai istriku kelak."

"Baiklah. Aku juga perlu diskusi dengan orangtuaku dulu," ucap Melodi.

"Bagaimana kalau kita menikah ketika banyak member Seventeen yang sedang wajib militer?" usul Minghao. "Kurasa itu waktu yang cocok. Jadwal grup akan berkurang. Aku bisa berkarier solo sambil mengurus pernikahan."

Melodi bergumam pelan, lalu bicara. "Ya, itu bisa diatur nanti. Saat ini aku justru sedang berpikir. Bagaimana aku harus bersikap di depan keluarga besarmu besok. Kalau kita memang akan menikah di masa depan, sepertinya aku harus mulai sedikit-sedikit belajar bahasa Mandarin."

Minghao terkekeh. "Aku juga harus belajar bahasa Indonesia."

"Ah, molla! Otakku panas," keluh Melodi sambil menguraikan pelukan mereka. "Ayo kita tidur saja."

"Pindah ke kasur atas yuk. Aku ingin tidur sambil memelukmu."

"Ya! Kalau besok pagi ibumu tahu kita tidur bersama, bagaimana?" pekik Melodi.

"Tidak apa-apa. Ibuku beberapa kali sudah memberi kode ingin menimang cucu. Dia justru akan senang."

Melodi memutar bola mata malas. Meskipun berperang dengan prinsip yang selama ini dirinya anut, pada akhirnya Melodi membiarkan Minghao berbaring di sebelahnya. Melodi berdoa. Semoga saja orangtuanya tidak tahu bahwa Melodi dan Minghao malam ini berbagi kehangatan dari satu selimut yang sama.

Andaikan tahu, sepertinya rencana pernikahan Melodi-Minghao terpaksa dipercepat. Bukan dalam jangka waktu tiga tahun, tapi hari esok harus segera dinikahkan.

--

Kira-kira seru nggak ya nikah sama sahabat sendiri? 🤨

Vomment kuy! ;)







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro