Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[THE 8] My Mom

Melodi bangkit dari kasurnya dengan malas-malasan. Rambutnya berantakan, bajunya kusut. Sambil menyampirkan selimut ke atas kepala hingga menutupi seluruh tubuhnya, gadis itu terseok menyeret langkah menuju pintu. Dalam satu kali gerakan, Melodi membukanya.

"Hai!"

"Kau bisa membukanya sendiri, kau tahu password-nya!" omel Melodi.

Gadis itu balik badan. Masih dengan selimut membungkus badan, Melodi memilih duduk di sofa ruang tengah dan meraih remote control TV.

Minghao tertawa kecil. Setelah menutup pintu, ia segera menuju dapur dan meletakkan plastik berisi makanan ke atas meja.

"Kau tidak senang dengan kedatanganku, hm?"

Melodi tidak menjawab. Dia pura-pura tidak dengar.

Dengan tangannya yang sibuk memindah bungkusan topokki keluar dari plastik dan meletakkan tempura ke atas piring, Minghao melirik kekasihnya di ruang tengah. Pria itu tersenyum kecil sambil geleng-geleng kepala.

"Melodi, kau sebenarnya mendengar pertanyaanku, kan?"

Bukannya menjawab, Melodi dengan sengaja malah menaikkan volume suara televisi. Gadis itu merajuk.

Minghao membawa camilan ke ruang tengah. Ia meletakkannya di atas meja. Pria itu sudah tahan banting dengan mood dingin kekasihnya. Tak lagi sakit hati. Minghao dengan tenang meraih tangan kanan Melodi dan meletakkan sumpit di telapak tangannya.

"Makan," perintah Minghao lembut. Ia sendiri kembali berdiri untuk mengambil dua gelas minuman.

Melodi menurut meskipun masih tak kunjung buka suara. Ia mencoba satu potongan kecil kue beras dengan saus pedas. Hm, Minghao ingat seleranya ternyata. Pria itu telah menaburkan cabai bubuk kesukaan Melodi di atas topokki. Kalau begini, Melodi akan tetap makan meskipun ia tidak suka dengan makanan ringan khas negeri ginseng ini.

"Bagaimana?" tanya Minghao. Ia sudah kembali.

"Coba saja sendiri."

"Enak," ucap Minghao. Ia bahkan belum mencoba.

Melodi mengernyitkan dahi. Ia memandang ke arah Minghao dengan tatapan menusuk. Si pria langsung tertawa.

"Jangan mengernyitkan dahi seperti ini, nanti kau cepat keriput," ucap Minghao sambil mengelus area di antara alis Melodi dengan ibu jarinya.

Gadis itu luluh. Ia meletakkan sumpit dan membersihkan mulutnya lalu minum air yang sudah disiapkan Minghao. Melodi meregangkan kedua tangan ke samping, bahasa tubuh bahwa dirinya minta dipeluk.

Minghao mengerti. Tanpa banyak tanya, pria itu mendekap tubuh kekasihnya. Ia mengulum senyum.

"Kau menyebalkan," gerutu Melodi. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Minghao. "Hampir satu bulan lamanya kau berada di negeri orang. Minggu depan malah mau pulang ke China. Memang kau tidak merindukanku?"

Minghao berusaha keras menahan tawa. Ia menepuk-nepuk pelan pinggang Melodi. Kalau sedang datang bulan, kekasihnya memang sulit ditebak.

"Perutmu masih sakit?"

"Sudah tidak. Ini kan hari ke-tiga," jawab Melodi. Ia melepaskan pelukannya. Keningnya kembali berkerut. "Kau sengaja mengalihkan pembicaraan ya?"

Pria itu menyentil pelan dahi Melodi. "Pertanyaan bodoh. Tidak perlu aku jawab, kau seharusnya tahu jawabannya."

"Aku ingin dengar."

"Aku tidak merindukanmu. Rasa rindunya sudah terobati dengan memelukmu barusan."

Garis bibir Melodi melengkung ke bawah. "Aku mau pelukan lagi."

Kali ini Minghao tidak kuat. Tawanya keluar. Bukannya menuruti keinginan Melodi, Minghao malah menarik kedua pipi kekasihnya ke samping.

"Kau aneh jika begini. Kau kan paling anti bersikap manja padaku."

Melodi kembali merajuk. Namun kali ini tidak lama. Minghao sudah keburu memeluknya erat sembari mencium puncak kepalanya. Mereka bertahan dalam posisi seperti itu selama beberapa saat.

"Malam ini aku menginap ya?"

"Tidak boleh," balas Melodi. "Kalau orang tuaku tahu, bisa-bisa kita disuruh pisah saat ini juga."

"Kan mereka tidak tahu."

Melodi mencubit pinggang Minghao keras, membuat pria itu berjengit dan melepaskan pelukannya. Melodi memberikan pandangan menusuk. Minghao hanya meringis.

"Iya. Aku mengalah. Aku akan kembali ke dorm setelah puas bermain denganmu."

Melodi mengangguk. Ia membenahi posisi duduknya. Gadis itu kembali menyuap kue beras yang tadi sempat ia abaikan.

Diam-diam, Minghao menghela napas panjang. Tangannya terulur menyentuh kepala Melodi dan mengusap rambut kekasihnya. Gadis itu sempat menoleh, namun Minghao mengatakan agar Melodi meneruskan makannya. Sebagai ganti, Minghao memainkan rambut panjang bergelombang Melodi dengan jemarinya.

"Kau mau ikut aku pulang?" tawar Minghao hati-hati.

"Ke dorm maksudmu?" tanya Melodi di sela kunyahannya.

"Ke China," jawab pria itu. "Bertemu dengan keluargaku."

Melodi berhenti menyuap. Matanya mengerjap beberapa kali. Ia kehabisan kata-kata.

"Jadi... aku... akan bertemu... ibumu?"

Minghao tersenyum dan mengangguk. "Tidak hanya ibu, ayah juga mau bertemu denganmu. Ah, para tante juga. Sahabatku juga."

"Apa tidak terlalu cepat?"

"Kau pikir sudah berapa lama kita menjadi sepasang kekasih?" Minghao menjawab pertanyaan Melodi dengan pertanyaan.

Melodi menunduk. Gadis itu mengerti. Minghao berniat membawa hubungan mereka lebih jauh lagi. Bukan berarti Melodi tak mau, dia hanya belum siap.

Kewarganegaraan Minghao berasal dari China. Melodi sendiri orang Indonesia, meskipun blasteran. Kini, mereka berdua sama-sama mengadu nasib di Korea Selatan. Kalau menikah, bagaimana?

"Jangan berpikir terlalu jauh," ucap Minghao bagai bisa membaca pikiran Melodi. "Aku hanya ingin mengenalkanmu pada keluargaku. Sama seperti aku kenal dengan keluargamu."

"Itu hal yang berbeda, Minghao. Keluargaku biracial. Pikiran mereka terbuka dengan hubungan kita yang seperti ini."

"Memangnya selama ini kau pikir aku tidak pernah menceritakanmu pada Ayah dan Ibu ku?"

Melodi terdiam. "Hmm, bagaimana responnya?"

Minghao tersenyum tipis. "Pikir saja sendiri."

"Minghao!"

Pria itu tertawa. "Aku sudah pernah bilang padamu, aku tidak akan melanjutkan hubungan dengan seorang gadis tanpa persetujuan ibuku. Aku anak tunggal, satu-satunya anak laki-laki di keluarga besar. Jadi, yah, begitu."

"Begitu bagaimana?"

"Aku cerita pada ibuku tentangmu, dia menyukaimu, dan sekarang penasaran ingin bertemu denganmu."

"Menurutmu, semua akan baik-baik saja?" tanya Melodi masih ragu.

"Aku tidak akan melangkah tanpa pemikiran. Aku sayang pada ibuku, dan aku juga sayang padamu. Andaikan nanti ternyata ibu tak suka padamu, aku tidak akan membiarkanmu sendiri di kampung halamanku."

"Kau kan anak mami."

"Tapi kau kan kekasihku, sudah tugasku menjagamu."

Melodi memeluk Minghao lagi. Ia masih berperang dengan pikirannya. Minghao yang tahu, hanya bisa mengusap punggung Melodi, menenangkannya.

"Ibuku baik kok. Kau tidak perlu takut."

"Kalau ibumu tak suka padaku, kau akan memilih siapa?"

"Hm, aku tidak memilih siapa-siapa," ucap Minghao. Ia tersenyum penuh arti. "Harusnya kau bertanya apa yang akan aku lakukan."

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Menyatukan kalian. Membuat ibuku menyukaimu dan kau pun menyukainya."

"Kau benar-benar egois."

"Ya, dan aku menjadi egois karenamu."

Melodi mendengus geli. Ia melepas pelukannya. Matanya bertemu dengan mata Minghao. Mereka saling tersenyum.

"Kau tahu, di saat-saat seperti ini, kau terlihat keren."

"Aku tahu. Terima kasih."

Melodi tertawa. Ia kembali memeluk Minghao. Kali ini lebih erat. Melodi bahkan sampai naik ke atas pangkuan kekasihnya.

"Kau jarang bertingkah manja padaku, tapi sekalinya manja kau benar-benar menguji keimanan ya."

"Hm? Maksudmu?" tanya Melodi dengan suara teredam di ceruk leher Minghao.

"Kau tahu kan, gaya pacaran pria Korea tidak bisa tidak skinship. Menginap atau tidur bersama sudah biasa."

"Tapi kau bukan pria Korea."

"Benar juga."

"Nah."

Minghao menghela napas kesal. Ia mengangkat kepala Melodi dari bahunya.

"Paling tidak, berikan aku satu ciuman. Permintaanku tidak berlebihan, kan?"

"Eh, oh, hm."

"Kenapa? Ini ciuman pertamamu?"

"Bukan!" sambar Melodi kesal karena mendengar nada mengejek dalam pertanyaan Minghao. "Aku hanya tidak siap. Kita kan berawal dari sahabat menjadi kekasih."

"Terus?"

"Ah, molla!"

"Kau terlalu banyak berpikir," ucap Minghao. "Kalau aneh, kau cukup memberiku izin. Biar aku yang menciummu."

Wajah Melodi memerah. Ia tidak menyangka Minghao bisa bicara setenang itu. Senyum jahil terpasang di muka Minghao. Dasar, benar-benar.

"Okay, aku izinkan."

"Benarkah?" Mata Minghao membuka lebar.

"Cepat lakukan, sebelum aku berubah pikiran." Melodi memejamkan mata. Ia menunggu aksi Minghao. Debaran jantungnya melompat kesana-kemari.

Tak kunjung merasakan apapun, Melodi membuka sebelah matanya perlahan. Ternyata Minghao sedang menahan tawa. Melodi langsung memukul dada Minghao saking kesalnya dipermainkan.

"Menyebalkan!"

Minghao buru-buru menangkap pinggang Melodi, mencegah gadisnya turun dari pangkuan.

"Aku tidak bilang tidak akan menciummu. Entah itu sekarang atau besok."

"Kau membuatku malu!"

"Aku senang melihatmu menungguku dengan penuh harap," ucap Minghao jujur. Ia lalu menyerah. "Arra, arra, maafkan aku. Tidak seharusnya aku bermain-main dengan perasaanmu."

Melodi menunduk. Ia malu dan kesal. Ingin menangis saja rasanya.

Minghao mengangkat dagu Melodi dengan ibu jarinya. Pria itu menjatuhkan kecupan ringan di sudut bibir kekasihnya. Minghao lalu memeluk tubuh Melodi.

"Begitu saja dulu. Aku tidak ingin kau memandangku sebagai orang yang dikendalikan oleh hawa nafsu. Kalau memang kau belum siap, aku bisa menunggu."

Melodi tidak membalas. Ia hanya balik memeluk Minghao dan menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu.

"Besok temani aku mengurus visa. Aku tidak tahu apakah bisa langsung jadi minggu depan atau tidak. Itu salahmu karena tidak membujukku lebih awal."

"Kau mau ikut pulang bersamaku?!" kaget Minghao senang.

"Untuk apa aku mengurus visa ke China kalau tidak untuk pergi bersamamu?"

Minghao tertawa. "Baiklah. Kita urus semuanya bersama ya."

Melodi hanya mengangguk. Ia kini enggan turun dari pangkuan Minghao. Melodi menikmati panas tubuh Minghao yang menjalar padanya. Benar-benar menenangkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro