[JEONGHAN] Kehamilan Awal
Matahari sudah mulai menampakkan diri. Jam menunjukkan pukul setengah enam pagi, namun sang surya sudah bersinar dengan terik. Walaupun musim panas sudah hampir berakhir, tetap saja kemunculan salah satu bintang pusat tata surya yang berlangsung lebih lama itu membuat Jeonghan malas bangkit dari tempat tidurnya.
Tangan Jeonghan terulur ke samping. Dahinya berkerut ketika tidak mendapati sang istri di samping. Jeonghan langsung menyibak selimut. Sejak Nari benar-benar dikatakan positif hamil oleh dokter, sikap protektif Jeonghan bertambah. Contohnya seperti sekarang, ia sudah kelabakan mencari keberadaan Nari di dalam kamar sambil berteriak-teriak.
"Aku disini!" balas Nari.
Jeonghan menghembuskan napas lega ketika mendengar suara wanitanya. Setidaknya, hal itu mengindikasikan bahwa Nari sedang dalam keadaan sadar dan baik-baik saja. Ia berjalan menuju sumber suara dan menemukan Nari sedang duduk bersandar di sofa ruang tengah.
Nari tersenyum mendapati keberadaan Jeonghan. Ia melambai tangannya, menyuruh agar pria itu mendekat.
"Kau ini, masih pagi sudah makan makanan yang asam," seru Jeonghan sedikit kesal. Ia merebut segelas yogurt rasa strawberry dari tangan Nari.
Nari merengut. "Ayolah Yoon Jeonghan. Aku benar-benar sedang ingin yogurt. Lagipula tadi pagi aku terbangun dan sudah mengeluarkan seluruh isi lambungku. Aku lapar."
"Kalau lapar, langsung saja makan nasi," balas Jeonghan tak mau kalah. Ia duduk di sisi Nari dan menariknya agar makin mendekat. "Justru kalau lambung sedang kosong, tidak baik untuk makan-makanan asam. Itu yang kutahu."
Nari tidak membalas ucapan Jeonghan. Ia menutup hidung dan mulutnya dengan kedua tangan. Secepat kilat wanita itu melesat masuk ke dalam kamar mandi. Jeonghan meletakkan yogurt di tangannya ke atas meja dan segera bergegas menyusul Nari.
Wanita itu bersimpuh di depan toilet. Lagi-lagi, Nari memuntahkan apa yang sudah masuk ke dalam perutnya pagi ini. Jeonghan menghela napas panjang. Dengan telaten, ia memegangi rambut panjang istrinya agar tidak mengganggu dan memijit tengkuk Nari pelan.
Nari mendorong Jeonghan agar menjauh. Ia berlalu ke wastafel dan berkumur-kumur. Melalui cermin, ia melayangkan tatapan mematikan ke arah sang suami yang kini berusaha menjaga jarak dengannya dengan berdiri di ambang pintu.
"Arra, arra," ucap Jeonghan mengerti arti tatapan Nari. "Aku akan mandi. Dan, lebih baik kau minum susu atau makan biskuit, jangan makan yogurt. Ingat, kau punya penyakit gastritis. Aku akan marah kalau kali ini kau membandel."
Pria itu kemudian berjalan menuju kamarnya. Nari mengusap wajahnya dengan air. Ada sedikit perasaan bersalah dalam hatinya. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa pada hal itu.
Usia kehamilannya saat ini sudah memasuki bulan kedua. Tiap pagi Nari pasti akan terbangun oleh rasa mual yang hebat. Tidak sampai situ saja, ia juga akan mual jika mencium bau keringat Jeonghan. Padahal pria itu selalu bermanja-manja dengannya sepulang dari kerja yang melelahkan. Hal itu juga yang membuat intensitas mandi Jeonghan akhir-akhir ini meningkat.
Setelah selesai membersihkan diri, Nari berlalu ke dapur. Ia menuruti peringatan Jeonghan agar tidak sembarang asal makan. Nari juga sadar bahwa makanan yang masuk ke tubuhnya kini bukan hanya untuk dirinya seorang. Ia harus memperhatikan asupan demi kesehatan janinnya.
Gadis itu membuat menu sarapan simpel untuk dirinya dan Jeonghan. Benar-benar simpel karena semua masakan hanya menggunakan garam dan saus tiram. Perlu tambahan, Nari tidak tahan dengan aroma bawang dalam masakan. Itu juga yang membuatnya sangat pemilih jika harus makan di luar.
Tak lama kemudian Jeonghan sudah ikut bergabung dengan Nari di dapur. Ia memeluk istrinya dari belakang dengan mesra. Karena sudah mandi, Jeonghan jadi lebih bebas untuk menempel ke wanitanya itu.
Nari menoleh sedikit dan mencium pipi Jeonghan cepat. Kebiasaan barunya tiap Jeonghan menurut untuk mandi. Yah, hitung-hitung sebagai penghargaan karena Jeonghan rela membersihkan diri demi dirinya tidak mual-mual lagi.
"Ada yang perlu kubantu?" tanya Jeonghan. Ia masih saja bergelayut manja pada bahu Nari.
Nari membasuh tangan. Ia melepas rangkaian tangan Jeonghan pada bahunya.
"Aku harus bersiap-siap untuk bekerja. Kau bisa bungkuskan makan siangku? Tinggal dimasukkan saja ke kotak yang sudah kusiapkan," Jeonghan langsung mengangguk menyanggupi. "Ah, tolong buatkan susu juga untukku. Terima kasih Yoon Jeonghan!"
---
Mobil Jeonghan berhenti di depan kantor Nari. Sebelum pergi untuk berlatih, akhir-akhir ini dirinya selalu mengantar sang istri pergi bekerja. Hal itu tentu saja karena sikap protektifnya yang berlebihan. Padahal di Korea tidak ada larangan bagi orang hamil untuk membawa mobil.
"Aku pergi dulu ya," ucap Nari. Ia sudah melepas seatbelt dan bersiap keluar mobil.
"Eh, tunggu dulu," ucapan Jeonghan menghentikan gerakan Nari. Pria itu meraih paper bag dari kursi belakang. "Makan siangmu. Kecerobohanmu itu masih saja belum berkurang ya."
Nari hanya meringis polos. Tangannya sudah berada di handle pintu mobil. "Kalau begitu aku masuk ke dalam ya."
"Tunggu!" Lagi-lagi Jeonghan memekik. Pria itu melepaskan seatbelt miliknya sendiri dan bergerak cepat ke arah Nari. Sang istri sampai berjengit kaget dibuatnya.
Jeonghan mengelus pelan perut Nari yang masih rata. Ia kemudian mendaratkan ciuman di sana. "Jangan buat Mama repot ya!"
Nari tertawa kecil. Interaksi Jeonghan dengan bayi di dalam kandungannya selalu bisa membuat hatinya menghangat.
Jeonghan kembali menegakkan punggung. Ia mengelus rambut hitam Nari penuh kasih sayang. "Nanti siang kita ke dokter bareng ya. Ingat, kau harus makan siang dan minum susu. Selain itu jangan bekerja terlalu lelah."
"Baiklah," ucap Nari mengalah. Kalau ia tidak menurut, bisa makin lama Jeonghan menahannya disini.
Nari mengecup bibir Jeonghan cepat dan keluar dari mobil. "Aku pergi!" Serunya sebelum pintu mobil tertutup. Belum sempat Jeonghan membalas seruannya, Nari sudah melesat masuk ke dalam kantor.
"Ya!" Jeonghan menghela napas panjang. "Bagaimana bisa ia melompat-lompat seperti itu padahal ada bayi kecil di perutnya," gerutu Jeonghan pada diri sendiri.
---
Sesuai dengan perjanjian, Nari izin bekerja hingga siang hari. Karena Jeonghan masih sibuk dengan latihannya, gadis itu memutuskan untuk mengunjunginya di gedung agensi pria itu. Sebenarnya ia jarang berkunjung kesana. Entah mengapa, membawa titel sebagai istri seorang idol selalu membuatnya was-was dan takut jika harus bertemu dengan para penggemar grup Seventeen. Maka dari itu, jika ia harus terpaksa pergi kesana, Nari memilih untuk lewat pintu belakang dimana tidak ada fans yang menunggu. Jeonghan juga selalu menyuruh salah satu manajernya untuk menjemput Nari di bawah.
"Yoon Jeonghan! Istrimu datang!"
Jeonghan segera bergegas menghampiri Nari yang masih terlihat ragu-ragu untuk masuk ke studio latihan dance. Saking senangnya melihat kehadiran Nari, Jeonghan lupa bahwa dirinya masih berkeringat dan langsung saja memeluknya.
Dalam pelukan, Nari berusaha menahan napas agar rasa mualnya berkurang. Jeonghan yang menyadari bahwa Nari tidak bicara sama sekali, segera membebaskan wanita itu dari untaian tangannya. Buru-buru Nari menjauh. Ia bahkan memilih untuk berbincang dengan Hyesung, kekasih Jihoon, yang baru pertama kali ia temui.
"Ya ya ya, anak kecil kembali saja ke sisi Jihoon," ucap Jeonghan berusaha menyudahi perkenalan kedua wanita itu. "Ada hal yang harus aku bicarakan dengan Nari."
Setelah sedikit bercanda dengan Hyesung, Nari akhirnya menurut ketika Jeonghan menarik dirinya pelan untuk sedikit menjauh dari lingkaran member Seventeen. Mati-matian Nari menahan napas. Sungguh, aroma tubuh Jeonghan membuatnya benar-benar mabuk. Apalagi suaminya itu sedang bermandikan keringat.
"Aku mau ke kamar mandi," Nari langsung melesat keluar tanpa menghiraukan Jeonghan.
Jeonghan yang awalnya kaget, kini baru menyadari. Bahkan kaus yang dipakainya sudah benar-benar basah akibat keringat. Berdiri lama di sisi Nari tentu akan membuat wanitanya itu makin tersiksa. Akhirnya, Jeonghan meraih handuk kecil dari dalam tasnya. Ia berusaha mengelap sisa-sisa keringat yang masih bercucuran. Dengan berlebihan Jeonghan menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh. Semoga saja aroma keringatnya tertutupi oleh parfum.
Nari kembali dari kamar mandi. Ia memegangi perutnya dan berjalan menghampiri Jeonghan. Pria itu panik. Ia ingin menghampiri istrinya yang sangat lesu, namun takut kalau hal itu malah membuat Nari makin mual. Serba salah.
"Aku tidak apa-apa," ucap Nari seperti bisa membaca isi pikiran Jeonghan.
Hal itu tidak langsung membuat Jeonghan tenang. "Kau terlihat sangat lemas. Perutmu sakit juga, kan? Atau sebaiknya kita langsung saja ke rumah sakit? Aku akan minta izin pada Jisung hyung jika para manajer tidak mengizinkan."
Nari menggeleng. Ia menarik Jeonghan menuju salah satu bangku terdekat. "Tiap aku selesai muntah kan memang begini. Sayang sekali salad tuna dan sandwich yang sudah kumakan dengan susah payah keluar begitu saja."
"Sepertinya kau harus minum suplemen penambah nafsu makan kalau begini terus. Mual muntahnya sangat parah, tapi nafsu makanmu justru menurun. Aku bisa gila kalau kau begini terus-terusan," ucap Jeonghan tidak bisa menutupi kekhawatirannya.
"Kau bukan dokter, Jeonghan-ah," balas Nari terkekeh pelan. "Kita tetap berangkat setelah kau selesai berlatih. Tidak lama lagi, kan? Aku bisa minum susu sambil menunggumu."
Jeonghan mengangguk percaya. "Kalau begitu kau tunggu saja disini. Aku akan memanggil Hyesung agar menemanimu. Kau pasti penasaran ingin mengobrol lebih banyak dengannya kan?"
Tanpa menunggu lebih lama, Jeonghan bergegas menghampiri Hyesung yang masih bercanda ria dengan member Seventeen lain. Pria itu bahkan menarik sebelah tangan Hyesung dengan panik untuk "menculik"nya sebentar. Jeonghan sempat mendapat tatapan mematikan dari Jihoon, namun ia tak mengindahkannya. Dipikiran Jeonghan hanya ada Nari seorang.
"Ya! Oppa!" protes Hyesung. Ia melepas tangan Jeonghan begitu tahu bahwa kini ia sudah berada dalam jarak aman agar perbincangannya dengan Jeonghan tidak terdengar oleh orang lain. "Ada apa sih?"
Jeonghan menggaruk belakang kepalanya dengan bingung. "Aku boleh minta tolong?" Hyesung memasang kedua telinganya menyimak perkataan Jeonghan. "Ehm, Nari barusan mual dan muntah lagi. Aku khawatir karena ia terlihat lemas dan dari tadi Nari memegangi perutnya. Bisa kau periksa dia? Kalau ada masalah segera beri tahu aku."
Hyesung melirik ke arah Nari yang kini sedang sibuk dengan ponselnya. Ia kemudian kembali menoleh ke arah Jeonghan, lalu mengangguk. "Sana kau berlatih lagi. Biar Nari noona aku yang urus."
Jeonghan tersenyum lega. "Terima kasih, Han Hyesung!" Jeonghan mengacak rambut Hyesung.
Hyesung hanya mampu menggerutu dalam hati. Ia membenahi rambutnya yang berantakan akibat ulah Jeonghan barusan. Bagi seluruh member Seventeen, Hyesung sudah dianggap seperti adik bersama. Itu karena tubuhnya yang mungil jika dibandingkan para member. Bahkan, dongsaeng line pun sudah mulai berani untuk ikut menjahilinya.
---
Jeonghan merangkul bahu Nari berjalan menuju basement dimana mobilnya terparkir. Setelah mandi dan dirinya bersih dari keringat, pria itu kini bebas bermanja-manja pada Nari. Istrinya itu sampai jengah sendiri dibuatnya.
Nari masuk ke dalam mobil setelah sebelumnya Jeonghan membukakan pintu untuk dirinya. Jeonghan sendiri segera melesat duduk di kursi pengemudi. Ia sudah tidak sabar ingin segera mengetahui kondisi kandungan. Menjenguk Yoon junior dari USG.
Selama perjalanan, pasangan itu membahas hal-hal ringan. Sudah sejak lama hal ini mereka lakukan. Kondisi dari saat status mereka hanya bersahabat hingga menikah tidak banyak yang berubah. Kecuali, Jeonghan makin sering bermanja-manja dan menempel tidak mau pisah dari Nari.
"Jeonghan, setelah dari rumah sakit, bisa antar aku ke kantor polisi?" pinta Nari setelah membaca pesan di layar ponselnya. "Aku harus mengambil beberapa berkas di sana."
"Hanya mengambil saja kan?" tanya Jeonghan penuh selidik.
Nari mengangguk. "Iya. Habis itu kita langsung pulang."
"Baiklah," ucap Jeonghan menyanggupi.
Sejujurnya Jeonghan tidak terlalu setuju Nari mengambil kasus pada saat kehamilannya. Namun, gadis itu tidak mudah luluh. Kalau tidak meneliti kasus, apa pekerjaan yang akan dilakukannya di kantor? Masa selama sembilan bulan ia tidak menggunakan skills-nya sama sekali? Terlebih lagi, akibat kemampuan Nari, wanita itu sering kali memegang kasus sulit dan berat. Tanpa sepengatahuan Nari, Jeonghan meminta pada ayah mertuanya agar memberikan tugas-tugas yang mudah saja pada istrinya itu. Setidaknya, jika Nari tidak terlalu banyak pikiran dan beban tugas berat, kesehatan janinnya bisa lebih terjaga.
Mereka tiba di rumah sakit tak lama kemudian. Nari mengantri terlebih dahulu sedangkan Jeonghan masih memarkirkan mobilnya. Wanita itu kemudian duduk di salah bangku di ruang tunggu sambil membaca majalah tentang kehamilan yang tersedia disana.
"Antrian nomor berapa?"
Nari mengangkat pandangan dari majalah. Ia mendapati Jeonghan sudah duduk di samping kursinya. Yups, tentu dengan perlindungan topi dan masker andalannya.
"Satu nomor lagi, terus giliranku," jawab Nari. "Topimu bagus. Aku bahkan tidak ingat kalau kau punya topi seperti itu."
"Ini milik Hansol. Tadi pagi aku lupa tidak membawa topi karena takut terlambat mengantarmu."
"Alasan," cibir Nari. Ia kembali fokus dengan bahan bacaan di tangannya. Jeonghan hanya terkekeh kecil mendengar ucapan wanita di sampingnya.
Tak lama kemudian nama Nari dipanggil. Ia meletakkan kembali majalah pada tempatnya. Jeonghan ikut berjalan masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Pria itu memainkan jari jemarinya gugup. Sejak mengetahui bahwa sang istri hamil, justru Jeonghan yang terlihat lebih gugup dengan perkembangan janin di kandungan Nari, ketimbang yang hamil.
"Selamat siang dokter Jo," Nari menyapa dokter kandungan yang sudah menangani kehamilannya dari awal. Jeonghan ikut mengangguk kecil memberi sapaan pada dokter wanita itu.
"Silahkan duduk," dokter Jo mempersilahkan Nari dan Jeonghan untuk duduk yang langsung diiyakan keduanya. Ia membaca rekam medis Nari sekilas, kemudian kembali mengangkat wajahnya ke arah pasangan muda itu.
"Sudah masuk minggu delapan ya, Pyo Nari-ssi," ucap dokter Jo sambil tersenyum ramah. "Ada keluhan sejauh ini?"
"Mual muntahnya parah banget dok," Jeonghan yang menjawab. Nari sampai mendelik terkejut mendengar kalimat yang keluar dari mulut Jeonghan. "Tiap pagi selalu muntah hebat. Tiap saya berkeringat sedikit saja, dia langsung mual. Sudah gitu, nafsu makannya terus turun. Kalau disuruh makan, istri saya juga tidak menurut."
Dokter Jo sedikit terkekeh mendengar penuturan, yang cenderung lebih mirip aduan, dari mulut Jeonghan. Ia kemudian melihat ke arah Nari, memberi waktu agar sang istri ikut menyuarakan pendapatnya.
Nari membuang napas jengah. "Bukan berarti saya nggak mau makan, Dokter Jo. Cuma, perut saya nggak enak tiap dimasukkan makanan. Sebisa mungkin saya tetap makan. Porsi kecil intensitas sering."
Dokter Jo mengangguk mengiyakan. "Ya, benar sekali Pyo Nari-ssi. Sebisa mungkin jangan sampai kekurangan asupan nutrisi, apalagi di trimester pertama seperti ini." Pandangan mata dokter Jo beralih pada Jeonghan. "Yoon Jeonghan-ssi sangat perhatian dan menjaga sang istri, ya. Pengertian yang bagus. Tolong awasi tiap perkembangannya dan pastikan Pyo Nari-ssi mendapat istirahat cukup."
"Untuk saat ini, saya tetap berikan suplemen untuk ibu dan janinnya. Masalah larangan dan anjuran bagi ibu hamil tetap dilaksanakan,"Jeonghan dan Nari sama-sama mengangguk mematuhi saran dokter.
"Okay, kalau begitu, mau menengok yang ada di perut?" tawar Dokter Jo.
"Tentu saja! Aku penasaran sudah sebesar apa Yoon Junior di dalam sana," seru Jeonghan penuh antusias. Nari sampai mencubit pelan lengan suaminya agar bisa mengontrol suaranya.
Nari diarahkan ke meja pemeriksaan. Jeonghan memegang sebelah tangan Nari dengan harap-harap cemas. Dokter Jo kemudian menyalakan alat USG. Ia mengoleskan gel dan mulai menggerakkan alatnya di atas perut Nari.
"Nah, ini dia," tunjuk Dokter Jo pada layar. "Ukurannya sesuai dengan perkembangannya ya. Kalau jeli, kita bisa lihat disini dan sini sudah mulai ada cikal bakal tangan dan kaki."
Jeonghan mendengarkan penjelasan dokter Jo dengan terperangah. Matanya membulat antusias melihat gambaran janin di perut Nari. Tanpa sadar genggamannya pada tangan Nari mengetat. Hal itu membuat hati Nari menghangat mengetahui bahwa Jeonghan sangat mencintai anggota baru keluarga mereka.
"Nah, sekarang kita dengar denyut jantung janinnya," Dokter Jo menyalakan sistem audio dari alat yang digunakannya.
"Ini suara detak jantung Yoon junior?" tanya Jeonghan tak percaya. "Cepat sekali!"
"Pada usia kehamilan 8 minggu, biasanya terdengar cepat. Sekitar 120-160 kali per menit. Nah, kita lihat, kalau janin ini...." Dokter Jo membaca angka di layar.
Jeonghan mengernyitkan dahinya ketika tidak kunjung mendengar kalimat lanjutan Dokter Jo. "Berapa dok? angkanya yang mana?"
Dokter Jo tersadar. Ia kemudian menampilkan senyum di wajahnya kembali. "Disini ada tulisan 173. Itu angka detak jantung janin di dalam perut."
Jeonghan bertukar pandang dengan Nari. "Di atas angka normal, Dok?" ucap Jeonghan menyuarakan isi pikirannya.
"Detak jantung lebih tinggi daripada angka normal banyak penyebabnya. Salah satunya adalah stress atau tekanan psikis sang ibu. Maka dari itu, detak jantung lebih tinggi dan janin makin banyak butuh nutrisi. Selama belum melebihi angka 180, kita masih bisa lebih hati-hati," Dokter Jo menjawab pertanyaan Jeonghan.
"Untuk lebih amannya, kita lakukan pemeriksaan minggu depan. Kalau ada masalah segera konsultasi."
Nari mengiyakan ucapan Dokter Jo. Jeonghan yang berada di sisinya kini menjadi lebih diam. Antusiasmenya entah hilang kemana begitu mendengar penjelasan dari dokter. Ia bahkan sibuk dengan pikirannya sendiri ketika Nari mendiskusikan banyak hal lain mengenai kehamilannya.
---
Nari duduk di sofa ruang tengah sambil menyelonjorkan kakinya yang lelah. Ia menyalakan televisi dan mulai menikmati acara yang ditampilkan disana.
"Jeonghan-ah, aku mau susu dong," seru Nari pada Jeonghan yang sedang sibuk menyiapkan camilan sehat ibu hamil di dapur.
Tak lama kemudian Jeonghan sudah bergabung dengan Nari di sofa. Begitu melihat segelas susu yang dibawakan sang suami, Nari langsung meminumnya dengan semangat. Jeonghan tersenyum simpul melihatnya. Sebelah tangannya terangkat untuk mengusap surai panjang Nari. Ia masih saja ingat dengan ucapan Dokter Jo tadi siang.
Ponsel Nari berdering tepat ketika ia menyelesaikan tetes terakhir minumannya. Nari segera mengangkat telepon yang masuk.
"Halo," sapanya pada orang di seberang sana. Nari melirik ke arah Jeonghan sekilas. Ia kemudian bangkit berdiri menjauh dengan tetap fokus pada lawan bicaranya.
Jeonghan mengikuti pergerakan Nari lewat ekor mata. Ia pura-pura tidak mendengar sembari terus memasukkan potongan buah ke dalam mulutnya. Samar-samar ia mendengar Nari membicarakan masalah persidangan dan lain-lain. Jeonghan menggerutu dalam hati. Pasti pekerjaan.
Sudah tiga puluh menit Nari tidak keluar kamar. Jeonghan akhirnya memasukkan potongan terakhir melon ke dalam mulutnya. Padahal, ia sengaja menyiapkan kudapan buah kesukaan Nari.
Setelah selesai beberes, Jeonghan masuk ke dalam kamar. Ia mendapati sang istri sedang duduk di atas kasur. Di sekitarnya terserak berbagai kertas. Nari tampak serius membaca dokumen tebal di tangannya hingga tidak menyadari kehadiran Jeonghan.
Jeonghan berdeham kecil. Alhasil, Nari mengangkat wajahnya dari kertas yang ia pegang.
"Eoh, kau mau tidur ya? Biar kubereskan dulu," Tangan Nari bergerak menumpuk kertas-kertas menjadi satu. Ia kemudian memindahkannya ke nakas di samping tempat tidur. "Sini, berbaringlah," ucap Nari. Tangannya menepuk-nepuk sisi kasur yang biasa menjadi tempat tidur Jeonghan.
Jeonghan mendekat tanpa banyak bicara. Ia duduk bersandar di samping kanan Nari. Istrinya itu bahkan sudah kembali tenggelam dalam bacaannya. Jeonghan hanya mengamati dari samping. Sesekali Nari mengusap rambutnya ke belakang. Gesture yang menyiratkan bahwa ia frustasi kehabilan akal saat sedang menganalisis sebuah kasus.
Dokumen Nari melayang. Jeonghan merebutnya dari tangan Nari dan meletakkannya di atas tumpukan berkas lain. Wanita itu memandang tak suka ke arah Jeonghan dengan dahi berkenyit. Dengan keras kepala, Jeonghan hanya balik memandang ke arah wanitanya tanpa gentar. Jika pria itu sudah serius, maka dia menjadi sosok yang lebih pendiam.
"Kalau kau mau tidur, tidur saja dulu. Aku masih harus membaca beberapa bahan untuk rapat besok," kata Nari dingin. Tangannya kembali terulur mengambil berkas yang tadi direbut Jeonghan.
"Sudah pukul sepuluh malam. Waktunya tidur," ucap Jeonghan tegas.
Nari memutar bola matanya jengah. "Aku kuat terjaga hingga tengah malam. Lagipula aku belum mengantuk."
"Tapi kau tetap harus tidur," balas Jeonghan tak mau kalah.
Nari tak menanggapi ucapan Jeonghan. Ia kembali menelusuri kalimat-kalimat di atas kertas. Jeonghan tidak tinggal diam. Ia menarik paksa kertas itu. Ia kemudian membawa seluruh berkas Nari keluar dari kamar. Nari yang terkejut hanya bisa terpana dengan perlakuan Jeonghan. Gadis itu segera menyusul langkah-langkah lebar sang suami.
"Ya! Jangan dibuang! Itu dokumen penting berisi bukti-bukti terdakwa pembunuhan!" pekik Nari tak terima dengan perlakuan Jeonghan.
Jeonghan memasukkan berkas-berkas Nari ke dalam gudang. Ia kemudian mengunci pintunya dan memasukkan anak kunci ke dalam saku celana.
Jeonghan menatap Nari dengan pandangan tak bisa diartikan. "Kau lebih memikirkan pekerjaan daripada kondisi tubuhmu sendiri. Tentu saja aku tidak bisa tinggal diam."
Nari menengadahkan tangannya, meminta kunci. "Aku sedang tidak ingin berdebat. Kembalikan berkas-berkasku, sidangnya tinggal tiga hari lagi." Jeonghan tak bergerak sedikit pun. "Yoon Jeonghan, ini masalah keadilan. Aku tidak bisa membiarkan orang tak bersalah mendapat hukuman."
"Pyo Nari," Nari merinding ketika Jeonghan menyebut nama lengkapnya dengan nada datar seperti itu. "Masuk ke kamar dan tidur." Jeonghan kemudian berlalu ke dalam kamar tanpa menuruti permintaan sang istri.
"Yoon Jeonghan!" Nari kesal. Ia menghentikan langkah Jeonghan dan berusaha merebut kunci dari dalam saku celana pria itu. "Aku harus bekerja! Sebentar saja. Pukul dua belas malam nanti aku pasti tidur."
"Aku tidak akan membiarkan kau menyakiti anak kita!" bentak Jeonghan.
Nari terdiam. "Mwo?"
"Kau tidak ingat perbincangan kita dengan dokter siang tadi? Kau bahkan mengabaikan kondisi janin di dalam perutmu demi menangani masalah orang lain!" Ucap Jeonghan lagi. "Kau membicarakan keadilan? Omong kosong! Kau bahkan berbuat tidak adil pada tubuhmu sendiri!"
"Aku... aku tidak... aku tidak begitu," ucap Nari terbata-bata. Ia mengusap wajahnya yang lelah dan menarik napas dalam-dalam. "Arra arra, ayo kita tidur." Nari berjalan pelan menuju kamarnya.
"Aku ingin kau berhenti bekerja."
Langkah Nari terhenti. Ia berdiri memunggui Jeonghan dan tidak berniat untuk melihat pria itu.
Yakin bahwa Nari masih mendengarkan, Jeonghan melanjutkan bicaranya. "Kalau itu masalah biaya, aku akan bekerja keras untuk menghidupi keluarga kecil kita. Aku ingin kau lebih memperhatikan dirimu sendiri. Ada dua nyawa yang sekarang berada di tubuhmu."
"Jangan bicara seolah-olah kau tahu diriku," ucap Nari dengan suara bergetar menahan tangis. Wanita itu berjalan masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu dari dalam.
Jeonghan menghela napas kesal. Sepertinya malam ini ia terpaksa tidur terpisah dari wanitanya itu. Kalau Nari sudah marah besar seperti sekarang, redanya membutuhkan waktu lama.
--
Hm, protektifnya Jeonghan mantap sekali...
Vomment yuk ;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro