Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[JEONGHAN] Happiness over Jealousy 2

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika pasangan itu sampai di rumah mereka. Nari bersenandung kecil ketika memasuki rumah. Ia yang pada awalnya skeptis berpikir bahwa acara malam ini akan sangat membosankan, ternyata salah. Nari tidak menyangka akan bertemu dengan teman seperjuangannya saat di Amerika sana. Bahkan gadis itu tidak tahu bahwa Kyung sudah kembali ke negeri gingseng ini.

Berbanding terbalik dengan sang istri, Jeonghan hanya diam. Suasana hatinya benar-benar buruk malam ini. Biasanya pria itu yang selalu ramai dan jahil jika sudah bersama dengan Nari. Jeonghan bahkan berjalan tak peduli melewati Nari yang terduduk di sofa ruang tengah sedang mengurut betisnya yang lelah akibat memakai heels. Pria itu langsung saja berlalu masuk ke dalam kamar.

Tak lama kemudian Nari ikut masuk ke dalam kamar. Ia melepas jas milik Jeonghan yang tersampir menutupi bahu telanjangnya dan meletakkannya di sandaran kursi. Saat berada di balkon, pria itu memaksa Nari menggunakan jasnya. Padahal Nari tidak kedinginan sama sekali. Namun saat itu Jeonghan sedang tidak dalam mode bisa diajak bernegosiasi, akhirnya Nari menurut saja.

"Ugh, gimana sih ini lepasinnya," gerutu Jeonghan kesal. Tangannya makin menghentak-hentakkan dasi yang tidak kunjung lepas dari lehernya.

Nari bergegas menghampiri Jeonghan. Tangannya menggenggam telapak tangan Jeonghan, berusaha mencegahnya. Pria itu hanya menatap sang istri dengan pandangan datar. Ia membiarkan Nari melakukan pekerjaan kecil itu untuknya.

"Kau bisa melukai diri sendiri," ucap Nari. Tangannya dengan terampil melepaskan dasi dan membuka kancing teratas kemeja Jeonghan.

Pria itu menoleh ke arah lain. Ia malas menanggapi ucapan orang di hadapannya kini. Nari menepuk-nepuk bahu Jeonghan sebelum kembali berlalu menuju meja rias untuk menghapus riasannya malam ini.

Dalam hati Nari tertawa menang. Jeonghan jika kesal memang akan seperti tadi. Making a fuss only by doing such a simple thing. Jangan lupakan rengekan mirip anak TK dari pria itu. Nari sangat menikmati pemandangannya saat ini. Ia bukannya tidak tahu bahwa Jeonghan sedang cemburu dengan Kyung sejak tadi saat acara berlangsung. Jarang-jarang dirinya membuat Jeonghan ngambek karena cemburu. Nari memang terkenal tidak terlalu banyak memiliki teman baik pria.

"Kau sengaja membuatku kesal malam ini ya?" Seru Jeonghan.

Nari memandang manik mata prianya itu dari pantulan cermin. Kemudian tangannya kembali melanjutkan pekerjaan. Ia mengusap kapas yang sudah diberi make up remover ke arah dahi.

"Oh ya?" Nari justru balik bertanya dengan nada kelewat santai. "Memang kau kesal kenapa?"

Jeonghan melenguh. "Pertama, kau tampil sangat menawan. Lain kali gunakan gaun yang lebih tertutup, rambut panjangmu digerai saja, dan tidak perlu pakai make up. Kedua, kau tidak menepati janji untuk pulang cepat. Ketiga, kau terlihat benar-benar bahagia saat bertemu dengan Park Kyung, bahkan aku tidak terlihat dimatamu."

Nari membalikkan tubuhnya hingga ia bisa melihat raut wajah Jeonghan dengan lebih jelas. "Hmmm, okay. Pertama, ini acara formal, Sayang. Dress codenya kan memang berwarna hitam. Aku tidak mungkin berdandan ala kadarnya saat akan bertemu dengan para petinggi penting negara ini. Aku kan pergi ke acara jamuan makan malam, bukan sekadar belanja ke pasar."

Nari berusaha keras menahan tawanya ketika melihat raut wajah Jeonghan makin mendung mendengar alasannya. Ia kemudian melanjutkan. "Kedua, ini termasuk pulang cepat. Acaranya baru akan berakhir tengah malam." Nari berdeham sebelum mengatakan alasan berikutnya. "Ketiga, aku sudah lama sekali tidak bertemu dengan Kyung. Tentu saja aku sangat antusias ketika mengetahuinya sudah kembali ke Seoul."

"Kau terlihat kelewat senang saat bertemu dengannya daripada bertemu denganku hari ini," Jeonghan mendecih. Ia berjalan ke arah kamar mandi. "Aku mandi duluan. Kau mandi saja di kamar mandi luar."

Jeonghan menutup pintu kamar mandi dengan kesal. Bukannya berusaha meredakan amarah Jeonghan, Nari justru malah mengelak dengan pikiran-pikiran logisnya itu. Tentu saja hal itu justru makin membuatnya marah.

Terdengar ketukan pelan di daun pintu dan suara Nari yang memanggil-manggil dari luar. Jeonghan kembali berharap. Mungkin saja Nari baru sadar dan berusaha meminta maaf dengannya. Kalau begitu sekalian saja ia ajak mandi bersama.

Pintu mengayun terbuka. Nari langsung saja masuk dan sibuk mengambil peralatannya. Jeonghan mengernyitkan dahinya tak tahu apa yang sedang dilakukan Nari. Tak lama kemudian gadis itu berjalan melewati Jeonghan begitu saja ke luar.

"Hanya itu saja?" Tanya Jeonghan. Ia masih menunggu permintaan maaf dari istrinya.

Nari menelengkan kepalanya. "Memang apa lagi?" Pandangan mata Nari berubah jadi mengejek. "Kau tidak berpikir yang aneh-aneh kan?" Wanita ia mengedikkan dagunya ke arah tubuh atas Jeonghan yang sudah terekspos dengan seluruh kancing kemeja terbuka.

Wajah Jeonghan memerah. Sebenarnya, niat utamanya hanya mendapat ucapan maaf. Masalah mandi bersama tentu hanya bonus. Tapi Nari ternyata mampu membaca pikirannya.

Nari tertawa kecil. Ia menyampirkan handuk di bahunya. "Aku mandi di kamar mandi luar ya. Aku terlalu lelah untuk menunggumu." Tanpa banyak bicara, gadis itu sudah berlalu keluar kamar.

Kesal karena tidak mendapat yang diinginkannya, Jeonghan kembali menutup pintu kamar mandi dengan keras. Bunyi menggelegar terdengar hingga seluruh penjuru rumah akibat pelampiasan rasa kesal pria itu.

---

Jeonghan membenahi letak kacamata yang merosot hingga ujung hidungnya. Pria itu sudah siap tidur dengan piyama melekat di badan dan selimut tebal yang sudah menutupi sebagian tubuhnya. Sebenarnya badannya sudah sangat lelah dan minta ingin segera tidur. Belum lagi besok pagi ia masih ada pekerjaan. Ia sengaja menunggu Nari yang tak kunjung datang dengan membaca majalah.

Yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Nari berlalu ke kamar mandi untuk mengembalikan barang-barang yang tadi diambilnya. Jeonghan segera menutup dan meletakkan bahan bacaannya di atas nakas. Pria itu menenggelamkan diri dan berbaring ke samping masuk ke dalam selimut. Jeonghan juga mematikan lampu baca. Ia tidak ingin terlihat terlalu menunggu Nari. Ia masih kesal.

Pria itu segera menutup matanya ketika menyadari Nari sudah beranjak naik ke atas kasur. Dari balik punggungnya, ia tahu bahwa istrinya itu bergerak mendekat ke arahnya.

"Jeonghan-ah, aku tahu kau belum tidur," ucap Nari. Gadis itu masih duduk dengan bersandar pada kepala kasur. Sebelah tangannya memainkan rambut Jeonghan pelan.

Jeonghan membenahi posisi tidurnya hingga terlentang. Ia balas menatap Nari yang sedang tersenyum memandanginya. "Aku harus bekerja besok pagi."

Nari menyentil dahi Jeonghan. "Aku juga besok pagi bekerja."

Jeonghan tidak membalas. Ia kembali berguling memunggungi Nari. Akhirnya gadis itu menyerah. Ia masuk ke dalam selimut dan memeluk Jeonghan dari belakang. Jeonghan hanya diam saja. Pokoknya kalau Nari belum minta maaf, ia masih akan bersikap dingin pada istrinya itu.

"Besok jadwalmu sampai jam berapa?" tanya Nari lagi. Jeonghan tidak menjawab. Ia bisa merasakan gadis di belakangnya mendengus kesal karena tidak diperhatikan. "Ya sudah kalau kau tidak mau jawab. Besok aku pergi sendiri saja."

Jeonghan mengernyitkan dahinya. Ia menyerah. Pria itu berbalik badan. "Pergi kemana?"

Nari merasa menang. Ia tersenyum mengejek. "Tidak perlu tahu. Aku bisa pergi sendiri kok."

"Ya!" Pekik Jeonghan kesal. Entah mengapa hari ini Nari sangat menyebalkan. Biasanya Jeonghan selalu menang kalau masalah berbuat jahil.

Nari tertawa renyah. Ia mengulurkan sebelah tangannya untuk menepuk-nepuk pipi Jeonghan. "Memang sudah berapa lama kita tinggal bersama sih?"

Jeonghan mengernyitkan alisnya bingung. Pertanyaan Nari sungguh tidak nyambung dengan kalimat sebelumnya. "Hampir satu tahun pernikahan kita."

Nari mengangguk. "Bahkan aku sudah sangat mengenalmu sebelum itu. Tentu saja aku tahu bagaimana kesalnya kau sepanjang hari ini."

Jeonghan mendengus. Ia kembali memunggungi Nari. Gadisnya itu memang suka bermain-main. Tapi, untuk malam ini Jeonghan sedang tidak ingin menanggapinya.

"Sayang," panggil Nari manja sambil menarik-narik piyama Jeonghan. "Peluk... kalau nggak dipeluk aku nggak bisa tidur malam ini."

"Jangan main-main. Tidurlah," balas Jeonghan. Ingat, Nari belum minta maaf padanya.

"Yang minta dipeluk bukan aku," kata Nari lagi.

Jeonghan kembali membuang napas kesal. Ia akhirnya berbalik dan menatap Nari. Sungguh, ia tidak mengerti sifat Nari malam ini. "Terus siapa? Guling?" Tanya Jeonghan sarkas.

Nari menggeleng. "Baby," Jeonghan masih tidak bereaksi. Nari menggigit bibir bawahnya, bingung bagaimana membuat suaminya itu sadar apa yang sedang berusaha ia sampaikan. "Your baby yang minta dipeluk."

"Kau sedang berusaha merayuku, hm?" tanya Jeonghan sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Bukan bukan," Nari tampak bingung. Ia tidak pernah memanggil dirinya sendiri dengan sebutan imut begitu. Menggelikan. "Maksudku, baby yang disini," ucap Nari sambil mengelus perut datarnya.

Jeonghan melihat mata Nari dan perut gadis itu secara bergantian dengan tatapan mata datar. Lima detik kemudian kedua bola matanya melebar. Ia baru menyadari sesuatu.

"Kau...," Jeonghan tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia menutup mulutnya yang terbuka dengan sebelah tangan. Pria itu terduduk, dengan gemas ia mengacak-acak rambutnya sendiri.

Nari tersenyum. Ia juga ikut kembali duduk dan bersandar di kepala dipan. Gadis itu menikmati pemandangan suaminya yang tidak bisa berkata-kata saking senangnya.

"Sejak kapan?" Jeonghan akhirnya bertanya. Tangannya terulur untuk mengelus perut Nari yang masih rata.

"Aku baru mengeceknya setelah tadi siang pulang dari mengunjungimu bekerja. Aku sadar sudah hampir sebulan aku tidak datang bulan. Akhirnya dalam perjalanan pulang aku beli test pack," terang Nari.

Jeonghan kini berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. "Harusnya kau segera memberitahuku," seru Jeonghan lagi. "Aku akan menjadi ayah!"

Nari tertawa kecil melihat reaksi berlebihan Jeonghan. Bahkan sikap dingin dan ngambek pria itu hilang entah kemana.

Langkah Jeonghan berhenti. Ia menjentikkan jarinya, khas ketika ia teringat sesuatu. "Ayo kita ke rumah sakit sekarang!"

"Ya ampun, sayang!" Pekik Nari. Jeonghan berhenti menarik tangan istrinya agar bangun dari kasur. "Ini sudah malam. Besok pagi saja aku ke rumah sakit. Lagipula tidak ada masalah denganku kan malam ini."

Jeonghan terduduk di samping kasur. "Ah, pantas saja tadi kau menanyakan jadwalku besok."

Nari mengangguk. "Jadi, kau ada waktu kan?"

"Mungkin pukul tiga siang aku baru selesai," Jeonghan bergerak meraih ponselnya untuk melihat jadwal. "Sehabis dari syuting, aku akan langsung menjemputmu di kantor. Kita pergi bersama ke rumah sakit."

Nari menurut. Ia mengangguk saja mendengar ultimatum sang suami.

"Besok pagi, kau berangkat naik taksi. Tidak boleh menyetir. Tidak boleh terlambat makan. Jangan minum kopi atau alkohol, sebagai gantinya kau harus minum susu tiga hari sekali," Jeonghan kembali berdiri dari duduknya. "Aku harus ke minimarket untuk beli susu ibu hamil!"

"Yoon Jeonghan!" Panggil Nari gemas. Ia memijit pelipisnya yang pening melihat suaminya yang sangat ribut. "Ini sudah malam. Besok saja perginya."

Melihat Nari begitu, Jeonghan segera menghampiri gadisnya. "Ada apa? Kau pusing? Mau ke rumah sakit sekarang saja?"

"Kau iniiii...," seru Nari gemas. "Bahkan kau lebih rewel dari bayinya. Kau yang membuatku pusing, Yoon Jeonghan."

Jeonghan terkekeh. Tangannya terulur menggenggam sebelah tangan Nari. "Maaf, aku terlalu senang sekaligus bingung mengetahui bahwa sekarang kita sudah tidak berdua saja."

Nari maklum. Ia tersenyum manis berusaha menenangkan calon ayah dari bayi yang dikandungnya. "Malam ini kita istirahat saja. Aku sudah lelah."

Jeonghan mengangguk. "Tentu saja kau lelah. Kau baru pulang dari Beijing dan langsung menghadiri acara konyol itu. Belum lagi kau memakai gaun terbuka dan mengenakan heels. Ah... aku jadi khawatir. Apa kau benar baik-baik saja malam ini mengingat kegiatanmu seharian ini sangat melelahkan?"

"I am fine, honey," ucap Nari berusaha meyakinkan Jeonghan. "Aku hanya butuh tidur."

"Okay okay, kita tidur sekarang," Jeonghan kembali masuk ke dalam selimut. Ia menarik tubuh Nari pelan agar mendekat ke arahnya. "Aku akan memelukmu sampai besok pagi." Belum sampai lima detik, Jeonghan langsung mengangkat sebelah tangannya yang melingkar di perut Nari. "Ah aku takut menyakiti bayi kecil kita. Sebaiknya bagaimana aku harus memelukmu?"

"Peluk saja seperti biasa. Asal jangan menekan perutku," balas Nari. Jeonghan mengangguk paham.

Kini keduanya berbaring saling berhadapan. Tangan Nari sibuk bermain di dada Jeonghan, ia menulis pola lingkaran disana. Pikiran Jeonghan sendiri sedang tidak pada tempatnya. Ia tampak sangat berhati-hati untuk menyentuh istrinya.

"Hm, maafkan aku. Seharian ini sudah membuatmu kesal dan cemburu," ucap Nari pada akhirnya.

Jeonghan kembali ditarik pada realita. Ia bahkan sudah lupa kalau dirinya sedang perang dingin dengan Nari. Ia mengusap puncak kepala istrinya pelan dan menciumnya lama.

"Maafkan aku juga yang bersikap kekanakan," kata Jeonghan akhirnya. "Terima kasih karena sudah membawa kabar baik untuk mengakhiri hari ini."

Nari tertawa geli. "Aku sempat berpikir kalau aku tidak mengatakannya sekarang, sepertinya besok pagi aku tidak akan melihatmu lagi karena kau akan kabur dari rumah terlebih dahulu."

"Woah, woah, tebakanmu benar sekali," Jeonghan terpana dengan kemampuan membaca pikiran istrinya. "Tapi karena sekarang ada baby, rasanya aku jadi tidak mau bekerja. Aku khawatir akan terjadi hal aneh-aneh jika meninggalkanmu sebentar saja."

Nari memukul dada Jeonghan pelan. "Aku ini hamil, bukan sakit."

"Iya, iya," Jeonghan tertawa. "Aku benar-benar bersyukur, akhirnya setelah satu tahun menunggu, kita dapat juga." Nari mengangguk menyetujuinya. "Ah, pokoknya besok harus ke rumah sakit ya. Kita harus memastikan kesehatan si baby."

Nari mengangguk. "Jadi, kau tidak ngambek lagi kan?"

Jeonghan mengernyitkan dahinya. "Kau ini ingin sekali melihatku ngambek ya?" Jeonghan menyentil dahi Nari pelan. "Tidak kok. Lagipula aku tidak mau menambah beban pikiranmu dan membuat lelah. Tapi kalau kau sampai membuat kesalahan yang sama, bisa kupastikan bahwa aku bukan ngambek lagi. Aku akan mengamuk."

Nari tertawa. Ia mengusap ujung hidungnya ke dada Jeonghan. "Terima kasih sayang," ucapnya lirih.

Jeonghan mengusap pelan rambut Nari. "Ayo tidur. Besok banyak hal yang harus kita urus. Jangan lupa mengabari papa mama juga eomma dan appa."

Nari menurut. Ia menarik selimut hingga menutupi dagunya. Jeonghan mengusap punggung Nari hingga keduanya jatuh ke alam mimpi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro