[Jeonghan] After Wedding 2
Nari buru-buru menghabiskan croissant di piringnya. Jeonghan yang duduk di hadapannya memandang heran.
"Pelan-pelan saja, kita tidak akan ketinggalan pesawat," seru Jeonghan mengingatkan. Ia menyesap ice americanonya dengan santai.
Dengan susah payah Nari berusaha menelan kunyahan di mulutnya. "Ponselku ketinggalan di meja rias," seru Nari panik.
"Apa?! Kau tidak mengeceknya dulu sebelum keluar?" Kali ini Jeonghan ikut terkejut.
"Ini salahmu. Kau menyuruhku untuk buru-buru karena tidak bisa menahan lapar," gerutu Nari. Gadis itu sudah akan berdiri meninggalkan makanannya yang belum habis.
Jeonghan menangkap pergelangan tangan Nari, mencegah gadis itu pergi. Ia sendiri beranjak akan pergi menggantikan istrinya.
"Arra, arra," ucap Jeonghan mengalah. "Kau yakin ada di atas meja rias kan? Biar aku yang ambilkan, kau tunggu saja disini dan habiskan makananmu."
Nari mengangguk patuh. Ia menghabiskan makanannya sesuai dengan yang diperintahkan Jeonghan. Di sisi lain, suaminya itu berlari kecil menuju rumah mereka yang terletak sekitar 15 meter jauhnya dari sana. Jeonghan sedikit mengutuki kebiasaan ceroboh Nari yang tidak pernah bisa hilang.
Lima belas menit kemudian, Jeonghan sudah kembali. Ia membuka pintu cafe dengan napas terengah-engah. Hanya Nari yang bisa membuatnya mau bercapai-capai ria lari kembali ke rumah untuk mengatasi kecerobohan istrinya itu. Selama ini hidup Jeonghan tidak pernah terlalu repot. Terlebih lagi jika sedang di dorm. Ia akan menghemat tenaganya sebaik mungkin.
Nari tampak riang bercanda dengan anak kecil pegawai cafe. Walaupun baru beberapa hari tinggal di lingkungan sana, gadis itu mampu menyesuaikan diri dengan cepat. Lihat saja, saking fokusnya bercanda dengan anak kecil di pangkuannya, ia tidak menyadari kehadiran Jeonghan disana.
Jeonghan meletakkan ponsel Nari di atas meja. Pria itu menarik gelas ice americano dan meneguk isinya untuk menghilangkan lelah.
"Terima kasih," ucap Nari pada Jeonghan. Ia kemudian sibuk menyendokkan bubur bayi ke dalam anak yang bermain di pangkuannya.
"Anak siapa?" tanya Jeonghan. "Kau selalu suka mengasuh bayi di mana pun ya?"
Nari melirik Jeonghan tajam. Ia kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. "Aku hanya membantu pekerjaan Seojun Oppa."
"Seojun oppa?" dahi Jeonghan mengernyit nama yang disebutkan Nari.
Nari mengedikkan dagunya pada barista yang sibuk membuat pesanan di balik meja kasir. "Kau lihat sendiri suasana disini sedang ramai. Kemudian Soonhye bangun dan kelaparan. Karena aku tidak tega melihatnya terus menangis karena menahan lapar, jadi aku saja mengasuhnya selama kau pergi."
"Dimana ibunya?" tanya Jeonghan lagi menyelidik.
"Sedang kembali ke rumah mengambil peralatan Soonhye, sebentar lagi juga kembali," jawab Nari acuh.
Jeonghan hanya diam. Ia mengedarkan pandangannya ke arah pemandangan jalan raya di luar jendela. Mengetahui suasana hati suaminya berubah, Nari memutar akal. Ia meletakkan mangkuk bubur Soonhye yang isinya sudah ke kosong di atas meja dan membiarkan bayi berumur satu tahun itu bermain dengan sendok di tangannya.
"Aigoo, jadi sekarang selain cemburu dengan pria, kau juga cemburu dengan anak kecil?" goda Nari.
Jeonghan menggeleng. Ia malu mengakui. "Tidak kok. Lakukan saja sesukamu." Jeonghan mengedikkan dagunya ke arah cangkir Nari yang masih terisi setengahnya. "Cepat habiskan cokelat panasmu. Kalau sudah selesai kita segera ke bandara."
Nari menurut. Ia menghabiskan isi cangkirnya dengan beberapa teguk. Gadis itu berdiri dan kembali menyerahkan bayi dalam gendongannya ketika sang ibu sudah kembali. Nari menyapa keluarga kecil itu dan berpamitan. Sebelah tangannya menggandeng lengan Jeonghan yang siap menarik koper besar milik mereka berdua.
Nari berdiri dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku coatnya. Udara awal musim gugur menyapanya, mengantarkan aroma daun yang sudah layu ke indra penciumannya. Nari menarik napas dalam-dalam. Ia senang karena sebentar lagi dapat menikmati keindahan alam bersama dengan pria di sebelahnya.
"Jangan senang dulu, aku masih marah padamu," suara Jeonghan menarik perhatian Nari.
"Aku ada salah?" tanya Nari tak mengerti.
Jeonghan mengangguk. Ia mencubit ujung hidung Nari dan menyentil dahinya pelan. "Kau membuatku cemburu. Tidak hanya karena pria. Bayi, pekerjaan, ponsel, semuanya. Aku mau kau lebih memperhatikanku."
Nari tertawa pelan. Ia mengetatkan rangkulannya pada lengan Jeonghan. "Lucunyaaa."
"Aku tidak mau dianggap lucu," balas Jeonghan kesal. Ia menghentikan langkah kakinya secara tiba-tiba. Otomatis, Nari juga berhenti.
Nari melihat raut wajah Jeonghan yang terlihat kesal. Sebenarnya apa sih ada dipikiran cowok itu. Hari ini ia jadi terlihat sangat sensitif.
Nari melepaskan genggaman tangannya pada lengan Jeonghan. Ia berjalan dan berjinjit di hadapan pria jangkung itu. Dengan kedua tangannya ia menangkup kedua pipi tirus Jeonghan, memaksa pria itu agar menatap kedua matanya. Dengan gerakan cepat, Nari mendapatkan kecupan ringan di bibir Jeonghan. Ia kemudian tersenyum ketika mendapati pria di hadapannya hanya mampu diam mematung.
"Okay, selama bulan madu ini aku akan ekstra memperhatikanmu. Jangan marah lagi, okay?" Jeonghan hanya bisa terdiam. Jarang sekali Nari berinisiatif melakukan hal manis seperti tadi.
Nari menoleh ke arah lain. Ia melambaikan tangannya untuk menyetop sebuh taksi kosong yang lewat.
"Kajja, taksinya sudah datang."
---
Kedua pasangan pengantin baru itu telah tiba di vila yang mereka sewa dari jauh hari. Nari langsung bergegas ke balkon lantai dua yang mengarah ke pantai. Walaupun udara dingin merasuki pori-porinya, ia tetap senang menghabiskan waktu di alam terbuka.
Jeonghan mengikuti langkah kaki gadisnya tanpa terburu-buru. Setelah selesai meletakkan koper milik mereka berdua di kamar, ia menyusul Nari yang sudah sibuk mengabadikan pemandangan di hadapannya dengan kamera ponsel.
"Kau suka?" tanya Jeonghan. Ia bersandar di ambang pintu.
Nari menoleh ke arah sumber suara. Gadis itu mengangguk dan tersenyum lebar. "Sangat suka. Kau memang sangat mengerti seleraku, Jeonghan-ah."
Jeonghan terkekeh pelan. Ia berjalan menghampiri istrinya dan memeluk tubuh harumnya dari belakang. "Aku juga suka. Suka kamu."
Nari memutar kedua bola matanya jengah. Mulai deh, kebiasaan gombal pria ini. Nari berpura-pura tidak mendengarkan dan tetap asyik menikmati keindahan pemandangan di hadapannya. Sayup-sayup ia mendengar suara ombak di kejauhan. Sungguh, perjalanan kali ini benar-benar healing baginya.
Berbanding terbalik dengan Nari yang sangat menikmati suasana alam sore hari disini. Jeonghan sangat menikmati aroma Nari yang sangat memabukkan baginya. Lihat saja. Ia sudah menenggelamkan wajahnya di ceruk leher gadis itu. Pria itu terlihat sangat menikmati aroma sampo yang digunakan oleh istrinya.
"Jeonghan-ah, lihat. Matahari sudah hampir tenggelam," panggil Nari sambil mengelus pelan lengan Jeonghan yang melingkar di perutnya.
Jeonghan mengangkat wajahnya. Semburat jingga sore itu menerangi keduanya, membentuk bayangan siluet pasangan manis di lantai beranda. Baik Jeonghan maupun Nari menikmati pemandangan matahari senja dalam diam.
Jeonghan mencium pipi kanan Nari dan melepaskan pelukannya. "Masuk yuk, sudah gelap. Udara juga makin dingin."
Nari mengangguk. Ia menurut saja ketika sebelah tangannya ditarik lembut oleh Jeonghan untuk masuk ke dalam rumah.
Nari menghempaskan badannya yang lelah di sofa kamar yang menyambung dengan beranda. Ia mengamati punggung Jeonghan yang tampak sibuk mengunci pintu dan menyalakan lampu kamar.
"Kau tidak mau mandi dulu?" tanya Jeonghan lembut pada Nari.
Nari menggeleng. "Kau duluan saja. Aku mau istirahat sebentar."
Jeonghan mengusap puncak kepala Nari pelan dan berlalu membuka koper. Ia mengeluarkan sepasang pakaian santai dari dalam sana. Tak lama kemudian ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan badannya yang sudah lengket.
Nari menguap lebar. Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa. Matanya berat. Tak lama kemudian ia sudah jatuh tertidur.
Lima belas menit kemudian, Jeonghan keluar dari kamar mandi masih dengan rambut basah. Ia terkejut ketika mendapati Nari yang tertidur lelap di atas sofa. Dasar, kalau memang mau tidur kenapa tidak langsung di kasur saja sih. Jeonghan berjalan menghampiri Nari. Ia kemudian duduk di lantai. Dalam diam ia memandangi wajah gadis itu yang terlelap dalam damai.
Jeonghan menepuk-nepuk pipi Nari pelan. "Nari-ya, bangun. Mandi dulu sebelum tidur."
"Hmm," Nari mengucek matanya dengan sebelah tangan. "Kau sudah selesai?"
Jeonghan mengangguk. Pria itu meraih ponselnya dari atas meja dan duduk di pinggir kasur. "Sambil menunggu kau mandi, sebaiknya aku pesan makan dulu. Kau mau makan apa?"
Nari meregangkan tubuhnya. Dengan langkah lunglai ia berjalan masuk ke kamar mandi dengan handuk bersih yang sudah disiapkan Jeonghan sebelumnya di tangan kiri.
"Biar aku saja yang nanti masak. Tadi kita kan sudah beli banyak bahan makanan untuk barbeque," sahut Nari.
"Jangan. Kau sudah lelah seperti itu," sahut Jeonghan dengan tegas melarang. "Sehabis makan, pokoknya kau harus menepati janjimu tadi. Kalau tidak aku ngambek."
Nari bergidik nyeri. Ia teringat janjinya pada Jeonghan untuk menuruti kemauan pria itu karena sempat ngambek iri dengan anak kecil sebelum berangkat ke bandara. Dan... yah, pasti kalian tahu apa permintaan Jeonghan itu. Nari saja sampai menyesal dan ingin menarik ucapannya tadi. Tapi ia sudah kepalang basah. Jika Nari menolak, maka mood Jeonghan akan kembali memburuk. Bisa-bisa honey moon mereka jadi tidak berkesan sama sekali.
"Kalau begitu aku mau ayam goreng saja," ucap Nari sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi.
Jeonghan mengangguk-angguk senang. Dengan senyum tipis di wajahnya, pria itu men-scroll delivery service ayam terdekat di villanya. Pria itu melonjak kegirangan ketika menemukan menu yang dicari. Dengan cepat, jarinya menekan pilihan menu yang diinginkan oleh sang istri.
Sebenarnya Jeonghan bukan senang karena berhasil menemukan restoran ayam goreng yang enak. Bayangannya sudah jauh kedepan. Jeonghan membayangkan setelah makan malam maka ia bisa kembali menguasai Nari lagi dalam dekapannya. Menghabiskan semalam bermain dengan istrinya itu tidak membuatnya lekas puas. Hal itu justru makin membuatnya menginginkan lagi.
"Aahh!"
Jeonghan bangkit dari duduknya. Ia buru-buru menghampiri pintu kamar mandi tempat Nari berada. Ia mengetuk-etuknya dengan panik.
"Nari! Buka pintunya! Ada apa?! Nari!"
Nari membuka pintu dengan pelan. Jeonghan otomatis menghentikan kegiatannya. Bisa salah sasaran jadi memukul kepala Nari kalau ia teruskan. Pria itu hanya bisa bengong mengikuti langkah cepat Nari yang keluar hanya dengan mengenakan bathrobe. Entah apa yang diambil gadis itu dari dalam koper, namun dengan segera Nari kembali masuk ke kamar mandi tanpa mempedulikan Jeonghan yang terheran-heran.
Jeonghan menunggu dengan duduk di pinggir kasur. Kekhawatirannya masih belum bisa berkurang. Ia menunggu hingga Nari keluar dari kamar mandi dengan harap-harap cemas. Jujur saja, entah mengapa firasatnya mengatakan ada hal buruk yang akan terjadi.
Tak lama kemudian, Nari muncul. Ia sudah berpakaian lengkap. Raut wajahnya tampak tidak enak. Jeonghan berjalan menghampiri gadis itu dengan hati-hati.
"Nari-ya, ada apa?" tanya Jeonghan lembut.
Nari melirik ke arah Jeonghan. Bibirnya mengerucut lucu. Jeonghan jadi gemas sendiri ingin mencium bibir itu. Namun, ia berhasil menahan. Bisa-bisa Nari ngambek kalau dirinya berbuat semau diri ketika moodnya sedang jelek seperti sekarang.
Jeonghan mengekori Nari yang sudah duduk di pinggir tempat tidur. Pria itu hanya duduk diam saja di sebelah Nari. Ia ingat terakhir kali gadi situ ngambek, susah sekali untuk menjinakkannya kembali. Jadi, kali ini Jeonghan sebisa mungkin memperhitungkan segala tindak-tanduknya.
Nari tiba-tiba menangis keras. Jeonghan sampai kaget dibuatnya. Kenapa mood istrinya ini sangat labil sih hari ini. Tiba-tiba bersikap manis, terus sekarang menangis tanpa alasan. Jeonghan menarik Nari masuk ke dalam pelukannya. Ia mengelus rambut gadis itu pelan walaupun tidak tahu apa yang menyebabkannya nangis bombay seperti sekarang.
"Cup cup cup, ada apa sayang?" tanya Jeonghan lembut.
"Sakit," ucap Nari di sela-sela isakannya.
"Mana yang sakit?" tanya Jeonghan dengan wajah khawatir sambil merenggangkan pelukannya.
"Perut," jawab Nari singkat. Air mata masih mengalir deras dari kedua matanya.
Jeonghan mengernyitkan dahinya. Perasaan hari ini gadis itu tidak terlambat makan sama sekali. Ia pun tidak makan hal aneh yang bisa membuatnya sakit perut. Atau jangan-jangan akibat dari permainan mereka semalam? Tapi kalau iya seharusnya Nari sudah kesakitan dari tadi pagi kan?
Pria itu mengusap-usap perut datar Nari. Jeonghan sampai bingung dibuatnya. Tumben sekali Nari menangis seperti anak kecil begini.
"Udah enakan?" pertanyaan Jeonghan dijawab dengan anggukan Nari. "Kok perutnya bisa sakit?"
Nari mengangkat wajahnya takut-takut. Ia sudah berhenti menangis. Namun masih ada jejak-jejak air mata di kedua pipinya. "Sakit datang bulan."
Jeonghan menghembuskan napas lega. Ia kira sakit karena apaan, ternyata cuma karena datang bulan. Hal itu juga menjelaskan tentang perubahan sikap gadis di hadapannya ini. Eh, tunggu dulu. Tadi Nari bilang ia datang bulan?
"Apa?!" pekik Jeonghan.
Jeonghan menghempaskan tubuhnya ke belakang. Seperti anak kecil, ia menjejakkan kakinya kuat-kuat di udara. Argh, kenapa Nari harus datang bulan sekarang?! Jeonghan hanya bisa berteriak kesal dalam hati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro