Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17, Josh

Joshua melepas jasnya dan menggulung lengan kemeja hingga sebatas siku. Pria itu mengambil sekaleng minuman bersoda dari tas belanja di kursi belakang dan keluar dari mobilnya. Ia menuju salah satu bangku taman yang langsung menghadap ke sungai Han.

Sepulang dari acara pernikahan Baekyung, Joshua tidak langsung menuju kediamannya. Ia sedang tidak ingin berada di sana. Apartemen adalah tempat yang mengingatkannya pada Victoria. Joshua pun tidak yakin akan bisa langsung jatuh tertidur. Salah-salah, ia justru akan terjaga sepanjang malam dan membayangkan Victoria berada di tiap sudut rumahnya. Seperti dulu.

"Sudah hampir satu tahun berpisah kenapa aku tidak bisa melupakannya," erang Joshua pada diri sendiri. Ia menyesap air soda dan memandang kejauhan ke depan. "Aku benar-benar payah."

--

Aku kembali ke rumah setelah tiga hari tidak pulang. Tiga hari pula aku menggelandang tidur di kantor, rumah Hyesung-Jihoon, dan di kediaman Nari-Jeonghan. Aku sengaja tidak membuka semua pesan singkat Victoria. Baru siang tadi aku melihatnya dan tahu bahwa gadis itu memilih pulang kembali ke New York sehari yang lalu.

Ya, dia menungguku kembalil, namun aku mengabaikannya. Hingga mungkin ia sadar bahwa aku tidak akan pulang jika dirinya masih tetap berada di apartemenku. Victoria menyerah dan pergi.

Suasana apartemen tampak sepi dan dingin. Aku masuk sembari menyeret langkah. Hal pertama yang kulakukan adalah menyusuri semua ruangan. Benar saja, tidak ada Victoria, tidak ada kopernya. Aku bergerak cepat menuju lemari baju. Hatiku mencelos ketika tidak ada satupun baju miliknya yang tergantung disana. Kepalaku menoleh cepat ke atas meja rias. Kosong. Tidak ada peralatan wanita satu pun.

Haha, benar-benar. Aku bahkan belum menandatangi surat cerai sesuai keinginannya, namun wanita itu sudah mengemasi seluruh barang dari rumahku. Mengesalkan.

Aku duduk di pinggir tempat tidur. Sembari menenggelamkan wajah di telapak tangan, aku berusaha mengatur napasku. Selama tiga hari ini aku sudah berpikir dengan otak jernih. Jangan sampai aku kehilangan kendali lagi.

Ekor mataku menangkap sesuatu yang diletakkan di meja nakas samping tempat tidur. Tanganku meraih folder plastik berisi dokumen-dokumen perceraian yang telah disiapkan Victoria tempo hari. Senyum miris tersungging di bibirku. Victoria memang serius ingin bercerai dariku ternyata, dilihat bagaimana sempurnanya ia menyusun semua kertas-kertas ini. Bahkan ia sudah menandatanginya.

Aku meraih ponsel dari saku celana. Kucari nomor telepon Victoria. Hanya tinggal menekan tombol hijau, aku kembali bimbang. Apakah keputusan yang akan kuambil sudah benar?

Kepalaku menggeleng. Sudah tiga hari aku 'bertapa', aku tidak boleh goyah hanya karena pikiran egoisku. Tombol hijau sudah kutekan, ponsel kutempelkan di telinga. Dengan harap-harap cemas, aku menunggu hingga panggilanku dijawab oleh Victoria.

"Halo," sapaku. Ah, sial. Kenapa tenggorokanku menjadi tercekat seperti ini ketika mendengar sapaan darinya.

"Kau sudah pulang? Kau baik-baik saja di luar sana?"

Tanganku mengepal. Jangan menanyakan hal itu seperti tidak terjadi apa-apa. Jangan perhatian padaku jika akhirnya kita akan berpisah. Aku takut tidak bisa melepaskanmu, Vic. Batinku dalam hati.

"Yeah," ucapku terdengar tidak peduli. "Aku cukup baik untuk mengatasi hal ini."

"Syukurlah," ucapnya di seberang sambil menghela napas. Aku tahu dia sangat mengkhawatirkan kondisiku.

"Victoria," panggilku. Tidak ada jawaban dari sana, namun aku yakin dia masih mendengarkanku. "Tolong luangkan waktu untuk akhir bulan depan."

"Ada apa?" tanyanya tak mengerti.

"Kita butuh jalan-jalan bersama. Tiga bulan yang lalu kau melupakan perayaan hari jadi pernikahan kedua tahun kita. Aku sudah menyiapkan rencana honeymoon kedua saat itu," ucapku.

Victoria berdeham kecil. "Ya, aku tahu dari surat yang kau buat. Selain menonton teater bersama kau sudah menyiapkan hotel untuk menginap di sebuah private island di akhir minggu," katanya. "But, it has nothing to do with us right now. Kita tidak butuh jalan-jalan bersama."

"Paris tempat yang cukup romantis," ucapku bebal tak menerima penolakannya.

"Josh, kau jangan bercanda. Aku akan menganggap pembicaraan ini tidak pernah terjadi," kudengar suara putus asa Victoria dari sana. Ia terdengar siap memutus sambungan telepon kapanpun ia mau.

"Bisakah kau mengabulkan permintaan terakhirku?" tidak terdengar jawaban darinya, namun telingaku cukup baik untuk mengdengar suara tercekat menahan napas khas seorang Victoria jika sedang terkejut. "Kalau kau bersedia, aku juga akan mengabulkan permintaanmu."

Pandangan mataku terarah pada dokumen surat cerai kami. "I promise you. Aku akan menandatanginya."

--

Aku berdiri memandangi menara Eiffel dari balkon kamar. Langit sudah mulai berubah menjadi lebih kelabu. Sebentar lagi malam akan menjelang.

Aku melirik layar ponsel. Tidak ada pesan dari Victoria. Seharusnya pesawat yang membawanya ke Paris dari New York sudah tiba disini sejak dua jam yang lalu. Dihitung dengan waktu perjalanan darat dari bandara menuju hotel yang kupesan, seharusnya wanita itu sudah berada disisiku.

Pandanganku memudar. Tanganku menutup kedua mata. Jangan menangis. Aku mati-matian menyemangati diri sendiri.

Di otakku ada dua kemungkinan yang dipikirkan Victoria jika dia memilih tidak datang. Yang pertama, dia memang tidak datang karena tidak ingin perceraian kami terjadi. Yang kedua, dia menganggap ide 'honeymoon' ini terlalu aneh dan menghilang selamanya dari kehidupanku.

Bel kamar berbunyi. Aku mengangkat kepala dan memandang ke arah pintu. Apakah itu dia?

Aku berjalan melintasi kamar dengan langkah lebar. Hatiku berdetak tak karuan. Antara mengharapkan kedatangannya atau tidak.

"Hi!" sapa Victoria sambil melambaikan sebelah tangannya padaku. "Uhm, aku tidak tahu bagaimana cara membeli tiket subway disini karena semuanya tertulis dalam bahasa Prancis. So, it takes longer."

Aku menggeser tubuh dari depan pintu. "Masuklah, kau pasti lelah dengan perjalanan jauh ini."

Victoria menarik kopernya masuk. Ya, aku hanya memesan satu kamar untuk dipakai bersama. Bagaimanapun juga aku dan dia masih berstatus suami-istri. Ingat, ini perjalanan honeymoon kedua kami.

"Tidak terlalu melelahkan, aku sudah sering melakukan perjalan bolak-balik Amerika-Korea Selatan selama dua tahun belakangan ini," Victoria membalikkan tubuhnya hingga menatapku. Aku terpaku melihat senyuman manis yang ia tunjukkan. Wanita ini bersikap santai dan tidak bertingkah canggung sedikitpun.

"Kau masih bisa tersenyum," ucapku lirih. Sebenarnya aku cukup takjub dengan dirinya. Sedari awal aku mengutarakan perasaan hingga saat ini, Victoria selalu bisa mengatur raut wajahnya sedemikian rupa hingga selalu terlihat tenang. Pantas saja aku tidak sadar bahwa wanitaku ini sangat tersakiti dengan perlakuan keluargaku terhadapnya.

Victoria mengangkat kedua bahu. "Ini honeymoon kita. Aku ingin memenuhi keinginanmu, Josh," sahutnya. "Kita harus menggunakan waktu yang ada dengan baik. Untuk saat ini, lupakan semua masalah yang ada dan kita nikmati liburan ini."

--

Tiga malam yang menyenangkan kuhabiskan bersama Victoria. Canda tawa tidak lepas dari kegiatan kami, sekecil apapun itu. Kami saling bercumbu, entah di dalam kamar atau di tempat umum. Rasanya benar-benar bebas serasa dunia hanya milik berdua. Seperti honeymoon sesungguhnya.

Aku berdiri di balkon menikmati pemandangan pagi yang masih sepi. Eiffel tower yang menakjubkan. Tidak ada habisnya aku mengagumi bangunan tinggi itu. Ikon romantisme yang diagung-agungkan banyak orang dari berbagai belahan dunia. Konon katanya, jika pasangan melakukan ciuman di bawah sana, cintanya akan abadi dan mereka akan hidup bersama dalam waktu yang lama.

Frustasi dengan pernikahanku yang berada di ujung tanduk, dari hari pertama hingga kemarin aku selalu mengajak Victoria untuk kesana. Aku menciumnya dengan sepenuh hati. Victoria membalasnya, tanpa tahu bagaimana hatiku berteriak menyuarakan keinginan terpendamku.

"Kau sudah bangun?"

Aku menoleh ke belakang. Wanitaku berdiri di pintu dengan gaun tidur berwarna putih kesayangannya. Kulihat Victoria sedang mengucek mata. Rambut pirang pendeknya berantakan habis bangun tidur. Aku tersenyum sedih melihatnya, sadar bahwa pemandangan ini tidak akan bisa aku lihat lagi.

"Aku bahkan sudah mandi," jawabku sambil terkekeh kecil.

"Jinjja?" Victoria terpekik kaget. Wanita ini sudah lebih percaya diri bicara dengan bahasa Korea rupanya. "Ah, kalau begitu aku juga harus segera mandi dan bersiap-siap."

"Ya, sebelum kau ketinggalan penerbanganmu siang ini," ucapku sambil mengejeknya.

"Tidak akan terjadi," balasnya sambil meleletkan lidah ke arahku. Sikapnya sukses membuatku tertawa lebar. Victoria ikut tertawa kecil. Wanita itu kemudian pergi kembali ke dalam kamar dan menghampiri koper miliknya di sudut ruangan. Aku berjalan mengekor.

"Honey," panggilku saat Victoria sedang sibuk memilih baju yang akan ia kenakan dari dalam koper. "Ah, maaf, maksudku, Vic."

Tangannya terhenti di udara. Sepertinya ia sadar bahwa permainan kami sudah berakhir. Sedari kemarin aku selalu memanggilnya dengan panggilan manis seperti biasa. Namun, pagi ini aku sudah menguatkan diri sendiri untuk kembali pada kenyataan. Kita akan berpisah. Aku tidak ingin membohongi diri sendiri.

"Ya?" Victoria berdiri dari posisi jongkoknya. Ia masih memunggungiku. Tangannya memeluk kuat-kuat setelan yang ia pilih untuk hari ini.

Aku berjalan mendekat. Dengan lembut, kubalikkan badannya hingga menghadap ke arahku. Victoria mengangkat wajahnya. Ia menunjukkan senyuman sedih padaku.

Aku balas tersenyum. Sayangnya, perbuatanku ini justru mengundang air mata untuk menggenang di pelupuk mata. Aku terpaksa membalikkan tubuh memunggungi Victoria untuk menghentikan agar tangisku tidak pecah detik ini juga.

"Oh my God!" erangku. "Kau tidak cengeng, Joshua," ucapku pada diri sendiri.

Aku kembali menghadap ke arah Victoria. Wanitaku ini tetap menunggu dengan sabar.

"Aku sudah menandatanginya," ucapku tak ingin memperjelas hal apa yang sudah kutandatangani. Namun, sudah pasti Victoria tahu. "Kuletakkan di dalam tasmu," ucapku sambil memandang ke arah ranselnya berada.

Victoria mengangguk. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan tangis. "Thank you, Josh."

Aku mengambil pakaian dari dekapannya dan melemparnya ke atas ranjang. Kuraih kedua tangan Victoria dan membawanya lebih dekat dengan tubuhku. Dia membalas tatapanku, aku tersenyum melihat keberaniannya.

"Kau sudah melakukan yang terbaik, Victoria," ucapku. "Kau pantas bahagia."

Victoria menggeleng kecil, ia menunduk. Kali ini ia tidak kuasa menahan isakannya. Bahunya bergetar. Aku merasa sama sakitnya dengan dia, namun kali ini aku harus tegar. Victoria sudah cukup tangguh untuk menghadapi semua rasa sakitnya selama dua tahun ini.

"Terima kasih sudah memberiku banyak pelajaran hidup," ucapku tulus. "Aku bersyukur telah mengenalmu. Aku akan tetap memilihmu jika aku diberi kesempatan lagi."

Tangis Victoria makin deras. Napasnya jadi tersengal-sengal.

"Look at me," perintahku. Victoria menurut. Hatiku patah ketika melihat linangan air matanya. "It just the beginning. Pernikahan adalah awal dari kehidupan yang baru, namun bukan berarti perpisahan akhir dari segalanya. Kau harus memulai kehidupanmu yang baru dengan lebih baik."

"Josh, I am sorry," ucapnya disela tangis.

"Don't say sorry," aku menunduk, membuat dahiku dan dahinya saling bertemu. "I want to hear it for the last time. Say, I love you."

Victoria berusaha keras mengendalikan tangisnya. Ia berhasil. Kini dirinya menjadi lebih tenang, walaupun air matanya tetap saja masih mengalir di kedua pipinya yang halus.

"I love you, Josh. I love you," ucapnya. Ia menempelkan bibirnya pada bibirku.

Tanganku bergerak cepat meraih kepalanya. Aku tidak ingin semuanya berakhir. Kulumat bibir manisnya yang penuh candu bagiku. Ia membalas. Ciuman kami meninggalkan kesan mendalam.

"I love you," lirihku. Aku memeluknya erat, pelukan perpisahan.

--

Joshua terkejut ketika merasakan pipinya basah. Tangannya mengusap pipi secara perlahan. Ia mendengus geli.

"Bahkan Victoria masih bisa membuatku menangis walaupun tidak ada di depanku," Joshua tertawa kecil. Beberapa orang memandanginya dengan tatapan aneh. Namun Joshua tidak peduli. Ia kembali menyesap minuman bersodanya yang tinggal tersisa sedikit.

Ponselnya bergetar. Ia meraihnya keluar dari saku celana. Kening pria itu berkerut melihat nomor tak dikenal meneleponnya. Nomor luar negeri, New York.

"Halo," sapa Joshua berhati-hati.

Ia mendengarkan seseorang yang bicara dengan cepat di seberang sana. Dahi yang awalnya berkerut, kini menjadi terangkat naik karena terkejut. Joshua bahkan berdiri dari tempat duduknya secara tiba-tiba karena tidak percaya dengan berita yang ia dengar.

"Ya, saya kenal dengannya. Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya Joshua panik. Ia mendengar dengan seksama jawaban orang di seberang sana.

"Ya, Teresa adalah sahabatnya, tapi dia tinggal di Los Angeles," jawab Joshua. Ia berjalan mondar-mandir sambil mengurut pangkal hidungnya. "Tidak. Aku saat ini sedang di Seoul, Korea Selatan. Victoria tidak punya sanak saudara sama sekali yang tinggal disana."

Langkah Joshua berhenti. Seketika ia teringat dengan rekan kerja Victoria, George. Satu-satunya orang yang ia kenal di New York selain Victoria.

"Aku tahu seseorang," ucap Joshua cepat. "Aku akan menghubunginya untukmu. Bisa kau sebutkan lagi di rumah sakit mana Victoria White dirawat?"

Setelah mengucapkan terima kasih, Joshua langsung memutuskan sambungan telepon tersebut. Ia menekan beberapa tombol sebelum kembali menempelkan ponselnya di telinga.

"George? Maaf meneleponmu secara tiba-tiba begini. Apa kau ada di Manhattan?" cecar Joshua. Ia terlihat sangat panik saat ini. "Thanks God. Baguslah. Boleh aku minta bantuanmu? Victoria mengalami kecelakaan mobil dan saat ini sedang berada di unit gawat darurat rumah sakit. Tolonglah kesana dan temani dia. Perawat bilang Victoria masih belum siuman. Aku sangat khawatir padanya."

Joshua menutupi wajahnya dengan sebelah telapak tangan ketika mendengar kesanggupan George. Ia mengucap syukur berkali-kali dalam hati. Setelah mengucapkan salam dan berterimakasih, sambungan telepon berakhir.

Joshua bergegas menuju mobil. Ia harus segera membeli tiket pesawat tercepat menuju New York.

Belum sempat dirinya menyalakan mesin mobil, Joshua mendapat telepon dari Teresa. Pria itu tanpa ragu mengangkatnya.

"Halo, Teresa," sapa Joshua. Ia mengangguk-angguk sendiri. Kepalanya menunduk dan bersandar pada setir mobilnya. "Ya, aku juga mendapat telepon dari pihak rumah sakit. Aku akan segera menyusulnya ke New York."

"Apa? Victoria baru saja dari Los Angeles?" Joshua mengerutkan keningnya. "Kau sedang hamil tua, jangan berbuat bodoh dengan memaksakan diri ke New York. Aku bisa merawatnya. Berdoa saja semoga kondisi Victoria tidak terlalu parah."

"I need to go. Aku harus bersiap pergi ke New York secepatnya," pamit Joshua. "Aku akan mengabarimu. Terima kasih karena telah menjaga Victoria, Tere."

Joshua melempar ponselnya ke kursi penumpang di sebelah. Ia mengatur napasnya yang tidak beraturan. Emosinya terlalu campur aduk, dia butuh menenangkan diri dulu sebelum mengemudi.

"Vic, kau membuatku gila," desisnya sambil menyembunyikan wajah di kedua telapak tangan. Joshua menangis. Ia meluapkan rasa bingungnya dalam derai air mata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro