Part 14, Josh
Seorang pria berpakaian formal terlihat duduk tenang di sebuah kafe. Pandangannya melamun melihat ke arah luar jendela. Di depannya tersedia Ice Americano yang belum ia sentuh sejak lima belas menit yang lalu.
"Maaf, apakah Anda yang bernama Hong Jisoo?"
Kepala pria itu bergerak mendongak. Ia menemukan senyuman manis seorang wanita yang tampak sangat elegan di depannya. Seketika ia sadar, orang itu adalah kenalan Nari yang ia tunggu sejak tadi.
"Ah, Shin Eunah?" Joshua balik bertanya sambil berdiri menyapanya. "Iya, saya Hong Jisoo. Silahkan duduk."
Wanita itu mengangguk sambil tetap tersenyum manis. "Maaf membuat Anda lama menunggu."
"Tidak, saya juga baru sampai," bohong Joshua. "Mau memesan? Saya panggilkan pelayannya dulu," Joshua mengangkat sebelah tangannya, gesture seorang gentleman memanggil seorang pelayan.
Setelah selesai memesan, keheningan kembali menyelimuti keduanya. Joshua tampak bingung. Ini blind date pertamanya, dan pria itu tidak mengerti apa yang harus ia perbuat. Pada awalnya Joshua menolak keras rencana istri Jeonghan. Toh, dia merasa tidak ada masalah saat ini dan dirinya tidak butuh teman kencan.
"Kau kelahiran tahun 1995, bukan?" tanya Eunah memecah kecanggungan.
Joshua mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Kau sendiri?"
Wanita bernama Eunah itu balas tersenyum. "Kita seumuran. Bagaimana kalau kau bersikap lebih santai?"
"Maaf, tapi kita baru pertama kali bertemu," tolak Joshua halus.
"Ah, begitu," Eunah tampak berusaha keras menyembunyikan keterkejutannya. Ia buru-buru tersenyum lagi. "Tidak apa. Maafkan kelancangan saya."
Joshua menggeleng. Pria itu mencari topik obrolan lain. "Kau baru pulang kerja? Kudengar dari Nari kau seorang dokter hewan."
"Iya, tadi ada satu pasien yang datang terlambat untuk vaksin jadi aku agak terlambat untuk tiba disini," jelas Eunah. Joshua manggut-manggut sebagai balasan. Keheningan kembali tercipta.
"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Eunah tiba-tiba.
"Eoh?"
"Sedari tadi kau selalu melihat keluar jendela," ujar Eunah. "Kau seperti tidak ingin berada disini."
Tepat dengan kalimat terakhir Eunah selesai, seorang pelayan datang mengantar pesanan makan mereka berdua. Joshua berteriak riang dalam hati. Pria itu mengangguk dan mengucapkan kata terima kasih pada pelayan.
"Lebih baik kita makan dulu," usul Joshua. Lebih ke arah menghindar dari kalimat Eunah tadi. "Kau pasti lelah sehabis kerja. Ayo makan."
--
Aku berdiri dengan gugup. Sengaja kusembunyikan kedua telapak tangan di dalam saku celana. Kalau dilihat dari luar, pasti para gadis akan berkata aku sedang memasang pose cool. Padahal aku tidak ingin terlihat terlalu jelas sedang menyembunyikan tangan yang berkeringat di udara dingin ini.
"Josh!"
Aku menoleh. Kulihat Hyesung berlari kecil mendekat ke arahku. Gadis ini memelukku hangat sekilas sebelum segera melepasnya. Kulihat Jihoon memalingkan wajah ke arah lain. Pasti cowok itu cemburu tidak jelas saat ini.
"Kalian naik apa kemari?" tanyaku.
"Naik subway, hyung," jawab Jihoon. "Mobil Hyesung sedang dibengkel. Mobilku sedang dipinjam Seungcheol hyung."
"Aah, begitu," ucapku sambil mengangguk kecil. Aku menoleh ke arah Hyesung. "Saudaramu mana?"
Bukannya menjawab, gadis di sampingku ini malah menunjukkan senyum mengejeknya. Ia menyikut perutku lumayan keras. Untung saja pakaianku saat ini cukup tebal, kalau tidak aku pasti sudah meringis kesakitan.
"Kau sudah tidak sabar bertemu dengannya, huh?"
Aku mengusap ujung hidungku dengan gugup. "Eoh, tidak. Kukira kalian datang bersama. Dia kan belum terlalu kenal jalur subway."
"Dia orang yang tangguh kok, tenang saja," ucap Hyesung sambil meringis. Ia menunjukkan jendela chat dengan Victoria. "Aku sudah memberinya instruksi dengan rinci untuk menuju kemari."
Aku meraih ponsel dari tangannya dan membaca. Dengan iseng aku men-scroll naik. Kelopak mataku melebar membaca chat teratas dari percakapan mereka.
"Ya! Kau bilang padanya kalau jadwal malam ini adalah double date?!" pekikku tak percaya.
Hyesung menelengkan kepala. "Memang begitu, kan? Kau tidak berani bertemu dengannya sendiri, jadi meminta bantuanku dan Jihoon oppa."
Aku menoleh ke arah Jihoon. Pria bertubuh pendek itu ikut mengangguk setuju dengan ucapan kekasihnya. Aku mengerang pelan. Kedua pipiku merona merah. Ah, semoga Victoria tidak tahu bahwa aku benar-benar tertarik dengannya.
"Disini dingin," ucapan Jihoon mengalihkan fokusku. "Kalian tidak mau menunggu di dalam saja?" tanyanya sambil mengedikkan dagu ke arah café yang menjadi tempat janjian kami.
Aku dan Hyesung saling berpandangan beberapa saat. Gadis itu mengangguk. Hyesung merangkul lengan Jihoon memasuki café terlebih dahulu. Sedangkan aku masih berada di luar selama beberapa menit, mencari tahu sambil melihat keadaan sekitar apakah Victoria sudah sampai atau belum.
"Kau yakin Victoria bisa sampai kemari?" tanyaku lagi menyela pembicaraan seru antara Jihoon dan Hyesung.
Hyesung mengangguk. "Yakin sekali. Aku kenal lebih lama dengannya dibandingkan dirimu, Josh."
Aku diam saja. Sudah lebih tiga puluh menit dari waktu perjanjian kami. Sedari tadi pandanganku terus teralihkan ke arah pintu tiap kali benda itu bergerak terbuka. Namun Victoria tak kunjung datang. Di luar pun hujan salju mulai turun. Jujur saja, aku jadi makin khawatir dengannya.
"Baiklah," ucap Hyesung pada akhirnya. Sepertinya dia tahu bahwa pikiranku sedari tadi sedang kacau karena memikirkan Victoria. "I'll call her."
Aku mengangguk. Aku memandangi Hyesung yang sedang menunggu teleponnya diangkat dengan harap-harap cemas.
"Sorry, I am late."
Aku, Hyesung, dan Jihoon mendongak melihat ke arah sumber suara. Victoria muncul dengan napas masih tersengal-sengal. Ujung hidungnya memerah akibat udara dingin diluar sana.
"Kau tersesat?" tanya Hyesung sambil berdiri membantu saudara tirinya itu melepas coat panjang yang dikenakannya. Walaupun Hyesung lebih tua dua tahunnya, tubuh tinggi Victoria membuatnya terlihat lebih seperti seorang kakak.
"Kind of," jawab Victoria sambil meringis. Ia kemudian menoleh ke arahku dan Jihoon secara bergantian. "Hi Jihoon, hi Josh."
"Vic," balasku sambil menarikkan kursi untuknya duduk di sebelahku. Jihoon hanya mengangguk kecil sebagai balasan.
"So," ucap Victoria sambil memandangi kami bergantian. "Is it double date?"
Aku berdoa dalam hati semoga Victoria yang duduk tepat di sebelahku tidak dapat mendengar debaran jantung yang tidak menentu. Kulemparkan pandangan penuh makna ke arah Hyesung dan Jihoon. Semoga sinyal SOS yang kuberikan dapat mereka tangkap.
"Hm, menurutmu bagaimana?"
Dasar gadis cilik yang nakal. Hyesung memberikan tatapan meledek ke arahku tanpa kentara.
"Kau dan Jihoon," ucap Victoria sambil menunjuk Hyesung dan Jihoon bergantian. Ia kemudian menoleh ke samping, ke arahku. "And, we?" kali ini jari telunjuk Victoria terarah bergantian antara aku dan dia.
Saking gugupnya, aku hanya bisa mengedip-edipkan mataku cepat. Dari sudut mataku, kulihat Hyesung bertepuk tangan tanpa suara. Jihoon pura-pura tidak mendengar dengan menyesap kopi pesanannya.
"Hm, yeah," aku mengusap ujung hidungku dengan tangan kanan. "We?"
Victoria tersenyum lebar. Ia kembali menoleh ke depan dengan cepat, membuat rambut pirang pendeknya berkibas. Aku dapat mencium wangi sampo yang ia kenakan.
"Okay, we're couple," ucap Victoria santai. "For tonight."
Kali ini Hyesung bertepuk tangan secara terang-terangan. Jihoon bersorak riuh. Aku berusaha menyembunyikan wajahku yang memerah dengan melihat ke arah lain.
Untuk menutupi rasa gugupku yang meluap, akhirnya aku buka suara. "Kau belum pesan. Biar kupanggilkan pelayan dulu," aku kemudian mengangkat tangan ke arah seorang waiter.
"Huu, gentleman Joshua," cibir Hyesung menggodaku.
Ah, Hyesung ternyata bisa menjadi sangat menyebalkan. Aku baru tahu bahwa gadis cilik ini bisa menjadi sangat licik.
Victoria tertawa kecil. Ia terlihat sangat santai dan menikmati ledekan Hyesung yang ditujukan padaku. Aku hanya bisa meringis kecil membalas tatapannya.
--
"Padahal kau tidak perlu sampai mengantarku pulang kemari," ucap Victoria saat kami sudah tiba di lobby hotel tempatnya menginap.
Aku mengangkat kedua bahu, bersikap bahwa hal ini bukanlah hal susah yang aku lakukan untuknya. "Hari sudah gelap, aku bukan pria yang akan meninggalkan seorang wanita pulang sendiri."
"Wooo," Victoria tersenyum jahil. Ah, mengapa ia jadi ikut-ikutan Hyesung menggodaku begini.
"Daripada kau tersasar lagi," sambungku cepat sebelum dia buka mulut mengeluarkan kalimat ejekannya lagi.
Aku tertawa kecil ketika bibir Victoria mengerucut. Ia terlihat menggemaskan jika sedang merajuk seperti ini.
"Ya sudah sana pulang," usirnya. "Aku kan sudah sampai."
Wah, benar-benar. Aku tahu sih kalau gadis Amerika tidak seperti gadis Asia. Victoria bahkan tidak menunjukkan sisi malunya sedikit pun. Ia terlihat santai seperti biasa. Aku jadi merasa gagal karena sepertinya hanya aku yang menyukainya.
"Apa kita bisa bertemu lagi?"
Aku kaget dengan kalimat yang keluar dari mulutku secara tiba-tiba. Begitu pula dengan Victoria. Sejak pertemuan kami hari ini, baru sekarang aku melihat ekspresi terkejut darinya.
"Hm, sure?" Victoria menelengkan kepalanya, ia sendiri terlihat tidak yakin. "Wait a minute. Are you hitting on me?"
Blush! Rasanya kedua pipiku memanas. Aku menoleh ke arah lain. Tangan kananku bergerak mengusap ujung hidung dengan gugup.
Kudengar tawa renyah Victoria kembali menguar. Aku menoleh. Gadis itu tersenyum manis ke arahku.
"It's common in USA, you know," ujarnya. Hm, yah, Victoria memang gadis 'pemberani'. Aku yakin dia sudah punya banyak pengalaman pacaran dengan berbagai tipe cowok. Aku saja yang terlalu pemalu hingga dapat dikategorikan dalam taraf pengecut.
Tangan Victoria bergerak ke depan. Ia menggerakkan jemarinya. "Don't you want to ask my number?"
Mulutku sukses terbuka. Aku buru-buru memberikan ponselku padanya. Victoria mengetikkan nomornya di ponselku dengan cepat dan mengembalikannya tak sampai satu menit kemudian.
"Saved."
"Terima kasih," ujarku. "Aku akan memberitahumu jika sudah sampai rumah."
Victoria mengerutkan dahinya, tampak bingung. "Apakah gaya berkencan orang Korea seperti itu? Menghubungi jika sudah sampai rumah?" Victoria and her curiosity. Dia memang selalu bicara jujur dengan apa yang ada dipikirannya.
"Yeah, yeah?" jawabku. Aku sendiri tak yakin. Victoria hanya mengangguk-angguk.
"Okay," sahutnya. "Mungkin aku akan banyak belajar gaya berkencan yang baru darimu."
Mukaku memerah. Aku hanya tertawa canggung menanggapi perkataannya.
"By the way, terima kasih untuk malam ini," ucapnya. Kali ini ia benar-benar serius dan terdengar tulus. "Bukan sekali-dua kali kita bertemu, tapi aku jadi belajar banyak mengenai dirimu. Thanks for being my date, untuk malam ini."
Aku mengangguk. Victoria tersenyum manis.
"Ah, berkencan bukan berarti kita punya hubungan khusus, kan?" ucapnya cepat seperti teringat sesuatu. "Setahuku begitu, jika aku menganut American style."
"Kau tidak ingin menjadi kekasihku?" tanyaku balik.
Victoria tertawa. "Aku tidak tahan dengan hubungan serius seperti yang diperlihatkan Hyesung-Jihoon. Aku belum berani berkomitmen. Aku takut mengecewakanmu."
Aku tersenyum simpul. "You motivated me."
"Pardon?"
Aku mengedikkan dagu. "Sudah malam. Istirahatlah. Aku pulang ya!"
Tanpa menjawab rasa penasarannya, aku membalikkan badan sembari melambai kecil ke arahnya. Victoria masih berdiri di tempatnya semula. Sepertinya ia bingung dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba. Rasakan, sedari tadi kan dirinya yang terus menggodaku, haha.
--
"Kau orangnya cukup asyik," ucap Eunah jujur setelah tawanya reda. "Pada awalnya saya ragu untuk menuruti acara blind date ini. Saya tidak menyangka kau akan mengantarku pulang."
"Saya bukan pria yang akan meninggalkan seorang wanita pulang sendiri ketika hari sudah gelap," sahut Joshua sopan. "Lagipula arah pulang kita sama."
Eunah mengangguk. Ia menyampirkan rambutnya di belakang telinga. "Saya tahu kondisimu dari Nari. Apa kau baik-baik saja?"
Joshua tersenyum kecut. Pandangannya ke depan, kakinya tetap melangkah. "Saya baik-baik saja. Nari dan Jeonghan yang terlalu khawatir."
Eunah menghentikan langkahnya, Joshua otomatis mengikuti. "Saya tinggal di gedung ini," ucap gadis itu sambil menunjuk bangunan bertingkat di balik punggungnya. "Terima kasih sudah menemaniku, Jisoo-ssi."
"Ah, kau tinggal disini," ucap Joshua sambil melihat ke balik punggung Eunah. "Masuklah, sudah gelap. Disini juga mulai dingin."
"Apa kita bisa bertemu lagi?"
Joshua mematung. Ia melihat binar penuh harap di dalam kedua bola mata Eunah. Terdapat pergolakan di dalam hatinya. Dulu, dulu sekali, dirinya yang berada di posisi orang yang menanyakan hal itu. Orang yang berharap.
Shin Eunah tipe wanita idaman semua pria. Cantik, baik hati, pintar, dan pengertian. Sayangnya, Eunah bukanlah Victoria. Walaupun Victoria tidak sempurna, bagi Joshua wanita itu sudah cukup baginya.
"Maaf." Hanya dengan satu kata, Eunah tahu bahwa dirinya tidak punya kesempatan. Pria di hadapannya membungkukkan badannya dalam-dalam, membuat Eunah salah tingkah dan bergegas mendorong bahu Joshua pelan agar kembali menegakkan tubuhnya.
"Hei, ada banyak orang disini," bisik Eunah sambil melihat sekeliling.
"Kita bisa bertemu lagi sebagai teman," jawab Joshua. Ia tidak terlihat panik. Ia serius dengan kata-katanya. "Maaf kalau saya mengecewakanmu."
Eunah menggeleng. Senyuman tetap terpasang di wajah manisnya. "Tidak apa, Jisoo-ssi. Saya tahu pasti berat untukmu menjalani kencan buta hari ini."
Joshua tersenyum masam. Sejak pertama bertemu, kesan yang ditunjukkan Joshua pada Eunah memang tidak terlalu hangat. Joshua pun sadar akan hal itu. Walaupun ia berhasil membuat Eunah tertawa riang dengan candaan konyol yang ia keluarkan, tetap saja Joshua tidak dapat memungkiri bahwa perasaannya tidak benar-benar senang dengan ide kencan buta setting-an Nari dan Jeonghan ini.
"Kau pasti akan bertemu pria yang lebih baik nanti," ucap Joshua pada akhirnya.
Eunah mengangguk. "Kau juga. Jagalah diri baik-baik."
Joshua dan Eunah saling terdiam selama beberapa saat. Akhirnya wanita itu yang terlebih dahulu mengangguk kecil sembari mengucapkan salam perpisahan. Joshua membalasnya dengan sopan. Begitu Eunah membalikkan badan berjalan menuju apartemennya, tanpa perlu menunggu lama, Joshua juga berlalu menuju halte bus. Kencan butanya hari ini resmi berakhir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro