Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 12, Josh

Joshua melenggang di atas red carpet dengan penuh percaya diri. Ia berhenti sebentar untuk berpose dan menjawab pertanyaan beberapa wartawan mengenai perasaannya yang diundang secara eksklusif di sebuah acara peragaan busana dari desainer terkenal yang diselenggarakan di Prancis. Dengan lihai, Joshua menjawab semua keinginantahuan para jurnalis dengan kalimat singkat dan jelas, namun tidak mengurangi kadar manis dan sopan khas seorang Joshua Hong.

Pria itu kemudian mengangguk kecil, melambaikan tangannya sekilas, dan melanjutkan langkahnya memasuki venue acara. Sesampainya di dalam, seorang pria berpakaian formal dengan setelan berwarna hitam menghampirinya dan mengatakan bahwa Lorenzo, sang empunya acara, ingin bertemu dengannya. Joshua mengikuti langkah pria tersebut untuk menemui rekannya yang sudah lama tidak ia jumpai.

Menginjak usia akhir dua puluh tahun, Joshua mulai masuk ke dalam dunia bisnis. Bertepatan dengan masa ia mendapat banyak tawaran sebagai bintang iklan dan model. Joshua yang mempunyai banyak kenalan, akhirnya membuka brand lokal baru untuk pakaian pria dan wanita bersama teman-temannya yang banyak terdiri dari desainer. Dua tahun berjalan, usahanya itu mulai memperlihatkan hasil yang bagus. Hingga kini, Joshua masih menjabat sebagai CEO dari perusahaannya yang kian membesar.

"Annyeonghaseyo, Mr.Hong," sapa pria berkulit pucat dengan rambut panjang diikat satu dibelakang. Gaya pakaiannya cukup nyentrik. Andaikan ia memiliki tinggi tubuh setidaknya 180 cm, orang-orang akan mengira ia lah model acara hari ini.

Joshua tersenyum. Ia mengangguk kecil membalas sapaan yang menggunakan bahasa Korea dengan kaku itu. "Bonjour, Mr. Enzo Touchard."

"Sudah lama tidak bertemu, kau terlihat makin segar," puji pria bernama panggung Lorenzo tersebut sambil mencolek lengan Joshua. "Wow, ototmu makin sempurna."

Joshua tetap tersenyum sopan. "Tidak sebaik model-modelmu disini," balasnya merendah.

Seorang wanita berjalan menghampiri keduanya dan menyela pembicaraan. Ia berbicara cepat pada Lorenzo menggunakan bahasa Prancis. Melihat dari gerak-geriknya, Joshua tahu bahwa sedang ada masalah.

Lorenzo kembali menghadap ke arah Joshua setelah asistennya pergi. Pria itu tersenyum kecil dan meminta maaf untuk mengurus beberapa hal terkait koleksi pakaiannya. Ia mempersilahkan Joshua untuk tetap tinggal dan melihat-lihat ruang ganti atau langsung menuju ke deretan kursi di kanan-kiri panggung catwalk.

Joshua memilih opsi kedua. Sebelum dirinya benar-benar keluar dari ruang ganti, ada seseorang yang menyapanya. Pria itu membalikkan tubuh menuju sumber suara.

Joshua menelengkan kepalanya dengan dahi mengernyit. Ia berusaha menggali ingatan.

"Garre Wilkinson," ucap pria di hadapannya sembari mengulurkan tangan ke arah Joshua. "Long time no see, Mr.Hong."

Joshua menyambut jabatan tangannya. "Kau menjadi model untuk peragaan busana hari ini?"

"Yup," Garre mengangguk, gayanya yang bebas dan santai khas sekali dengan gaya orang Amerika. "Bagaimana kabar Victoria?"

Joshua tersenyum masam. Dulu Garre bekerja sebagai model Coach, perusahaan Victoria. Garre dan Joshua pernah bertemu saat Joshua sedang menemani Victoria bekerja di lapangan, saat pemotretan.

"Dia baik-baik saja," jawab Joshua lugas. Sesungguhnya, dia pun tidak tahu kabar terbaru wanita itu.

Garre mendesah pelan. "Sayang sekali kontrak kerjaku tidak diperpanjang disana. Padahal aku senang bekerjasama dengannya," ucapnya.

"Kau yang sekarang juga melakukan kerja dengan baik," ucap Joshua. Ia masih ingat bagaimana dekatnya Victoria dan Garre saat bekerja dulu. Joshua sampai panas-dingin dibuatnya.

"Ya, aku tahu," jawab Garre sambil tersenyum miring.

Joshua yang jengah dan merasa tidak nyaman karena harus teringat dengan masa lalu, memutuskan untuk pamit. "Aku akan menontonmu dari kursi. Sampai jumpa nanti, Mr.Wilkinson."

--

Aku berjalan disisi Victoria yang sibuk mengetik sesuatu di ponselnya. Wanitaku ini sedari pagi benar-benar serius dengan jadwal kerja lapangannya hari ini. Ia bertanggungjawab untuk koleksi tas dan sepatu pria untuk musim semi. Maka dari itu, Victoria ingin memastikan bahwa hasil karyanya tetap terlihat indah saat difoto.

Bukan sekali-dua kali aku menyambangi Victoria di kantor. Namun, pagi ini ia minta langsung diantar ke sebuah studio foto yang berada lumayan jauh dari kantornya. Karena Victoria sedang melakukan pekerjaan "lapangan", aku jadi bisa ikut melihatnya. Yah, hitung-hitung menghabiskan waktu bersama daripada hanya duduk bengong di rumah menunggu hingga jam kantor istriku berakhir.

"Be careful," ucapku sambil menarik lengan Victoria saat seorang staff lewat membawa banyak barang dari arah berlawanan. Hampir saja terjadi kecelakaan akibat Victoria berjalan sambil melihat ponsel.

Victoria menengadah. Ia baru sadar dengan kondisi saat ini. Ia meringis polos ke arahku, sedangkan aku hanya geleng-geleng kepala melihat kecerobohannya.

"Thanks, honey," ucapnya memberiku kecupan ringan di pipi kanan. Ia kemudian berjalan menjauh dengan cepat menuju rekan kerjanya.

Wah, lihat kelakuannya. Setelah membuatku tersipu malu, Victoria langsung melenggang pergi begitu saja. Kalau sudah urusan pekerjaan, Victoria akan otomatis melupakanku. Sedih.

Aku melihat ke sekitar. Set untuk pemotretan pagi ini cukup heboh. Terlihat beberapa orang staff yang sedang menata seluruh properti di tempatnya. Walaupun aku sudah terbiasa melakukan beberapa konsep untuk pemotretan, aku belum pernah melihat setting yang seramai ini. Bahkan ketika sedang syuting MV sekalipun. Aku terpukau.

"Josh."

Aku menoleh. Victoria mendongak ke arahku sambil menunjukkan senyum polosnya. Pasti ia sedang punya permintaan.

"Ya?"

"Aku harus bekerja, kau tidak masalah kan kalau menunggu sendiri disini?" tanyanya hati-hati.

Tangan kananku bergerak ke atas kepalanya dan mengacak rambut pirang pendeknya dengan gemas. Biar saja berantakan. Habis, Victoria sedang sangat menyebalkan. Ia sudah meninggalkanku sendiri selama tiga puluh menit dan baru ingat bahwa aku ada disini.

"Kau jahat," keluhnya. Ia berusaha membenahi penampilannya di pantulan cermin.

"Kerja saja dengan benar. Aku akan melihat dari sini. Pukul dua belas nanti kau sudah bisa pulang, kan? Kau tidak lupa untuk minta izin pulang lebih cepat?" tanyaku was-was.

Victoria mengangguk. "Tenang saja. Kita akan makan siang dan jalan-jalan bersama setelah ini."

Aku mengiyakan. Victoria kemudian membalikkan punggungnya dan berjalan menjauh. Ia kini sudah berkutat dengan para model yang selesai dihias.

Aku memilih duduk di sebuah bangku yang letaknya agak tersembunyi namun tetap bisa melihat ke arah dimana wanitaku berada. Pandanganku terkunci padanya. Ini pertama kalinya aku melihat secara langsung bagaimana Victoria bekerja. Kegiatan yang sudah menjadi mimpinya sedari kecil.

Dahiku berjengit tak suka ketika melihat seorang model dengan kulit sawo matang datang menghampiri istriku dengan sikap genitnya. Parahnya, Victoria membalas candaannya itu dengan tertawa. Ia terlihat sudah terbiasa dengan semua itu.

--

Aku duduk di sofa ruang tengah sambil berselonjor kaki. Berbeda denganku yang tampak lusuh, Victoria masih menggumamkan lagu milik Katy Perry dengan ceria sambil melepas aksesoris yang melekat di tubuhnya. Wanita itu kemudian melongok keluar kamar, ke arahku, ketika sadar bahwa aku tidak kunjung menyusulnya masuk ke dalam kamar.

"Are you not going to take a bath?"

"You first, honey," jawabku singkat sambil berusaha menunjukkan senyuman terbaik.

Victoria menelengkan kepalanya. Ia kemudian keluar dan menghampiriku, ikut duduk di sampingku. "Anything wrong? Kau diam terus sejak siang ini."

Aku menggeleng. Tanganku bergerak mengelus kepalanya dengan lembut. "Aku hanya lelah. Itu saja."

Victoria tak langsung percaya. "Kalau kau lelah, kau pasti akan memilih untuk langsung mandi dan berbaring di atas kasur," aku memberikan cengiran sebagai jawaban, Victoria memang sangat mengenalku. "Atau kau mau mandi bersamaku?"

"Not today," tolakku. Aku bangkit dari duduk dan berjalan ke dalam kamar. Victoria ikut mengekor.

"Kau tampak berbeda, Josh," ucapnya di balik punggungku.

Aku menarik napas panjang. "Kurasa kau yang tampak berbeda," balasku.

Kedua alis Victoria terangkat. "Aku?"

Aku mengangguk. Kami saling diam selama beberapa lama. Akhirnya aku memutuskan untuk menarik tangannya dan duduk bersama di pinggiran kasur.

"Aku tidak suka melihatmu dekat dengan para model itu." Aku akhirnya mengungkapkan hal yang seharian ini aku pendam.

Victoria yang mengerti kegusaranku tersenyum tipis. Ia menggenggam kedua telapak tanganku dengan erat. "Are you jealous?"

Aku tetap memasang wajah datar. Pada dasarnya aku bukan tipe pria protektif yang akan melarang istrinya ini-itu. Aku bahkan rela tinggal terpisah benua selama dua tahun kehidupan pernikahan kami.

"Aku bukan sekadar cemburu. Aku tidak suka melihat mereka yang terlalu flirty denganmu. Kau wanita bersuami. Bahkan mereka berani bersikap seperti itu walaupun tahu aku ada disana," ucapku.

"Yah, kehidupan model disini memang beda dengan daerah Asia. Kau tahu sendiri bagaimana perbedaan budayanya, Josh," ucap Victoria sambil mengelus tanganku yang berada di genggamannya.

"Kau bahkan tidak berusaha menolaknya," lanjutku lagi. Victoria terpaku.

"Honey," panggilku lagi setelah keheningan selama lima menit tercipta. Aku mengangkat dagunya, membuatnya membalas tatapan yang aku berikan. "I love you."

"Maaf, Josh. Aku sudah bersikap kurang ajar padamu," ucapnya sambil kembali menunduk.

"I love you," ucapku lagi. Aku jengah melihat Victoria-ku yang biasanya ceria jadi diam begini.

"Gabjagi?" Victoria mengangkat kedua alisnya. Ia kemudian mendengus geli. "I love you, Josh."

"Then," lanjutku. Kali ini gantian aku yang menggenggam erat kedua tangannya. Aku memandang ke dalam kedua mata hijau itu dengan penuh harap. "Apa kau mau ikut pindah ke Seoul denganku?"

Senyum Victoria menghilang. "Aku punya kehidupan disini. Kau tahu itu."

Aku membenahi dudukku. "Aku punya perusahaan pakaian di Korea Selatan. Kau bisa bebas sebagai desainer disana. Mau pakaian, sepatu, ataupun tas. Bahkan, jika kau mau, aku rela memberikan perusahaan itu untuk kau kelola secara penuh. Mimpimu sebagai desainer tetap akan terpenuhi. Hanya beda tempat saja."

Victoria melepaskan untaian tangan kami dengan paksa. "Enough. Kurasa kau harus memikirkan ulang semuanya. Dari awal pernikahan, kau sudah menyetujui keinginanku yang itu."

Aku menahan tangannya yang sudah akan beranjak pergi. "Honey," panggilku.

Victoria menatapku dengan kedua mata yang penuh akan luapan kemarahan. "Kau cuma cemburu dengan para model itu. Setelah tenang kau pasti bisa berpikir dengan lebih baik."

"Kita ini suami-istri, Victoria," ucapku dengan tegas. Aku bangkit dari posisi duduk dan berdiri tegak di hadapannya. "Dua tahun sudah cukup lama untuk bermain-main. Bahkan kalau dikalkulasikan, waktu yang kita habiskan bersama kurang dari setahun. Bertemu selama satu-dua minggu tiap dua bulan? Hubungan pernikahan yang aneh."

Mata Victoria berkaca-kaca. "Okay. Kini kau mempertanyakan hubungan kita?"

Aku tertegun dan terdiam. Tenggorokanku tercekat tidak bisa membalasnya. Sepertinya aku kelepasan bicara karena tidak bisa mengontrol emosi.

Victoria mengusap air matanya yang lolos dengan kasar. Ia menghembuskan napas panjang tanpa berani melihat ke arahku.

"Maaf kalau kau tidak bahagia selama dua tahun," ucapnya dengan suara bergetar. "Kurasa kita harus memikirkan ulang pernikahan ini."

--

Joshua memberikan standing applause ketika Lorenzo keluar bersama deretan model yang berdiri di sisi kanan-kirinya. Perancang busana itu menyapa hadirin yang datang dan memberikan ucapan terima kasihnya dalam bentuk pidato singkat. Setelah selesai, Lorenzo beserta para modelnya berjalan di catwalk, menunjukkan koleksi pakaian untuk yang terakhir kali sebelum acara benar-benar berakhir.

Joshua tersenyum kecil. Rekannya itu memang beda. Jarang-jarang seorang desainer akan memeragakan busananya dengan diri sendiri sebagai model. Lorenzo memang penuh rasa percaya diri.

Setelah acara berakhir, Joshua menyapa beberapa orang kenalannya. Ia kemudian melanjutkan langkah menuju mobil dimana manajernya telah menunggu. Pria itu tidak ingin berlama-lama tinggal disana. Sejak tiga tahun yang lalu, Joshua memiliki kebiasaan untuk berada di rumah paling lambat pukul 10 malam waktu setempat, jika tidak ada pekerjaan penting sebagai pengecualian.

"Kau sudah kembali," sapa Minho. Padahal ia sengaja menunggu Joshua di mobil karena mengira artisnya itu akan tinggal lebih lama bertemu dengan rekan bisnisnya di dunia fashion.

"Aku lelah. Ingin langsung ke hotel," balas Joshua sambil menghempaskan diri di kursi penumpang.

"Kau masih mengikuti peraturan harus pulang sebelum pukul sepuluh malam?" tanya Minho.

Joshua membuang pandangan keluar jendela. Paris di malam hari memang indah. Kesan romantisnya makin kuat terasa.

"Kau kan sudah tidak perlu mengikutinya lagi. Sudah tidak akan ada yang mengomelimu jika kau pulang larut," komentar Minho.

"Hyung, menyetir saja dengan benar," perintah Joshua. Terlihat jelas ia sedang tidak ingin diganggu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro