080822
080822
D+7
[]
"Yah, Yoon Jeonghan, pergi. Kau membuat terlalu banyak kesalahan hari ini."
Jeonghan terpaksa pindah ke sofa yang ada di ruang produksi setelah diusir oleh Lee Jihoon, rekannya, dari satu-satunya kursi kerja di sana. Mereka sedang mempersiapkan lagu baru salah satu grup musik yang mereka pegang. Seharusnya Jeonghan yang bertanggung jawab untuk memproduksi lagu ini, tetapi dia membuat terlalu banyak kesalahan hingga Jihoon mengusirnya seperti itu.
Padahal kemarin dia hanya minum satu botol soju, bukan sepuluh seperti biasanya.
Wanita pemilik warung pocha di dekat apartemennya sudah mulai membatasi konsumsi soju yang boleh Jeonghan beli dan mengusirnya saat dia meminta lebih. Kemarin dia bahkan diusir ketika baru melangkah masuk, membuatnya harus berjalan ke warung yang lebih jauh. Namun cuaca sedang baik, dan Jeonghan ingat kalau Seungcheol menyukai cuaca hangat seperti ini, jadi dia memutuskan untuk tidak mabuk. Mungkin itu keputusan yang salah.
"Maaf, hyung," kata Jeonghan sambil mengusap wajahnya. "Aku sedang tidak punya inspirasi."
"Kenapa kau masuk? Harusnya kau ambil cuti saja."
"Kalau aku terlalu lama cuti, aku akan segera menyusul Cheol karena kebanyakan minum. Kau mau itu terjadi?"
Jihoon mendengus. "Kebiasaan minummu benar-benar harus dihilangkan. Aku yakin ginjal dan hatimu sudah rusak sekarang."
Jeonghan tidak membalas. Dia merebahkan badannya dan menatap langit-langit ruangan. Konsumsi alkoholnya dalam seminggu terakhir memang meningkat tajam, terutama ketika dia sedang cuti. Tanpa pekerjaannya, satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah berkabung dan minum untuk melupakan kesedihannya. Seperti yang Jihoon katakan, mungkin saja ginjal, hati, dan seluruh organ tubuhnya sudah rusak sekarang ini.
Karena itulah dia memutuskan untuk masuk saja, walaupun dia baru datang pukul 12 siang tadi. Dia pikir, jika dia memaksakan diri bekerja, dia akan bisa melupakan rasa sakit di hatinya. Itu yang Joshua lakukan, bukan? Joshua akan menyibukkan diri untuk menekan emosinya. Jeonghan pikir itu akan mudah. Rupanya tidak. Seluruh pekerjaannya hari ini justru kacau.
Lirik lagu yang sedang digubah oleh Jihoon memasuki telinga Jeonghan dan memenuhi otaknya. Aku ingin tahu masalah kita, golongan darah, atau DNA.
Berteman begitu lama dengan Seungcheol membuat Jeonghan tahu semua tentangnya. Dia lahir tanggal 8 Agustus 1995. Lagu kesukaannya adalah lagu-lagu pop yang mellow – sedikit lucu, sebenarnya, karena dia adalah rapper, tapi suaranya rendahnya terdengar indah sekali saat menyanyikan lagu seperti itu. Warna favoritnya adalah warna bernama serenity dan rose quartz – sesungguhnya biru dan pink pastel, tapi dia akan mengomel panjang lebar jika Jeonghan tidak menyebutnya sebagaimana mestinya.
Ah, lagu ini adalah lagu yang ceria, kenapa air matanya mulai menggenang?
"Hari ini...." Jeonghan menarik napas agar suaranya sedikit stabil, lalu menyelesaikan kalimatnya, "Hari ini ulang tahun Cheol."
Jihoon sepertinya menyadari suara serak Jeonghan karena dia segera meninggalkan workstation dan menggeret kursi rodanya mendekat. Tangannya mengambil kotak tisu di saat bersamaan. Jeonghan menarik selembar tisu dan mengusap wajahnya. Untuk sesaat, yang terdengar hanyalah suara Jeonghan mendengus dan menarik setidaknya sepuluh lembar tisu.
Jihoon menunggu Jeonghan lebih tenang, lalu berbicara, "Dengar, Jeonghan, kau harus pulang. Ini perintah dan bukan anjuran, mengerti?"
Jeonghan menggeleng. "Aku tidak ingin sendirian, hyung."
Jihoon menghela napas. "Kau punya teman di tim publisis, kan? Pegawai baru itu? Kau bisa pergi menemuinya."
"Shua?" Jeonghan mengecek jam dinding. "Ya, mungkin itu ide bagus. Sekarang sudah jam pulang."
"Dia tidak cuti?"
"Aku berani bertaruh dia ada di meja kerjanya sekarang. Dia memang begitu."
"Kalian sama saja," Jihoon menggelengkan kepala. "Sudahlah, pergi dan temui dia."
Jeonghan menurut. Setelah mengenakan kembali maskernya, dia keluar dari ruang produksi dan melangkah menuju lift. Dia harus menanyakan arah menuju ruang tim publisis kepada satpam saking jarangnya dia berkelana mengelilingi kantor. Dia hanya menggunakan ruang produksi dan ruang rekaman saja. Dia bahkan tidak tahu di mana ruang latihan menari.
Tebakan Jeonghan tepat. Joshua memang ada di meja kerjanya, sedang memperhatikan komputer dengan begitu cermat.
Jika Jeonghan minum untuk melupakan dukanya, Joshua bekerja. Sejak sekolah pun dia sudah menyibukkan diri dengan begitu banyak kegiatan, sampai-sampai Jeonghan pernah bercanda kalau dia harus membuat janji hanya untuk bertemu Joshua selama 15 menit. Bahkan Seungcheol, yang waktu itu sudah mulai jadi trainee, tidak pernah sesibuk itu.
Jeonghan selalu merasa ada sesuatu yang dihindari Joshua, tapi dia tidak pernah yakin apa sesuatu itu. Atau, entahlah, mungkin ada yang dia kejar. Joshua selalu jadi yang paling ambisius di antara mereka bertiga.
"Shua," panggil Jeonghan. "Kau tidak pulang? Ruangan sudah sesepi ini...."
"Hai, Han," sapa Joshua tanpa mendongak. "Masih ada yang harus aku selesaikan. Kenapa?"
Jeonghan memindai seisi ruangan yang sudah sepi. Hanya ada beberapa pegawai yang masih bercakap-cakap di dapur, tapi selebihnya ruangan ini kosong. "Aku ingin mengajakmu minum."
"Aku tidak ingin minum."
"Temani aku."
"Kau juga seharusnya tidak minum."
"Ini hari ulang tahun Cheol."
Tangan Joshua berhenti mengetik. Dia sepertinya baru menyadari kenapa hari ini penting, dan kenapa Jeonghan mengajaknya minum. Jeonghan jadi bertanya-tanya apakah Joshua lupa, tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Mungkin saja Joshua ingat, tapi sengaja melupakan. Jeonghan juga ingin melakukannya jika bisa.
"Kau tidak ingin ke makamnya saja? Atau menemui keluarganya?" Joshua memberikan opsi lain.
Jeonghan menggeleng. "Aku sudah menemui mereka tadi pagi. Mereka mengajakku ke makam juga, tapi aku tidak yakin aku sanggup melakukannya."
Jeonghan mampir ke rumah keluarga Choi sebelum bekerja. Ibu Seungcheol meneleponnya kemarin saat dia sedang berjalan pulang. Dia memang cukup dekat dengan keluarga Seungcheol karena dia sering ke sana setelah Seungcheol sibuk dengan training-nya. Mendengarkan orang tua Seungcheol menceritakan tentang kehidupan anak mereka menguras habis energi Jeonghan.
"Baiklah, kalau memang itu maumu."
Joshua tidak mengatakan apa-apa lagi dan mematikan komputernya.
Mereka berdua berjalan dalam diam menuju sebuah warung yang tidak terlalu jauh dari kantor. Bahkan di hari ulang tahun Seungcheol pun udara Seoul masih terasa hangat. Mungkin ini anomali. Hari-hari ini biasanya sudah sangat panas.
"Aku tidak ingin minum terlalu banyak," ujar Joshua saat warung kecil yang mereka tuju sudah nampak di depan mata. "Kau juga sebaiknya jangan mabuk."
"Ayolah, biarkan aku mabuk hari ini," Jeonghan merajuk.
"Kau minum berapa botol kemarin?"
"Hanya satu."
"Aku tidak percaya."
"Aku tidak bercanda."
Joshua menghela napas. "Berapa banyak yang sudah kau minum dalam seminggu terakhir?"
"Nah, aku tidak menghitungnya." Jeonghan meringis selagi membuka pintu. "Aku tidak peduli jika setelah ini ginjalku tidak berfungsi. Aku ingin mabuk hari ini. Jangan halangi aku."
Jeonghan mengabaikan reaksi Joshua dan langsung memesan dua botol soju. Joshua memesan satu botol makgeolli, dua porsi pajeon, dan satu porsi ikan teri kering.
"Memangnya kau makan ikan teri?" tanya Jeonghan bingung. "Hanya Cheol yang suka itu, kan?"
Joshua membatalkan pesanan itu. Jeonghan tersenyum tipis saat berjalan ke meja. Dia kira Joshua sudah lupa, berhubung dia sudah meninggalkan Korea Selatan selama lima tahun. Hal-hal semacam itu cenderung dilupakan orang-orang seperti Joshua, atau setidaknya begitu menurut Jeonghan. Mungkin saja otak Joshua berjalan dengan sendirinya tanpa dia sadari. Semacam muscle memory. Toh, Joshua memang selalu memesan untuk mereka jika mereka memutuskan untuk bertemu di pocha.
Mereka berdiam dengan canggung setelahnya. Jeonghan merasa seperti sedang minum pertama kali dengan rekan kerja barunya, bukan dengan teman lamanya. Seburuk itukah hubungan mereka? Dia sudah tidak ingat lagi.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Jeonghan, memecahkan kecanggungan itu. "Ini minggu keduamu, ya?"
Joshua mengangguk. "Not bad. Tidak terlalu berbeda dari yang aku kerjakan di Los Angeles."
Jeonghan kemudian mendengarkan Joshua berbicara mengenai perbedaan pekerjaannya di sini dan di Amerika. Tidak sulit rupanya untuk membuat percakapan dengan Joshua mengalir. Dia hanya perlu membukanya dengan pertanyaan tentang pekerjaan.
Meski begitu, malam ini tetap lebih banyak canggungnya. Jeonghan jadi memilih untuk lebih banyak minum agar bisa menghindari keharusan membuka percakapan kecil dengan Joshua. Teman minumnya itu pun tidak menolong. Joshua bahkan sama sekali tidak berusaha untuk mengusir kecanggungan ini.
Joshua baru menginisiasi percakapan saat Jeonghan hendak memanggil pemilik toko dan memesan botol soju kedelapan. "Jeonghan."
Jeonghan mengabaikannya. "Imo? Imo, tolong bawakan satu botol soju lagi."
"Maaf, Imo, tapi kami sudah selesai."
"Yah, Shua-ya. Aku masih ingin minum."
"Tidak, kau harus pulang. Kau sudah mabuk."
Jeonghan lanjut merajuk, sementara Joshua mengenakan maskernya dan berdiri untuk membayar. Pikirannya sudah tidak begitu jernih, tapi hatinya belum mati rasa. Sepertinya dia akan lanjut minum lagi di rumah. Apakah dia masih punya anggur? Mungkin.
"Kau jahat," kata Jeonghan saat Joshua mengangkatnya hingga berdiri.
Joshua melingkarkan tangannya di tubuh Jeonghan dan membantunya berjalan keluar. "Kau akan mati kalau minum terus."
"Lepaskan, aku masih bisa berjalan sendiri." Jeonghan melepaskan dirinya dan berjalan duluan dengan langkah sempoyongan. "Biarkan saja aku mati. Aku bisa menyusul Cheol. Kau pasti senang."
"Jaga ucapanmu, Jeonghan."
"Toh kau tidak pernah suka padaku, kan? Aku hanya merepotkanmu. Kau tidak pernah setuju dengan semua keputusanku. Kau benci saat aku mengganggumu. Kau–"
"Yoon Jeonghan!"
Badan Jeonghan tersentak ke belakang saat Joshua menarik tangannya. Tangan Joshua mencengkeram erat kedua lengan Jeonghan. Tatapan matanya seakan membakar seluruh sisa ketegaran yang masih Jeonghan punya. Kaki Jeonghan semakin lemas. Terutama setelah dia mendengar suara serius Joshua:
"Kau sahabatku, Jeonghan. Aku tidak mau kau mati."
Air mata Jeonghan luruh. Jika Joshua tidak menahannya seperti itu, lututnya akan menabrak tanah dengan keras dan terluka. Joshua mendudukkan Jeonghan dengan perlahan, kemudian memeluknya.
Jeonghan menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Joshua. Sudah banyak air matanya yang turun dalam seminggu terakhir, tapi ini kali pertamanya menangis sesenggukan seperti ini. Dia terlalu sibuk menenggelamkan emosinya membiarkan air matanya ikut tertelan bersama dengan alkohol yang dia konsumsi. Satu minggu setelah Seungcheol pergi, di hari ulang tahunnya, Jeonghan baru benar-benar merasakan betapa sakitnya hatinya.
"Shua," kata Jeonghan di sela-sela isakannya. "Aku merindukannya."
Joshua mengelus punggungnya. "Aku juga, Jeonghan. Aku juga."
"Kalau aku bisa memutar waktu, aku akan menyelamatkannya."
"Aku tahu."
"Aku akan kembali dan aku akan menolong Cheol. Dan aku akan membuatmu membantuku. Kau akan membantuku, kan?"
"Aku akan membantumu."
"Kau berjanji?"
"Aku berjanji."
Kantuk menyerang Jeonghan setelah ledakan emosinya mereda. Saat matanya mulai terpejam, hatinya memanjatkan sebuah doa. Sebuah permintaan yang tidak mungkin terwujud seberapa keras pun dia memanjatkannya. Tapi, siapa tahu, kan? Siapa tahu semesta cukup baik hati untuk mengabulkan permintaan Jeonghan.
Jeonghan terlelap. Tanpa dia ketahui, malam itu, semesta mengabulkan doanya.
[]
Pocha = pojangmacha (포장마차) adalah sejenis bar tenda yang menyediakan makanan jalanan yang murah dan enak.
Imo (이모) = bibi / auntie, panggilan untuk pemilik toko.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro