040822
040822
D+3
[]
Keluarga Seungcheol memilih untuk menguburkannya. Ibunya bersikeras. Manajer Seungcheol, yang baru kemarin Joshua ketahui bernama Kim Mingyu, mengatur agar permintaan keluarganya dapat diakomodasi dengan tetap memperhatikan privasi mereka.
Kim Mingyu, atau 17 Entertainment, patut diapresiasi karena berhasil memberikan privasi pada keluarga Seungcheol.
Setelah lima tahun bekerja sebagai publisis, Joshua sangat akrab dengan seberapa besar sebuah perusahaan memerlukan publisitas. Ungkapan "bad publicity is still a publicity" itu ada benarnya, dan banyak sekali perusahaan yang tidak segan-segan melakukan itu demi mendongkrak popularitas. Sebuah tragedi seperti kematian adalah salah satu cara yang bisa digunakan perusahaan yang tidak punya empati. Joshua bersyukur 17 Entertainment memilih untuk tidak menggunakan kesempatan ini.
Memang, kasus Seungcheol adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, Seungcheol sangat disayangi oleh publik. Kematiannya akan mengundang simpati dari begitu banyak pihak, dan simpati, bisa dibilang, adalah "publisitas yang baik", terutama jika perusahaan juga terlihat memilikinya. Namun, di sisi lain, kematian Seungcheol memancing komentar warganet tentang betapa buruknya 17 Entertainment – atau agensi-agensi kreatif lainnya – memperlakukan artis mereka dan betapa beratnya tekanan yang harus mereka tanggung. Hal itu pastinya akan merusak citra perusahaan.
Dari yang Joshua perhatikan, 17 Entertainment sama sekali tidak memedulikan soal publisitas. Mereka lebih berfokus pada kedukaan itu sendiri dan bagaimana mereka bisa memastikan keluarga Seungcheol bisa berduka dengan tenang tanpa dikelilingi oleh kamera dan wartawan. Budaya perusahaan ini bagus juga.
"Bukan minggu pertama yang baik, huh?"
Kwon Soonyoung, atasan baru Joshua, sudah berdiri di sampingnya setelah menerima telepon. Joshua hanya mengangguk, sambil tetap memperhatikan prosesi pemakaman yang saat ini tengah berlangsung. Ini memang bukan minggu pertama bekerja yang diinginkan siapa pun.
"Orang-orang media betul-betul ganas," lanjut Soonyoung sambil berdecak. "Mereka berusaha mendapatkan informasi selengkap mungkin, seringkali tanpa memikirkan bahwa Seungcheol juga manusia, anak, adik, dan teman. Pada hari-hari seperti ini kau akan benar-benar membenci pekerjaanmu."
Joshua, lagi-lagi, hanya mengangguk. Dia pernah juga mengurus publisitas terkait kematian seorang pengusaha terkenal, jadi dia bisa membayangkan kelakuan para jurnalis yang harus dihadapi Soonyoung. Wartawan Seoul tentunya tidak jauh berbeda dari wartawan Los Angeles.
"Omong-omong, aku turut berdukacita, uhm, Josuha? Maaf, aku masih terus melupakan namamu."
"Joshua Hong," koreksi Joshua. "Atau Hong Jisoo. Itu nama Koreaku."
"Jisoo," Soonyoung mengulangi. "Kukira orang Korea-Amerika sudah tidak memberikan nama Korea pada anak mereka."
Joshua menggeleng. "Saya bukan orang Korea-Amerika, Kwon timjangnim. Kedua orangtua saya orang Korea. Saya juga tumbuh besar di sini dan bersekolah di tempat yang sama dengan Seungcheol. Saya hanya punya nama Amerika karena saya lahir di sana."
"Ah, itu menjelaskannya. Apa itu artinya kau juga berteman dengan Yoon Jeonghan?"
Joshua tidak benar-benar siap mendengar pertanyaan itu. Dia melirik ke arah Jeonghan yang berdiri di sebelah ayah Seungcheol, mendengarkan apa yang diucapkan Choi abeonim dengan saksama. Ucapan Jeonghan dua hari lalu kembali terngiang di otaknya. Dengan susah payah Joshua berusaha mengabaikannya.
"Iya," balas Joshua singkat, sembari menelan rasa tidak nyaman yang tersangkut di tenggorokannya. "Kami, uh, berteman."
Sebelum Soonyoung sempat membalas, seseorang memanggilnya. Kalau tidak salah, namanya Boo Seungkwan, salah satu anggota tim publisis 17 Entertainment. Mereka berdua segera membahas apa yang harus mereka lakukan saat ini. Joshua ingin ikut membahasnya, tetapi Soonyoung sudah bilang kalau dia harus cuti hari ini. Urusan pekerjaan akan dia urus besok-besok saja.
Wah, ini pasti rekor baru. Tidak ada orang yang cuti di minggu pertamanya bekerja kecuali Joshua. Hebat sekali dia.
"Shua."
Joshua hanya mengangguk sebagai respons atas panggilan Jeonghan. Pemuda itu berjalan ke arahnya sambil memayungi matanya dengan tangan. Hari ini begitu cerah, tapi tidak begitu panas. Setidaknya cuaca cukup berbaik hati memberikan hari baik untuk memakamkan Seungcheol.
"Hari ini cerah sekali," kata Jeonghan saat tiba di dekatnya, menyuarakan apa yang baru saja dia pikirkan. "Ah. Cheol pasti akan suka hari ini."
Joshua menghela napas. Ucapan Jeonghan mengingatnya akan hal yang tidak ingin dia ingat-ingat lagi–sesuatu yang diucapkan Seungcheol beberapa tahun lalu. Entah apa yang membuatnya sangat melekat. Waktu itu, Joshua menganggap kalimat Seungcheol sangat aneh.
Aku ingin pergi saat matahari bersinar cerah. Pasti akan hangat sekali. Orang-orang pasti menyukainya.
Apakah matahari bersinar cerah tanggal satu kemarin? Cukup cerah, sepertinya. Joshua ingat dia memutuskan untuk mengambil jalan memutar saat pulang kemarin demi menikmati hari yang sangat baik dan menyenangkan. Dia memang menyukai hari yang hangat.
Permintaan Seungcheol terkabulkan. Joshua tidak yakin apa yang harus dia lakukan dengan informasi itu.
"Apa yang kau pikirkan?"
Joshua terdiam sesaat sebelum menjawab, "Cheol bilang dia ingin pergi saat matahari bersinar cerah."
"Kenapa?"
"Cuaca akan hangat, dan orang-orang suka saat cuaca hangat."
"Shua, apa kau mendengarkan lagu Cheol saat kau di sana?" Jeonghan tiba-tiba mengalihkan topik.
Joshua tidak paham, tapi dia tetap menjawab, "Hmm, sesekali. Aku tidak bisa bekerja sambil mendengarkan lagu."
"Salah satu lagu terbarunya melekat di otakku. Aku ingat mencarinya saat sedang menebak apa yang dia ucapkan. Sebentar." Jeonghan mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu. "Ah ini dia."
"Apa?"
"Saat matahari terbit, aku akan pergi. Tapi memorimu tentang aku akan tetap ada dalam setiap sinarnya."
Leher Joshua tercekat lagi.
Suara Jeonghan bergetar saat dia melanjutkan, "Saat matahari terbenam, aku akan mati. Namun ceritaku tentang kita akan tetap hidup, sekarang dan selamanya."
"Sangat puitis," Joshua berkata setelah dia berhasil membersihkan tenggorokannya. "Cheol pintar menulis lirik yang bagus."
"Tidakkah kau menyadarinya?" tanya Jeonghan dengan nada tidak percaya. "Ini tentang kita."
Joshua tahu itu, tapi dia tidak ingin mengakuinya. Dia ingin berpikir bahwa Seungcheol hanya menulis kata-kata itu sebagai perumpamaan akan sesuatu yang lain. Apa pun itu, akan jauh lebih baik daripada yang Jeonghan maksudkan. Joshua akan terus menyangkal pemikiran bahwa lagu itu ditulis Seungcheol tentang hidupnya sendiri.
"Lagu ini sudah keluar tiga bulan, dan aku sudah tahu ini selama tiga bulan. Kenapa aku tidak menyadarinya waktu itu?"
Joshua menoleh. Jeonghan menutupi matanya dengan tangan, dan bahunya mulai bergetar. Joshua menepuk punggung Jeonghan, berusaha menenangkannya. Biar bagaimana pun, Jeonghan memang lebih mudah mengekspresikan emosinya. Wajar baginya untuk tiba-tiba menangis di depan umum seperti ini. Joshua terkadang ingin bisa melakukannya juga, meski egonya terlalu besar untuk itu.
"Jangan," kata Joshua, mengulangi apa yang Jeonghan katakan padanya.
"Kau benar." Jeonghan mengantongi ponselnya, mengusap wajahnya, dan tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Matanya masih sedikit merah, dan bagian atas maskernya kini sedikit basah. "Ah, ini hari yang baik. Cheol benar. Orang-orang memang menyukai cuaca hangat."
"Keinginannya terkabulkan. Cuaca akhir-akhir ini sedang hangat-hangatnya."
Jeonghan tidak membalas lagi. Joshua kembali mengalihkan pandangannya pada peti mati yang hendak diturunkan itu.
Mereka berdua berdiri di sana tanpa mengucapkan apa-apa hingga upacara pemakaman selesai.
[]
<1> Timjangnim (팀장님) = Kepala Tim (-nim ditambahkan sebagai panggilan, seperti sir atau Mr./Mrs.).
<2> Abeonim (아버님) = ayah (dari teman).
[]
Sepertinya aku akan mengunggah satu bab setiap kali aku selesai menuliskan satu bab, jadi harap bersabar ya hehehe.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro