010821
010821
D-365
[]
Kepala Jeonghan seperti dipukuli dari dalam saat dia terbangun pagi itu. Dia sudah terbiasa mabuk malam-malam, apalagi seminggu terakhir ini, tapi dia tidak pernah merasakan hangover separah ini. Memangnya seberapa banyak yang dia minum semalam?
Jeonghan mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. Dia menemui keluarga Seungcheol, lalu pergi ke kantor. Kemudian dia menangis di ruangan hingga Jihoon mengusirnya. Lalu apa? Jeonghan mengusap dan memijat kepalanya, berusaha meredakan pengar yang dia rasakan meski sama sekali tidak berhasil. Apa yang — oh, dia mengajak Joshua minum.
Ah, benar. Dia minum dengan Joshua tadi malam, lalu pingsan di luar warung.
Jeonghan melihat ke sekelilingnya. Dia disambut oleh kamarnya yang sempit dan berantakan itu — seluruh barangnya tersebar di lantai, di atas lemari baju, dan di sisi tempat tidurnya yang tidak terpakai. Dia tidak ingat bagaimana dia bisa berada di sini. Kemungkinan besar, Joshua yang membawanya ke sini. Jeonghan hanya tidak yakin dari mana Joshua tahu alamat rumahnya dan bahkan kode pintu rumahnya.
Omong-omong, di mana Joshua?
Jeonghan memaksakan diri keluar dari tempat tidur meski kepalanya terasa berat. Langkahnya terseok-seok selagi dia menyeret kakinya ke ruang tamu. Ruangan ini juga sama berantakannya, tapi tidak ada tanda-tanda kekacauan yang biasanya terjadi saat dia pulang dalam kondisi mabuk: sepatu, kaus kaki, dan tas kerja yang tergeletak begitu saja di dekat pintu serta jaket yang dilempar sembarangan ke atas sofa. Barang-barangnya berantakan, tapi masih pada tempatnya yang sewajarnya. Jadi sebenarnya apa yang terjadi?
Dia memutuskan untuk mengambil air di dapur. Air dingin selalu bisa membuat otaknya sedikit lebih segar. Setelahnya, dia berjalan ke kamarnya untuk mencari ponselnya. Secara ajaib, dia ingat untuk mengisi daya ponselnya tadi malam. Atau mungkin Joshua yang melakukannya? Entahlah.
Sesuatu terasa aneh saat dia membuka ponsel. Jeonghan tidak yakin apa itu.
Dia mengabaikannya dan segera mencari nomor Joshua. Setidaknya dia harus berterima kasih karena Joshua telah membawanya kembali pulang dengan selamat. Mungkin dia juga harus meminta maaf karena telah merepotkan Joshua. Dia selalu merepotkan orang-orang saat mabuk, tapi tidak pernah mau berhenti minum. Dia menyadari bahwa itu menyebalkan.
Butuh tiga panggilan bagi Joshua untuk mengangkat telepon Jeonghan. Dia tidak terdengar senang saat mengangkatnya. "Yoon Jeonghan?"
"Iya, ini aku," balas Jeonghan. "Uh, dengar, aku minta maaf kalau aku merepotkanmu semalam. Aku pasti benar-benar merepotkanmu. Terima kasih karena telah membawaku pulang."
"Kau tidak salah menelepon, kan?"
"Apa maksudmu? Tentu tidak."
"Kau pasti salah nomor."
"Kau Joshua Hong, kan? Hong Jisoo?" Jeonghan jadi melihat layar ponselnya sendiri. "Ah, masih tertulis 'Joshuji' di sana. Tidak salah."
Jeonghan memang menyimpan nomor Joshua sebagai "Joshuji" dari kesalahannya dalam menyebutkan nama Amerika itu. Dia jarang memanggil Joshua dengan sebutan itu, tapi itu nama yang bagus untuk jadi nomor kontak. Sama seperti dia menyimpan nomor Seungcheol "Ddaddu", walau dia tidak bisa mengingat sekarang kenapa dia memanggil Seungcheol seperti itu. Mungkin karena Seungcheol menganggap Kkuma, anjingnya, sebagai anaknya. Itu menjadikan dia seorang "ddaddu".
"Aku tidak mau berbicara denganmu jika kau mabuk begini," ujar Joshua. "Di sana masih pagi, kan? Sober up, Jeonghan. Suatu hari kau akan mati karena kebanyakan minum."
Jeonghan mengernyit saat Joshua menutup teleponnya. Sesuatu dalam perkataan Joshua mengusiknya. Lagipula, kenapa Joshua jadi marah padanya? Bukankah dia sendiri yang menemaninya minum tadi malam? Juga yang mengantarnya pulang? Apakah Jeonghan semenyebalkan itu? Walau memang begitu, harusnya Joshua tidak semarah ini.
Kekesalan menghilangkan pengar Jeonghan. Dia menekan nomor Joshua lagi untuk meneleponnya.
"Jeonghan, apa yang —"
"Aku tidak tahu apa yang kulakukan semalam, tapi kau tidak perlu semarah ini," Jeonghan memotong ucapan Joshua. "Mungkin dukamu lebih cepat selesai, tapi aku masih sangat merindukan Cheol. Kau tidak bisa terus-terusan menyalahkanku karena memilih untuk minum. Aku tahu itu salah, tapi kau tidak seharusnya kesal saat kau yang menemaniku minum."
"Kenapa kau membawa-bawa Seungcheol?"
"Dan, apa maksudmu 'di sana masih pagi'? Apartemenmu tiba-tiba pindah ke Los Angeles?"
Joshua menghela napas. "Mungkin kau lupa, Jeonghan, tapi apartemenku memang ada di Los Angeles. Di sini jam setengah lima sore. Sober the fuck up, Jeonghan, for fuck's sake."
"Kau baru saja pindah kerja di sini, bagaimana bisa kau sudah ada di Los Angeles lagi?"
"Untuk apa aku pindah ke Seoul lagi? Astaga, Jeonghan, sungguh, kau kenapa sih?"
Jeonghan menggaruk kepalanya. Dia yang seharusnya menanyakan itu pada Joshua. "Kau tidak sedang mengerjaiku, kan?"
"Untuk apa? Memang aku tidak punya pekerjaan lain yang lebih penting?" Joshua mendengus. "Kalau kau memang merindukan Seungcheol, ganggu dia, jangan aku."
"Kalau begitu kau mabuk. Bagaimana mungkin aku mengganggu Cheol?"
"Kenapa tidak? Kurasa dia akan tetap menjawab panggilanmu meski jadwalnya padat."
"Cheol ada enam meter di bawah tanah, Joshua! Dia tidak akan bisa menerima panggilanku." Jeonghan mulai putus asa. "Kau kenapa, sih? Kenapa kau bersikap seolah-olah Cheol tidak mati dan kau tidak pindah ke sini?"
"Karena semua itu memang tidak terjadi, Yoon Jeonghan," Joshua membalas sama kerasnya. "Aku tidak berniat pindah ke Seoul lagi, dan kalau Seungcheol mati, aku pasti akan membaca kabar kematiannya. Dia masih salah satu idol Korea Selatan paling terkenal, kalau kau lupa."
Nada sarkastik dalam ucapan Joshua cukup membuat Jeonghan kesal, tapi dia tidak sempat merasakan itu. Jeonghan terdiam begitu lama memikirkan kata-kata yang dia dengar. Karena semua itu memang tidak terjadi. Bagaimana mungkin semua itu tidak terjadi?
Semua kesedihannya. Ribuan, bahkan jutaan orang di luar sana yang menangisi kepergian Seungcheol. Malam-malam yang dia habiskan menenggak berliter-liter alkohol untuk menenggelamkan emosinya yang tidak sanggup dia hadapi. Semua itu nyata. Semua itu tidak mungkin hanya mimpi.
"Berhenti menggangguku, Jeonghan," kata Joshua tegas, lalu mengakhiri telepon.
Jeonghan menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong setelahnya, masih memproses percakapan barusan. Baiklah. Jika Joshua bilang semuanya tidak terjadi, mungkin sekarang saatnya membuktikan itu. Antara dia atau Joshua yang sudah gila akan terbukti dengan sebuah panggilan telepon.
Jari Jeonghan gemetar saat dia menekan nomor Seungcheol. Bunyi panggilan yang terhubung namun belum terangkat membuat jantungnya berdetak begitu kencang. Tubuhnya seketika menjadi kaku karena ternyata, panggilan itu dijawab oleh si pemilik nomor.
"Hannie? Kenapa kau menelepon?"
Jeonghan terperenyak. "Cheollie?"
Tidak. Tidak mungkin. Bagaimana mungkin Seungcheol menjawab? Tidak ada ponsel di surga, kan? Atau di dalam peti mati Seungcheol? Bagaimana mungkin dia bisa menjawab? Apakah semesta sedang mengerjainya, atau dia baru bangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata? Mungkin saja yang terakhir itu benar. Itu menjelaskan kenapa kepalanya sakit sekali saat bangun pagi ini.
"Jeonghan, kau masih di sana? Ada apa?"
Suara Jeonghan tersangkut di lehernya. Satu-satunya bagian tubuhnya yang berfungsi hanyalah kelenjar air matanya yang kini giat memompa air. Seungcheol bertanya beberapa kali setelahnya, tetapi Jeonghan sama sekali tidak bisa membalas. Suara Seungcheol terdengar tidak nyata. Semua ini masih tidak nyata.
"Yah, Yoon Jeonghan, jawab aku," Seungcheol kini terdengar panik. "Kau kenapa? Kenapa kau menangis?"
"Uh," Jeonghan memaksakan diri membuat suara. "Uhm."
"Hannie, kau baik-baik saja?"
"Uh, tidak." Jeonghan menarik napas panjang, berusaha mengendalikan dirinya. "Aku baru saja bermimpi buruk."
"Eung? Apa semenakutkan itu?"
"Aku bermimpi kau mati."
Seungcheol tidak menjawab. Jeonghan tidak tahu apa yang harus dia lakukan dalam sunyi seperti ini. Dia akhirnya menceritakan secara garis besar apa yang dia rasakan seminggu terakhir — entah mimpi atau betulan, dia tidak lagi tahu. Berita kematian Seungcheol. Pemakamannya yang ramai oleh fans dan kamera. Kekosongan dalam hatinya yang tidak bisa dipenuhi meski dia sudah menuangkan berbotol-botol alkohol ke dalamnya. Bahkan kehadiran Joshua dan sikapnya yang berubah sejak kembali dari Los Angeles.
"Jeonghan," panggil Seungcheol saat Jeonghan sudah mulai sesak. "Yoon Jeonghan."
Suara Seungcheol yang rendah seperti selimut hangat yang melingkupi Jeonghan. Menurut orang-orang, kecemasan harus ditangani dengan memberikan pelukan, kan? Entah. Jeonghan melihatnya di sebuah drama yang dia tonton beberapa hari yang lalu. Meski tidak dipeluk secara langsung, Jeonghan merasakan kecemasannya berkurang sedikit demi sedikit.
"Itu hanya mimpi, oke?" lanjut Seungcheol. "Itu hanya mimpi."
Jeonghan mengangguk. "Hanya mimpi."
"Itu tidak nyata."
"Kau ada di sini, kan?"
"Aku ada di sini. Aku masih di sini."
"Kau tidak akan pergi?"
Entah bagaimana, Jeonghan mendengar Seungcheol tersenyum. "Tentu saja," balas Seungcheol. "Aku tidak akan pergi."
Napas Jeonghan berangsur-angsur menjadi teratur. Dia mengusap air matanya sambil mendengarkan Seungcheol berkegiatan di seberang sana. Pemuda itu mendendangkan sesuatu yang tidak Jeonghan kenali. Mungkin lagu barunya. Mendengarnya mampu menenangkan Jeonghan hingga dia sama sekali berhenti menangis.
Seungcheol masih ada di dunia ini. Masih bisa menjawab telepon Jeonghan. Semoga saja ini bukan mimpi yang terlalu indah di mana Jeonghan harus bangun akhirnya. Jika inilah yang berupa mimpi, lebih baik Jeonghan tidak bangun.
"Ayo bertemu," kata Jeonghan. "Hari ini? Atau kapan kau luang?"
"Jangan hari ini," balas Seungcheol. "Aku sudah ada janji dengan salon, kemudian penata gaya. Sebentar lagi aku akan comeback, ingat? Ada begitu banyak hal yang harus aku urus."
Jeonghan tidak ingat, tapi dia tidak mempertanyakannya. "Baiklah. Tapi aku ingin bertemu denganmu."
"Hm." Seungcheol berpikir sejenak. "Bagaimana kalau minggu depan? Di hari ulang tahunku, setelah aku melakukan live. Aku akan makan dengan keluargaku. Kau ikut saja."
"Aku menyukainya," Jeonghan tersenyum. Sesuatu terasa mengganjal meski dia tidak tahu apa. "Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lebih lama. Aku juga harus bekerja. Sampai bertemu, Cheollie."
"Bekerja? Siapa yang akan comeback hingga kau harus bekerja di hari Minggu?"
"Minggu? Bukankah ini hari Selasa?"
"Cek kalendermu lagi, Hannie. Atau matamu. Mungkin kau sudah harus pakai kacamata." Seungcheol tertawa. "Oh ya, aku sudah hampir sampai di salon. Sampai bertemu minggu depan."
Begitu panggilan itu berakhir, Jeonghan langsung mengecek tanggal di ponselnya. Dia mengerjapkan mata berulang-ulang setelah menyadari apa yang dia rasa aneh saat membuka ponsel tadi. Juga kenapa Joshua bersikeras semua yang terjadi seminggu belakangan tidak nyata dan Seungcheol berkata sendiri kepadanya bahwa semua itu hanya mimpi buruk.
Jeonghan terbangun satu tahun sebelum semua itu terjadi.
Semesta pasti bercanda, kan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro