7: Survivor
"Jika kau dekat dengan ibu, dia pasti pernah menceritakan padamu bagaimana anak laki-lakinya ini mematahkan tulang punggung seorang perampok."
Jeongin mengatupkan belah bibirnya rapat-rapat. Ada rasa enggan dalam hatinya untuk bertanya lebih lanjut karena merasakan kilat amarah di dalam diri Minho. Bibi pemilik supermarket tak pernah menceritakan perihal Minho yang mematahkan tulang punggung seorang perampok. Terlepas dari benar atau tidak, itu cukup membuat Jeongin terkejut.
Tak banyak bicara lagi, Jeongin ikuti ucapan Minho sebelumnya. Ia berjalan menjauh untuk menemui semua orang yang tengah berlindung di balik reruntuhan tak jauh dari sana. Terlihat dengan jelas mereka tengah mengintip Jeongin dan Minho tadi.
"Kenapa kau tidak membawa kak Minho juga?!" Han mengeluarkan omelannya kala Jeongin baru memijakan kaki di dekat mereka. Keningnya berkerut heran menuntut sebuah jawaban.
"Kak Minho yang meminta—"
"MINHO!"
TRANG!
Tubuh mereka menegang kala mendengar pekikan panik dari Chan diikuti dengan pedang yang saling beradu. Tatapan kedelapan orang tersebut mengamati sosok Minho dibalik kepulan debu yang masih berdiri dengan tegap di sana. Salah satu tangan si pemuda menggenggam sebuah katana yang terlihat tak kalah tajam.
Minho melompat mundur kala dirinya berhasil menepis pedang milik makhluk tersebut yang ia tahan beberapa menit lalu. Setelah itu, si pemuda bergerak ke samping dengan cepat untuk setidaknya melumpuhkan kaki dari sosok menyeramkan itu. Namun sayangnya itu tak berhasil karena refleks si makhluk cukup bagus untuk menghindar.
Deru nafas Minho terdengar tak beraturan. Peluh yang mengucur dengan deras dari pelipisnya menandakan bahwa si pemuda cukup lelah untuk kembali bergerak lebih dari itu. Tentu saja, tenaga Minho benar-benar terkuras hanya untuk menahan tebasannya mengingat kekuatan makhluk hijau itu lebih besar dari perampok yang ia hadapi beberapa tahun lalu.
Minho melepas katana-nya dan membiarkan benda tersebut menghilang satu detik setelah lepas dari genggaman. Ia kembali melompat mundur untuk memberi jarak sebelum akhirnya sebuah anak panah ia lesatkan dan menacap tepat di salah satu mata milik makhluk itu.
Pekikan kesakitan terdengar. Langkah kaki si makhluk hijau bergerak tak terarah hingga tersungkur karena bongkahan bangunan yang ada di sana. Genggaman pada pedang miliknya terlepas untuk menghalau rasa sakit pada salah satu matanya.
Sedangkan Minho segera berlari menghampiri dan melompat naik pada punggungnya. Pemuda tersebut mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya hingga sebuah kapak muncul di dalam genggaman. Ia pererat pegangan pada gagang kapak tersebut, mengerahkan seluruh tenaganya yang tersisa. Sebelum akhirnya menebaskannya pada leher dari makhluk yang menyerangnya hingga terputus.
Changbin yang melihat itu hanya meringis kecil. Ada rasa ngeri di dalam hati melihat seberapa menakutkannya Minho yang sebelumnya terlihat tak peduli pada nyawanya sendiri.
Lain hal nya dengan Changbin, Han malah bersiul kagum melihat aksi yang baru saja dilakukan oleh Minho. Senyumannya merekah, lantas menghampiri sosok Minho yang telah jatuh terduduk dengan nafas terengah.
"Sepertinya pak tua itu benar, kau yang paling tahu mengenai kekuatanmu sendiri. Bagaimana bisa kau menggunakannya? Maksudku, kau memiliki kekuatan keren seperti itu?!"
"Hanya kebetulan." Itu adalah jawaban yang dikeluarkan oleh Minho sebelum akhirnya tubuh pemuda tersebut tumbang karena kelelahan.
Minho tak pernah menggunakan kekuatannya sebanyak ini. Biasanya ia hanya menggunakan satu senjata dengan jangka waktu sebentar untuk latihan. Ia tak menyangka bahwa dirinya akan mengerahkan seluruh tenaga hanya untuk membasmi satu makhluk. Itu membuatnya lelah, dan ia membutuhkan waktu untuk mengisi tenaganya.
Ah, mungkin karena Minho sendiri tak berpikir akan melakukan hal tersebut hanya untuk menyelamatkan nyawanya. Jadi, Minho tak berlatih menambah stamina-nya agar bertahan lebih lama di arena.
"Namanya Orc. Monster level dua." Felix berjalan mendekat. Ia tatap lamat-lamat makhluk yang disebut Orc tersebut.
Han mengerling pada Felix. "Jadi, kau sudah percaya bahwa semua ini nyata?"
"Bagaimana mungkin aku tetap tidak percaya setelah melihatnya langsung dengan mata kepalaku sendiri?" cibir pemuda Lee itu dengan sinis. "Tapi aku tak mengerti, bagaimana caranya Minho mengendalikan kekuatan miliknya."
"Kita akan bertanya padanya nanti," sahut Seungmin. Pandangannya melihat sekeliling seolah memastikan bahwa saat ini daerah yang mereka tempati aman dari serangan Orc yang lain. "Bukankah seharusnya sekarang kita mencari tempat berlindung terlebih dahulu? Setidaknya agar monster-monster yang lain tidak menyerang di saat kita tak memiliki seseorang yang dapat membunuhnya."
Benar apa yang dikatakan oleh Seungmin. Mereka harus mencari tempat untuk membiarkan Minho beristirahat dan mengisi energinya yang terkuras. Maka dari itu, tanpa banyak bicara lagi, Chan sebagai yang paling tua segera menggendong tubuh Minho yang tergeletak layaknya mayat di atas tanah itu sebelum akhirnya bergerak mengikuti yang lain. Sesaat pemuda kelahiran Australia tersebut melihat Yongbok yang tampak murung di sampingnya. Sudah sejak tadi malam Yongbok enggan berbicara dan Chan khawatir akan hal itu.
"Apa kau lelah? Bok-ie?"
Yongbok mendongak. Senyum manisnya terlukis seakan mengatakan pada Chan bahwa ia baik-baik saja selama ada pemuda tersebut di sampingnya. "Aku tidak selemah itu, kak. Jangan terus-menerus memperlakukanku seperti anak kecil."
Kekehan terdengar dari sosok Chan. "Tapi kamu masih bayi di mataku."
"Percakapan menjijikan macam apa itu?" desis Felix yang berjalan di hadapan mereka. Tentu saja ia akan mendengar percakapan yang cukup menjijikan baginya. Tidak, Felix tidak iri. Untuk apa ia iri pada sosok memuakkan seperti Yongbok maupun Chan?
"Anu, kak Felix, kan?"
Felix menolehkan kepalanya pada Jeongin yang terlihat hendak bertanya sesuatu. Sebelah alis miliknya terangkat, kembali menunggu apa yang hendak dikatakan pemuda tersebut.
"Sebelumnya Orc itu keluar, kau meminta kak Minho untuk pergi. Dan setelah Orc-nya terbunuh, kau langsung memberitahu makhluk apa dia. Bagaimana bisa kau mengetahui hal tersebut?"
Ia mengedikan bahunya tak acuh. Sejujurnya, Felix sendiri tak tahu mengapa ia bisa tahu semua itu. Di dalam kepalanya seperti ada yang berbisik dan memberitahu semuanya. Mungkin itu merupakan kekuatan Felix, tetapi ia pun tak tahu bagaimana cara menggunakannya. Seingat Felix, saat itu ia meletakan telapak tangan pada batang pohon. Dan setelahnya, ia mendengar deru nafas Orc di bawah tanah yang Minho pijak. Kemudian boom! Semuanya terjadi begitu saja.
"Kau sungguh tak tahu?"
"Jika aku tahu, aku mungkin akan percaya lebih dulu daripada kalian, bocah."
Jeongin mendesah kecewa. Harapannya untuk mengetahui bagaimana cara menggunakan kekuatan di dalam diri mereka sirna begitu saja. Ia tak mendapatkan petunjuk yang bermanfaat. Semua kekuatan mereka muncul begitu saja tanpa disadari. Mungkin hanya Minho satu-satunya jalan untuk menghilangkan rasa penasaran itu, tetapi Jeongin tak tahu kapan pemuda itu akan bangun. Bisa saja ia membutuhkan waktu seharian untuk mengisi tenaganya. Atau lebih dari itu.
"Apa tak ada cara lain untuk menggunakannya?" Jeongin meringis kecil, terlihat putus asa karena rasa takut yang tiba-tiba menjalar di dalam dirinya.
Menyebalkan. Memikirkan hal ini membuatnya takut dan lelah di saat yang bersamaan. Mengapa pak tua itu tak langsung memberitahunya? Ayolah, ini bukan film misteri yang segalanya akan terkuak seiring waktu berjalan. Akan sangat lama jika Jeongin hanya menunggu hingga ia sadar bagaimana cara menggunakan kekuatan yang ada di dalam tubuhnya. Waktu yang tersisa hanya sedikit sebelum akhirnya semua monster itu perlahan mencabik tubuhnya hingga tak tersisa. Jika Jeongin sendiri tak bisa melawan, lantas bagaimana bisa ia mempertahankan hidup dan membantu dunia memulihkan dirinya?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro