4: Survivor
Kim Seungmin merasakan perih pada ulu hatinya ketika tendangan itu melayang. Tubuh ringkihnya terlempar dengan cukup kuat hingga membentur dinding yang ada dibelakangnya. Ia terbatuk, memuntahkan isi perutnya yang naik akibat tendangan tersebut. Nafas yang teratur dengan ringisan pelan keluar dari bibir tipis nan pucat itu mengundang kekehan puas dari tiga orang yang menghadang.
Bukan hal aneh jika melihat Kim Seungmin tengah meringkuk kesakitan seperti itu. Semua mahasiswa di kampus sudah terbiasa melihatnya. Walaupun begitu, tak ada dari mereka yang berani membantu karena enggan berurusan dengan tiga orang yang melakukan hal keji tersebut.
Seperti biasa, kekuasaan lah yang melakukannya. Seberapa besar mereka ingin membantu, tetapi harus kembali diurungkan jika tak ingin menjadi korban selanjutnya. Maka dari itu, mereka seakan menulikan telinga dan menganggap bully-an tersebut angin yang lewat.
BUGH!
Suara pukulan itu kembali terdengar, begitu nyaring memekakkan rungu mereka. Sekali lagi, Seungmin terbatuk. Kedua tangan lemahnya memeluk perut yang kian terasa nyeri.
"Kenapa tidak ada perlawanan?" salah satu dari mereka menginjak pinggang pemuda malang tersebut. "Apa kau ini banci? Lawanlah sedikit dengan ototmu."
"Kau berpikir si lemah ini memiliki otot?"
Ketiganya tertawa dengan lebar seakan apa yang dikatakan tersebut adalah hal terlucu di dalam hidup mereka. Tanpa berpikir bahwa ucapan tersebut mampu melukai perasaan orang yang dimaksud
Seungmin tidak lemah, hanya saja ia terlalu lelah untuk membalas. Pemuda itu membutuhkan waktu untuk istirahat agar ia bisa bekerja semaksimal mungkin untuk mencari biaya pengobatan ibunya. Hanya Seungmin yang ibunya miliki. Jika bukan dia, lantas siapa lagi yang akan menanggung semua pengobatan ibunya itu?
Enak ya jadi orang kaya? batin Seungmin meringis. Ditatapnya sendu mereka yang masih sibuk memberikan tendangan pada tubuh si pemuda yang bahkan tak bisa lagi bergerak. Rasanya untuk bernafas pun sudah sulit karena rasa sesak yang menyerang pernafasannya.
"Ayolah, beri kami sedikit hiburan," celetuk yang lebih muda di antara ketiganya. Jemari tangan pemuda itu menarik paksa rambut cokelat dengan gradasi hitam milik Seungmin agar mendongak.
Na Jaemin—salah satu di antaranya—mengambil pematik dari dalam saku celana. Ia nyalakan pematik tersebut lantas mendekatkannya pada wajah Seungmin yang mulai pucat. "Seungmin-ah, ayo hibur aku sedikit? Mungkin aku harus membakar sedikit wajah mulusmu itu?" seringai terlukis begitu jelas pada wajah Jaemin yang tampak mengerikan.
Kedua bola mata Seungmin melebar. Tanpa disadari, ia menepis kasar tangan Jaemin agar menjauhkan pematik tersebut dari wajahnya. Entah tenaga darimana, Seungmin coba mendudukan tubuhnya dan semakin menghimpitkan tubuhnya pada dinding yang ada di belakang. Pemuda bermarga Kim itu menggeleng ribut kala Jaemin semakin mendekatkan pematik yang menyala tersebut pada wajahnya.
Seungmin, berjanjilah pada ayah untuk menjaga ibumu.
Seungmin gigit kuat bibir pucatnya. Ucapan sang ayah kembali berputar di dalam memori otak, diikuti oleh kobaran api besar yang mulai melahap sosok itu secara brutal. Kenangan di masa lalunya kembali terbayang, membangunkan trauma yang selama ini telah Seungmin kubur dalam-dalam di dalam dirinya.
Hanya dengan api kecil dari pematik itu berhasil membuat tubuh Seungmin gemetar tak terkendali. Dengan nada memohon yang menyakitkan, si pemuda berucap, "Apapun asal jangan dengan api. Kumohon."
Tetapi Jaemin menulikan pendengarannya. Ia kian mendekatkan pematik tersebut hingga berjarak beberapa senti lagi pada hidung bangir milik si malang. Bahkan Seungmin dapat merasakan panasnya hingga menjalar ke seluruh tubuh.
"Tidak! Jangan--"
Brak!
"--sakit!"
Seungmin meringis. Bokongnya terasa sakit ketika membentur lantai yang keras. Terlalu sakit,
Sampai ia mengabaikan fakta bahwa dirinya tak lagi berada di tempat yang sama.
"Ya Tuhan, kau muncul darimana?! Jangan mengejutkanku!"
Keheningan melanda. Baik Seungmin maupun orang tersebut tak ada yang hendak membuka pembicaraan kembali. Keduanya masih sama-sama shock ketika melihat kehadiran masing-masing.
Sosok itu--Seo Changbin--merasa bahwa dirinya sudah benar-benar seorang diri di sini. Tetapi mengapa tiba-tiba ada orang lain yang jatuh tepat di hadapannya? Ia berani bersumpah, tak ada siapapun sebelumnya di sini!
"Sebentar," titah Changbin kemudian. Mendekat ke arah Seungmin yang masih terdiam, pemuda tersebut mulai berjongkok tepat di hadapannya. Ia usap rambut cokelat milik Seungmin sebelum akhirnya turun mengusap luka lebam pada bibir yang lebih muda. "Kau terlihat seperti kutu buku. Tapi faktanya kau pandai berkelahi, ya?"
Ringisan kecil Seungmin perdengarkan. Ia tepis pelan jemari tangan Changbin yang masih setia mengusap luka lebam di bibirnya. Tak ada jawaban pasti dari pertanyaan yang Changbin berikan karena sekarang Seungmin terlihat tengah mencoba untuk berdiri dengan bersusah payah. Nafasnya tersengal walau ia baru saja melakukan satu gerakan. Rasa nyeri kembali menjalar di seluruh tubuhnya setelah beberapa menit lalu tak dirasakan.
Memang bagus jika Seungmin dapat lepas dari Jaemin yang menggila. Tapi persetan, bisakah Tuhan lebih berbaik hati padanya dengan memindahkan tubuh penuh luka itu dengan baik dan aman?
"Sakit?" Changbin ikut meringis seolah merasakan perasaan sakit yang sama ketika melihat Seungmin yang berjalan dengan tertatih. "Kupikir kau perlu ke rumah sakit?"
"Tentu saja akan aku lakukan jika aku mampu."
Changbin menghela nafas pelan. "Kalau begitu, ayo pergi bersamaku? Aku yang akan menanggung biaya-nya. Rumah sakit ayahku dekat dari sini," tawar si pemuda kemudian seraya menuntun Seungmin untuk duduk bersandar di dinding.
"Tidak, terima kasih atas tawaranmu. Ibuku lebih penting dan ah--" ucapannya mengambang sesaat. "--aku ada jam kerja hari ini."
"Bekerja?" sebelah alis Changbin terangkat bingung. "Kau ingin bekerja dengan keadaan seperti itu?"
Tentu saja Seungmin mengangguk sebagai jawaban. Mau bagaimana lagi? Itu yang harus ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan menanggung biaya ibunya yang terlelap di rumah sakit setelah bertahun-tahun lamanya mengalami kritis. Satu-satunya yang bisa diharapkan adalah Seungmin, sekaligus untuk menopang hidup sang ibu yang telah di ambang batasnya.
"Ibu membutuhkanku--"
"Aku mengerti. Tapi...," putus Changbin. Tatapan perlahan beralih pada darah yang mulai menetes mengotori lantai yang sedang ia pijak. "Apa kau yakin bekerja dengan keadaan sedang berdarah seperti itu? Lukanya memang tak berat...." Kembali ia gantung ucapannya. Ada yang aneh. Kenapa darah yang keluar tidak mau berhenti? "Hanya saja, darah yang keluar dari lukamu bahkan tak berhenti sedikitpun."
Seungmin meringis di dalam hatinya. Ia lupa perkara ini. Dokter mengatakan ia tak boleh terluka sedikitpun. Mungkin luka lebam tak masalah, tetapi akan buruk jika luka itu mengeluarkan darah. Seharusnya Seungmin sedikit melawan agar tak seperti ini nantinya. Jika sudah begini, siapa yang akan merawatnya? Biaya untuk menghentikan darah itu cukup mahal karena Seungmin masih belum tahu caranya menghentikan pendarahan itu seorang diri.
"Hey, kau pucat."
Terkutuklah pada takdir yang memuakkan. Biarkan Seungmin memejamkan matanya untuk sekarang. Ia tak tahan untuk terus tersadar di saat tubuh dan batinnya sudah meraung meminta untuk diistirahatkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro