Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3: Survivor

Christopher Bang atau pemuda yang kerapkali disapa Chan melangkahkan kakinya dengan gontai memasuki sebuah club malam di dekat pusat kota Seoul. Jaket kulit berwarna hitam yang melapisi tubuhnya ia rapatkan semata-mata untuk menghalau dingin yang menyapa. Khusus malam ini, ia memutuskan untuk mengambil cuti dari bar tempatnya bekerja. Semata-mata hanya untuk melepas penat karena baru saja kedatangan sang adik tiri beberapa waktu yang lalu.

Lee Yongbok--adik tiri dari Chan--, lelaki berparas manis yang memikat itu datang menemuinya ke apartement yang saat ini Chan tinggali. Penampilan Yongbok terlihat amat kotor, dengan luka lebam yang memenuhi seluruh parasnya. Hal itu membuat Chan kian kalut dalam rasa bersalah karena telah meninggalkan si manis seorang diri selama enam tahun lamanya.

Walau bisa dibilang ibu dari Yongbok lah yang merenggut kebahagiaan Chan, pemuda tersebut sama sekali tak dapat membenci sosok Yongbok saat netra berwarna kuning yang cantik tersebut menatapnya begitu lekat. Bahkan cengiran lebar yang menawan milik adik tirinya tersebut benar-benar berhasil menghasut sifat lembutnya untuk muncul ke atas permukaan.

Enam tahun lalu, Chan sempat mengajak Yongbok pergi bersamanya. Saat itu ia sudah tak tahan karena diperlakukan begitu buruk oleh ibu tirinya. Namun Yongbok menolak. Ia berpikir bahwa sang ibu masih membutuhkannya mengingat si wanita tak menelantarkannya setelah apa yang ia lakukan pada keluarga kecil mereka. Dalam hati kecil Yongbok, ia berharap ibunya kembali menyayanginya seperti dulu. Walau mungkin agak sedikit mustahil.

Sampai pada akhirnya, segala kekerasan yang seringkali Chan dapatkan, kembali dilimpahkan pada Yongbok. Chan tahu hal itu karena Yongbok kerapkali mengunjungi hanya sekadar bertukar kabar.

Tetapi lagi, melihat kondisi pemuda yang umurnya lebih muda dari Chan itu memburuk membuat hatinya teriris. Chan benar-benar ingin membebaskan Yongbok, sayangnya tawaran itu masih ditolak. Alasannya tetap satu, Yongbok masih menyayangi sang ibu. Tak peduli seberapa kerasnya tamparan yang dilayangkan, ataupun perihnya kepala yang dirasakan kala membentur dinding kokoh kediaman keluarga Bang; Yongbok tak pernah bisa membenci nyonya Lee. Mau bagaimanapun, wanita cantik itu adalah sosok malaikat yang telah bersusah payah melahirkannya.

"Reward untuk tanding nanti berapa?"

Chan mengalihkan atensinya dari segelas vodka yang ia pesan kala suara berat familliar menyapa rungu-nya. Kedua mata sipit miliknya memicing tajam, mencoba melihat dengan jelas sosok siluet yang duduk bersama gerombolannya tak jauh dari Chan berada. Chan kenal suara ini. Suaranya sungguh tak asing, khas milik seseorang yang saat ini masih memenuhi kepalanya.

Lee Yongbok.

"Katanya, sih, barang langka, Lix. Si sialan Jeno tak menyebutkan barang apa yang dimaksud."

"Obat jenis baru?" sosok itu sedikit menggeser duduk hingga wajah tampan miliknya dapat dengan jelas Chan lihat.

Benar, itu Yongbok; adik tirinya. Bagaimana bisa pemuda polos sepertinya masuk ke dalam club? Bahkan penampilan yang--

--bukan sepertinya.

"Bokk-ie, sedang apa kau di sini?"

Sosok itu menaikan sebelah alisnya. Wajah datar tak berminat yang sedaritadi ia pasang kian mendatar kala melihat Chan berdiri di sampingnya. Tak paham akan kondisi yang terjadi, pemuda itu biarkan Chan menarik tangannya untuk berdiri.

"Apa kau diam-diam ke tempat seperti ini?!" suara Chan meninggi. Entah, ada sedikit rasa kecewa yang menjalar di dalam hatinya.

Chan memang bekerja di club malam sebagai bartender, namun ia tak akan pernah mengizinkan keluarganya untuk menjejakkan kaki ke tempat hina penuh maksiat itu. Cukup Chan yang terjerumus dalam kesesatan duniawi, jangan yang lain.

"Aku memang sering ke sini. Apa masalahmu, pak tua?" pemuda itu menepis kasar genggaman Chan pada pergelangan tangannya yang semakin mengencang. Tatapan tajam si pemuda berikan, membuat nyali orang bertubuh sedikit lebih pendek itu perlahan menciut. "Dan tadi kau memanggilku apa? Bokk-ie? Nama jelek darimana itu, huh?"

"Yongbok--"

Sosok itu mendengkus kasar. "Aku paham mengapa kau bisa sampai salah orang." Ditariknya kerah jaket yang dikenakan oleh Chan, mengikis jarak keduanya untuk semakin dekat. "Rupanya kau kenal dengan si pelacur kecil itu, ya?"

Rupanya kau kenal dengan si pelacur kecil itu, ya?

Chan mengusap wajahnya menggunakan telapak tangan dengan gusar. Hatinya semakin tak tenang ketika kalimat itu terus berputar di dalam memori otaknya bagai kaset rusak. Bingung, penasaran, sakit, khawatir; bercampur aduk menjadi satu memenuhi rongga dadanya yang perlahan mulai terasa sesak. Tak ada penjelasan lebih lanjut mengapa pemuda itu memanggil Yongbok dengan panggilan pelacur seperti itu karena setelahnya, ia menghilang dengan kawanan yang bersamanya.

Ingin menyusul, namun tubuhnya seakan enggan untuk mengikuti perintah otak. Berakhir dengan ia yang kembali duduk termenung di dalam club.

Jika pemuda itu bukan Yongbok yang ia kenal, lantas siapa dia?

Tak mungkin Yongbok membelah diri, kan?

Atau memiliki kembaran di keluarga lain?

Seingat Chan, adik tirinya itu tak pernah sekalipun menceritakan kehidupannya yang dulu. Entah keluarganya, atau bahkan tentang dirinya sendiri. Chan baru sadar, bahwa memang keduanya tak pernah sedekat yang dipikirkan.

Lantas, mengapa Chan masih bersikap seolah-olah ia adalah sosok kakak yang harus melindungi adik kecilnya?

"Hei anak muda, kau terlalu membuang-buang waktumu. Apa ini? Kau sedang putus cinta?"

Suara itu membuyarkan lamunan Chan. Merasa bahwa dirinya lah yang di ajak bicara, Chan lantas menolehkan kepala menuju sumber suara. Ia dapati lelaki paruh baya dengan kumis tebal telah duduk di hadapannya. Secangkir bloody marry ditaruhnya pada meja, kemudian menopang dagu dengan tumpuan kedua tangannya.

"Tidak." Chan menggeleng. Kembali ia tuangkan vodka ke dalam gelas yang telah kosong. "Aku hanya sedang berpikir siapa gerangan bocah lelaki tadi."

"Bocah lelaki?" kening sang lawan bicara mengerut. "Oh, apa maksudmu Lee Felix?"

"Lee--siapa?"

Si lelaki mendengkus. "Lee Felix. Kau tak tahu dia siapa, nak?" ia mengetuk-ngetukkan jemari tangannya pada permukaan meja, menatap intens Chan yang penasaran. "Bagaimana jika kau berikan aku pelayanan, dan aku akan memberitahumu siapa itu Lee Felix."

Ah, mulai lagi. Chan sungguh muak. Ia selalu dikelilingi pria semacam ini di dalam hidupnya. Mengapa dunia masih berbaik hati pada penjahat kelamin seperti ini? Ayolah, lebih baik binasakan saja mereka semua. Setidaknya dunia akan membaik jika salah satu alasan rusaknya itu menghilang.

"Kau menginginkan tubuhku?" Chan bertanya tanpa raut wajah tersinggung sedikitpun. Ia ambil gelas miliknya, lantas meneguk vodka yang ada di dalam gelas tersebut hingga tandas. Tatapan sayu Chan perlihatkan, membuat sosok itu menyeringai tanda kemenangan. Chan raih pipi si lelaki, mengusapnya dengan seduktif.

Hingga akhirnya,

Tanpa disangka, pemuda tersebut menghantamkan kepala si lelaki ke meja. Netra berwarna birunya perlahan menyala, menatap nyalang bajingan yang tak memberikan respon apapun selain ekspresi takut tersebut. "Lebih baik aku menyerahkan tubuhku pada sugar daddy, daripada pria bangkotan sepertimu yang bahkan tak memiliki uang sepesermu. Aku yakin milikmu juga sudah letoy karena tidak ada yang mau memanjakannya."

Rambut hitam yang digenggam Chan perlahan mulai membeku, memberikan sensasi dingin untuk si lelaki yang tubuhnya mulai menggigil.

"Lee Felix, kan?" Chan melepaskan genggaman pada rambut yang telah membeku setengahnya itu. "Terima kasih sudah memberitahuku namanya. Aku bisa mencarinya sendiri." Lantas berbalik dan meninggalkan club tersebut tanpa sepatah kata apapun lagi.

Jujur, Chan marah kepada semesta. Terutama kepada manusia-manusia tamak akan duniawi. Tak sadarkah mereka jika apa yang dikejar tak akan pernah memberikan kepuasan bagi diri sendiri?

Masih tetap menggenggam harapan  yang sama, Chan berharap bahwa dunia membinasakan segalanya. Tak peduli bahwa ia pun akan ikut binasa nantinya; sama seperti apa yang diharapkan oleh Jeongin juga Minho.

Dunia benar-benar telah rusak, dipenuhi oleh manusia-manusia tak tahu malu dan penuh nafsu. Tak jarang Chan melihat orang dewasa melakukan hal senonoh pada anak muda. Mungkin bagi mereka, remaja adalah pemuas nafsu yang hadirnya hanya untuk dijadikan alat semata.

Menjijikan. Ia berharap dirinya dapat menolong mereka yang menjadi korban. Namun segalanya terhalang oleh kekayaan. Chan tak semampu itu untuk membawa mereka pergi bersamanya disaat ia sendiri masih kesusahan untuk biaya hidupnya. Ibarat yang miskin akan tetap terinjak, dan yang kaya akan tetap hidup di atas, membuat mereka harus jatuh berlutut pada kekuasaan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro