21: Survivor
"Sialan, apalagi kali ini? Zombie?!" Felix kebingungan. Dalam keadaan seperti ini, ia tak bisa memanggil Farrabi yang ukurannya besar ataupun Phoenix yang bisa membakar mereka. Dilihat dari manapun, manusia-manusia itu tampak terlihat mampu bertahan dari api Phoenix-nya. Itu ide buruk. Bisa saja malah teman-temannya yang akan habis terbakar. "Pak tua itu tidak pernah mengatakan zombie termasuk ke dalam sesuatu yang akan kita hadapi!"
Minho menghela nafas lelah. Sejujurnya, ia sendiri membutuhkan istirahat setelah seharian penuh mendapatkan kejadian yang menguras tenaga. Ingin menyerahkan diri kemudian mati dengan tenang, tapi kilatan tekad dari netra Jeongin saat itu menggagalkan keinginannya. Karena itu pula lah yang membuat Minho tetap bertahan meskipun ia masih belum menemukan dirinya yang lama. Tatapan matanya masih sama seperti awal mereka dikumpulkan. Kosong dan tak bersemangat. Jika disandingkan dengan manusia di kelompok tiga, tak ada hal yang dapat membedakannya.
Minho pusatkan mana-nya, memfokuskan diri untuk memanggil sebuah senapan yang selalu ia gunakan seharian ini. Diarahkan olehnya senapan itu pada para manusia yang berlari ke arah mereka. Namun saat hendak menarik pelatuknya, senapan milik Minho ditahan oleh Jeongin. Minho bisa melihat jika Jeongin menggeleng tanda tak setuju. Manusia-manusia itu masih berada di golongan yang sama dengan mereka. Jika Minho menembakan peluru, kemungkinan besar manusia itu tak bisa dikembalikan, menurutnya.
"Bukan saatnya memikirkan manusia lain, Je." Minho menepis tangan Jeongin dari senapannya, kembali mengarahkan senapan itu pada para manusia di hadapannya.
"Tidak! Jika pola pikir kita masih seperti itu, kita sama saja seperti manusia tamak yang dibinasakan, Kak!"
Minho tertegun.
Benar.
Apa tujuan sebenarnya dunia membinasakan diri hingga orang-orang ini turut binasa?
Demi membinasakan mereka yang tamak dan menyelamatkan golongan yang penuh akan luka tak kasat mata?
Senyum tipis Minho lukiskan. Bodoh sekali. Minho sama tamaknya seperti mereka yang binasa. Hanya saja, takdir sedikit menggoreskan pisau pada jiwa itu untuk membunuhnya. Minho tak jauh beda dengan mereka. Lantas mengapa... Tuhan memberikannya kesempatan untuk bertahan?
Benarkah mereka yang bertahan semata-mata untuk membantu dunia memulihkan dirinya? Atau Tuhan ingin mereka lebih menderita dibandingkan yang lain?
"Tidak masalah, Je." Suara Felix mengalihkan atensi Jeongin. "Pollux bilang, mereka adalah undead. Makhluk tak terdefinisikan level-nya. Yang gosong adalah level tiga, yang pucat adalah level dua, dan yang rupanya seperti manusia biasa adalah level pertama. Kau tak perlu takut, mereka bukan golongan kita." Ia turut memfokuskan dirinya untuk memanggil hewan selain Phoenix dan Farrabi. Netranya mulai menunjukkan kilat orange yang cantik. Sebelum akhirnya, seekor makhluk asing berwarna hijau mulai muncul bersama cahaya yang menyinari sekeliling tubuhnya.
Makhluk itu berukuran kecil. Rupanya seperti seekor kucing dengan mata bulat menggemaskan juga telinga kelinci bergerak kesana-kemari merespon suara. Warna hijau tua pada bagian atas dan warna hijau muda di bagian perutnya menjadi gradasi paling cantik. Ia memiliki sayap serupa kupu-kupu, kakinya dua, sedangkan tangannya empat. Ekornya tampak seperti tumbuhan rambat yang menggantung.
Pollux menyebutnya dengan nama Gene. Elemen yang ia miliki adalah alam, dimana dirinya bisa menumbuhkan tanaman sesuai keinginan dari pemanggilnya, yaitu Felix. Sejujurnya, memanggil Gene membutuhkan mana yang lebih besar dibandingkan dengan Phoenix dan Farrabi. Itulah kenapa, belum sempat meluncurkan serangan, nafas milik Felix sudah terengah.
"Lix, jangan memaksakan diri," peringat Han.
Felix tidak mengacuhkannya. Ia justru menggerakan jemari tangan sebagai gestur agar Gene menyerang manusia-manusia itu yang mulai semakin dekat dengan mereka. Tanaman rambat perlahan tumbuh dari sela-sela bebatuan dan tanah di dalam goa itu, bergerak hingga melilit kuat para undead, membuat pergerakan mereka terhenti. Meskipun tentu mereka masih senantiasa memberontak untuk membebaskan diri.
Dengan sigap Han dan Minho berlari ke arah mereka yang pergerakannya ditahan oleh Felix. Seperti yang dikatakan oleh pemuda itu sebelumnya, Han maupun Minho mulai memukul dan menebaskan katana tepat di kepala manusia yang tampak terlihat seperti zombie. Chan membantu dari belakang dengan menancapkan belati es ke beberapa manusia itu. Sedangkan Hyunjin hanya diam di belakang bersama Changbin, Jeongin, dan Yongbok karena tak ada darah yang bisa ia gunakan untuk menyerang.
Zrash! Minho kembali menebaskan katana-nya ke leher beberapa makhluk, melompat sesekali untuk menghindar dari mereka yang berusaha menarik kaki dan tangannya, sebelum akhirnya mengubah katana itu dengan glock untuk melubangi kepala mereka.
"Han, perhatikan langkahmu!"
Bugh! Han melompat mundur tepat saat salah satu dari mereka berhasil memukul perutnya. Ia meringis kecil, menyentuh perutnya yang terasa kram.
Changbin dengan sigap berlari ke arah Han. Jemarinya mulai menyingkirkan tangan si pemuda yang menghalangi. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, ia singkap kaos tersebut dengan paksa untuk memperlihatkan luka yang diterima oleh Han. Ada luka memar di sana. Warnanya ungu, nyaris seperti warna hitam. Changbin meringis perih, ikut merasa ngilu karenanya.
"Kak?" Han memanggil guna menyadarkan lamunan Changbin.
Membuat pemuda itu spontan menyembuhkan luka si pemuda tanpa banyak bicara lagi. Setelah tidak merasaka sakit pada bagian perutnya, Han kembali berlari menerjang sekumpulan undead yang tersisa.
Butuh waktu cukup lama untuk menghabisi mereka. Meskipun tak memiliki akal sehat, undead itu melawan dengan hebat sampai-sampai Minho maupun Han yang bertarung dengan jarak dekat cukup kewalahan. Belum lagi mana Felix tersisa sedikit, membuat tumbuhan rambat yang mengekang tubuh undead itu pun turut melemah. Banyak dari mereka yang berhasil lolos dari tumbuhan rambatnya sehingga membuat Minho dan Han semakin kepayahan. Sudah berkali-kali keduanya terluka, berkali-kali pula Changbin mengobatinya. Bangchan yang membantu dengan belati es nya pun turut kelelahan. Hingga akhirnya, hanya tersisa manusia dari level pertama.
Penyerangan dari mereka tidak se-agresif dua kelompok lainnya. Tetapi itu cukup rumit karena hati nurari seakan merasa bersalah begitu memandang wajah mereka, mengingatkan para pemuda itu kepada keluarga yang keberadaannya entah berantah.
"Tak ada waktu untuk bersimpati," peringat Felix yang masih mencoba mempertahankan tumbuhan rambat itu. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka berevolusi. Mungkin bisa lebih berbahaya dari yang pernah kita hadapi sebelumnya."
Han tersadar. Ia mengangguk setuju akan peringatan Felix. Begitu pula dengan Minho. Keduanya telah kembali berlari untuk melumpuhkan para undead yang tersisa, memotong tubuh mereka menjadi beberapa bagian agar tak bisa bergerak dan menyerang lagi.
"Terakhir." Han melompat ke belakangnya, lantas menendang undead terakhir tepat di tengkuk. "Nah, kita ke mana sekarang?" maniknya bergulir, menilik pintu-pintu tersebut yang terbuka lebar.
"Aku pikir ruangan panas dan dingin itu tidak bisa dilewati. Mau bagaimanapun, manusia seperti kita akan kesulitan bertahan dalam suhu ruang yang tidak main-main."
Felix menyetujui. Nafasnya terengah akibat mana dan tenaga yang terkuras habis. "Jika begitu, hanya ruangan dengan suhu normal yang bisa kita lalui."
"Apa tak masalah jika seperti ini?"
"Tentu saja." Felix kembali mendelik sinis pada Yongbok yang bertanya. "Kau tidak sedang merasa bersalah karena kita baru saja membunuh para undead itu, kan?"
"Lix."
Felix tepis tangan Han yang menyentuh lembut pundaknya. Tatapan si pemuda masih menatap Yongbok dengan penuh rasa dengki. "Berhentilah menjadi manusia yang naif, Lee Yongbok. Dunia tidak pernah sebaik yang selalu kau pikirkan."
Setelahnya, Felix melangkah masuk ke satu-satunya ruangan yang mampu mereka tempuh, mengabaikan sorot mata Yongbok yang perlahan mulai menunjukkan luka akibat ucapan dari pemuda tersebut.
Mendapatkan maaf dari Felix layaknya mencari jarum di tumpukan jerami. Sulit. Bahkan nyaris mustahil. Yongbok tahu itu. Bisa Yongbok lihat bagaimana kedengkian terpancar dari manik mata hitam selegam galaksi yang sinarnya telah pudar.
Tapi salahkah apabila Yongbok mendambakan maaf darinya? Biarlah jika hubungan mereka tidak sebaik dulu. Asalkan Felix memaafkannya, Yongbok tidak akan meminta lebih.
Felix, bersama luka yang terpahat di dalam hatinya secara permanen, tak mungkin memaafkan Yongbok hingga ia sadar bahwa kembarannya pun terluka.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro