Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20: Survivor

Lee Yongbok bisa merasakan tubuhnya seperti tenggelam, mengapung di dalam air yang begitu menyesakan dada. Pikirannya berantakan bak benang kusut. Dadanya sesak. Ia kesulitan bernafas. Yongbok coba buka kedua matanya yang tertutup rapat, menatap sayu pada sinar temaram di atas sana.

Kenangan-kenangan itu mulai berkelebat di depan matanya, seperti rekaman video yang sengaja ditunjukan menggunakan layar lebar. Sesak itu kembali menyapa ke rongga dada, menangis sejadi-jadinya tatkala menangkap figur Felix yang tersenyum penuh makna kearahnya.

Senyum itu, Yongbok selalu merindukannya. Jauh di lubuk hati si pemuda, ia begitu merindukan sang kembaran. Rasa bersalah terus-menerus menyapa semenjak keluarganya berpisah. Diantara semua insan yang mengetahui bagaimana sosok Felix di dalam keluarga, Yongbok lah yang paling tahu tentangnya.

Bagaimana sakitnya Felix yang tak pernah mendapatkan kasih dari sang ayah.

Atau bagaimana ketika anak berusia sepuluh tahun itu harus menangis sendirian di dalam kamar tanpa seorangpun memeluk erat tubuhnya.

Yongbok mengetahui itu. Ia mengetahui sisi kelam di balik diri Felix. Ingin membantu pun rasanya sulit. Saat itu, Yongbok hanyalah seorang anak naif yang tak tahu bagaimana caranya mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Mungkin jika ia mampu, Felix yang dulu tak perlu menghilang dan Yongbok merasa bersalah akan hal itu.

"Kak Felix...." Ia berbisik pasrah. Seraya menutup kembali kedua matanya, Yongbok biarkan tubuhnya ditarik untuk semakin tenggelam hingga dasar lautan.

"Lee Yongbok, bukalah matamu. Jika kau ingin mendapatkan maaf darinya, kau harus lebih berusaha agar pintu hatinya kembali terbuka."

Yongbok spontan membuka matanya dengan paksa. Bibirnya terbuka untuk meraup pasokan udara yang seakan menghilang dari paru-paru. Samar-samar pemuda itu melihat seekor singa betina dengan sayap keemasan melayang di atasnya. Singa itu menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum melihat Yongbok yang merespon. Sebelum akhirnya, sosok itu menghilang.

"Terima kasih, Castor."

Pandangannya yang memburam perlahan kembali seperti semula. Kini Yongbok bisa melihat dengan jelas ekspresi khawatir dari Chan yang tengah memangku kepalanya. Senyumnya merekah lebar, membuat Chan dan pemuda yang lainnya menghela lega.

"Aku kira kau mati, Yongbok." Han berujar, mendramatisasi keadaan seraya mengusap air matanya yang betulan jatuh dari sudut mata bulat itu. "Asal kau tahu, kak Chan berteriak seperti kesetanan ketika melihatmu tidak bernafas tadi!"

Chan mendorong wajah Han agar menjauh darinya lantas berujar, "Tidak."

"Akui saja, kau seperti itu tadi!"

Yongbok tertawa melihat perdebatan antara kakak tirinya dan pemuda Han itu. Seraya mendudukan dirinya, ia meyakinkan, "Aku baik-baik saja. Apa yang terjadi?" si pemuda alihkan pandangannya pada goa di depan mereka. Keningnya berkerut tanda keheranan.

"Kita terjatuh dari atas sana." Hyunjin menimpali dari belakang tubuh Han, menunjuk ke atas seraya mengintip takut-takut pada Yongbok yang menatapnya. "Entah keajaiban apa yang terjadi, kita bisa selamat hingga di dasar jurang. Bangun-bangun kita sudah berada di sini."

"Sepertinya kita harus bersyukur," celetuk Changbin setelahnya. "Jadi, kekuatan siapa yang bangkit kali ini?" ia tatap Jeongin di hadapannya.

Yang merasa ditatap menggelengkan kepala. Wajahnya tertekuk sedih. "Bukan aku. Aku tidak merasakan kekuatanku bangkit."

"Kalau begitu...." Kini pandangan Changbin beralih pada Yongbok yang masih terduduk. "Kekuatan seperti apa yang kau miliki sampai-sampai bisa menyelamatkan kita yang jatuh dari ketinggian yang tidak main-main?"

"Aku...." Bibir Yongbok berhenti bergerak. Ia tatap jemari tangannya yang gemetar. "Tidak tahu."

"Baiklah, tidak masalah. Kita akan tahu nanti."

Yongbok mengangguk seraya berdiri dengan bantuan dari Chan. Felix mengatakan jika mereka harus masuk ke dalam goa tersebut. Tak ada pilihan lain. Andai kedelapannya memilih untuk jalan berlawanan arah, tak ada yang tahu pasti apakah mereka akan sampai ke tempat tujuan, atau justru malah akan menghilang karena monster yang menanti. Maka dari itu, mereka memutuskan mengikuti ucapan Felix. Toh sejauh ini, pemuda Lee itu tak pernah membuat kesalahan. Karena mau bagaimanapun, bagi mereka, Felix sudah seperti kompas, penentu arah yang mengetahui keberadaan dan wujud monster-monster yang dimaksud oleh pak tua itu.

Mereka menyusuri goa yang gelap tanpa bantuan cahaya sedikitpun. Yang mampu membantu menuntun jalan hanyalah dinding dari goa tersebut. Menyalakan api dari burung Phoenix yang Felix panggil bisa beresiko tinggi memanggil monster penghuni goa, jika ada. Oleh karena itu, mereka memutuskan mengambil jalan paling aman meskipun kaki seringkali tersandung bebantuan yang ada.

Lama menyusuri jalan, akhirnya mereka memasuki ruang kosong setelah berbelok di pertigaan yang ditemui. Tak ada siapapun di sana, hanya terdapat beberapa pencahayaan berupa api dari lilin minyak yang tertempel pada dinding goa, dan tiga pintu yang terhubung entah ke ruangan mana. Mungkin salah satunya adalah jalan yang benar sedangkan yang lainnya adalah jebakan.

Minho berjalan mendekat ke salah satu pintu. Ia tempelkan telapak tangannya. Panas bisa ia rasakan menyapa kulit ketika menyentuh permukaan pintu, membuat Minho sontak kembali menjauhkan tangannya. Kini ia beralih pada pintu yang lain. Berbeda dengan yang tadi, kini rasa dingin menyapa begitu tangan menempel di permukaannya. Kening Minho berkerut heran karena merasa aneh akan suhu yang dirasakan. Si pemuda kembali melangkah ke samping untuk menghampiri pintu yang tersisa. Lagi-lagi suhunya berbeda. Namun pintu kali ini terasa lebih normal dibandingkan kedua pintu lainnya.

Aneh sekali, pikirnya lantas kembali menghampiri Jeongin yang meminta penjelasan akan raut wajah Minho tadi. "Pintu yang satu terasa panas, dan yang satunya dingin, sedangkan yang terakhir biasa saja," jelasnya seraya menunjuk ketiga pintu tersebut satu per satu.

"Kau bercanda?"

Alih-alih menjawab, Minho justru menunjuk salah satu pintu panas dengan dagunya, meminta Felix memeriksa sendiri. Benar saja, begitu telapak tangan si pemuda menyentuh pintu itu, ia spontan mengumpat dan mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa terbakar.

"Bagaimana bisa sepanas ini, sialan?!" maki Felix masih dengan mengibaskan tangan agar panas itu menghilang dari sana.

"Hei Lix, coba gunakan kekuatanmu agar kita tahu jalan mana yang bisa di ambil."

Felix menjawab, "Jika bisa, aku sudah melakukan itu. Pollux pun dibuat bingung oleh penghuni di sini. Ia tidak tahu ke mana arah yang tepat karena ketiga pintu itu mengeluarkan aura yang sama."

"Apa kita harus membuka ketiga pintu ini sekaligus?"

"Jangan bodoh. Kita tidak tahu apa yang akan keluar dari pintu-pintu itu. Apalagi bagian pintu yang panas dan dingin. Bagaimana jika justru itu mencelakai kita?" Chan tidak setuju. Firasatnya mengatakan ada yang tak beres dibalik ketiga pintu itu.

"Tenang saja, kita punya kak Changbin."

Mendengar itu membuat Changbin menoleh cepat. "Hei!"

BRAK! BRAK!

Suara keras berasal dari dalam ketiga pintu itu membuat mereka terkejut. Mengerutkan kening sesaat, sebelum akhirnya kedelapan pemuda tersebut berangsur-angsur mundur guna memberi jarak dari pintu yang tampak tengah didobrak dari dalam. Mereka kian merapatkan diri ke dinding bebatuan tatkala ketiga pintu hampir terbuka. Suara dobrakan yang saling bersahutan membuat mereka merinding bukan main.

Tampaknya masuk ke dalam sini adalah pilihan terburuk. Bak terjebak di kandang singa, sudah kepalang tanggung jika berbalik untuk kabur dari sana. Toh pasti, pintu itu akan terbuka karena tak kuasa menahan beban dari dobrakan yang diberikan oleh makhluk-makhluk--entah apa itu--di dalam sana.

Benar saja, tak memerlukan waktu lama, ketiga pintu itu terbuka bersamaan. Manusia-manusia mulai berhaburan dari sana. Bisa dilihat manusia-manusia itu dapat dibagi menjadi tiga kelompok.

Kelompok pertama, manusia yang keluar dari pintu panas. Rupanya begitu buruk rupa. Kulitnya gosong karena terbakar. Mata hitam seluruhnya, dan bertingkah layaknya manusia kehilangan akal sehat. Tubruk sana, tubruk sini.

Kelompok kedua, manusia yang keluar dari pintu dingin. Rupanya lebih baik dari kelompok pertama. Kulitnya pucat dan tubuhnya menggigil. Mata putih seluruhnya. Tingkahnya pun masih lebih baik dari kelompok pertama. Hanya berjalan gontai seperti kehilangan kesadaran.

Kelompok terakhir, yaitu manusia yang keluar dari pintu biasa. Rupa mereka tampak seperti manusia pada umumnya. Tak ada luka ataupun tidak pucat. Dilihat dari matanya pun, masih sama seperti manusia biasa. Tak ada yang aneh. Hanya saja, terlihat sorot mata mereka kosong.

Sejujurnya, mereka sama sekali tidak ada di daftar monster yang telah disebutkan sebelumnya.

Level tak terdefinisikan.

Hanya satu hal yang mereka ketahui,

Mereka kembali berada dalam keadaan yang dapat mempertaruhkan nyawa.

Pollux ( hitam ) & Castor ( emas )

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro