2: Survivor
Tak ada panasea yang dapat menyembuhkan lakuna dengan begitu cepat. Bahkan kata maaf yang terucap tak lagi bisa memenuhi rongga yang telah kosong dan mengembalikan semua yang telah hilang.
Lee Minho berjalan cepat melewati lorong panjang yang sepi di rumahnya. Kedua tangan ia masukan ke dalam saku hoodie yang dikenakan. Tatapan datar khas miliknya menelisik seluruh sudut, mewanti-wanti jika ada yang menyerang untuk kedua kalinya. Rasa muak terus memenuhi rongga dada, membucahkan amarah yang coba ia tahan selama dirinya hidup dalam suasana yang menyebalkan.
Hidup sebagai anak kedua dalam keluarga kaya tak membuat Minho bahagia sedikitpun. Bukan karena orangtuanya yang memaksa ia untuk menjadi sempurna sehingga kehilangan jati diri. Tidak, orangtuanya sudah cukup baik untuk merawat si pemuda hingga sampai saat ini. Yang membuat Minho muak adalah kehadiran kakak kandungnya di rumah itu. Apalagi semenjak kejadian itu, membuat bayang-bayang akan harga diri yang dihancurkan kembali teringat. Minho tak akan pernah bisa melupakan kejadian itu sampai kapanpun. Kejadian yang membuat mimpi buruk terus menyerang di dalam tidur lelapnya.
"Minho."
Langkah Minho terhenti. Ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat ketika suara itu kembali menyapa indera pendengaran. Beberapa helai rambut berwarna ungu perlahan muncul dengan manik ungunya yang menyala. Minho berbalik, menatap sosok kakak lelakinya itu dengan nyalang. Ekspresi pemuda itu tak dapat berbohong kali ini. Sorot mata yang penuh akan kebencian itu sudah cukup membuat siapapun sadar bahwa rasa dengki terhadap sosok dihadapannya ini sudah teramat besar.
"Berhenti menggangguku. Kau memuakan."
"Aku hanya ingin minta maaf." Lelaki itu perlahan berjalan mendekat ke arah Minho. Ia coba gapai salah satu tangan yang mengepal dalam balutan kain hoodie itu, namun segera dijauhkan oleh sang empunya. "Aku tahu aku salah. Tak seharusnya aku melakukan itu padamu. Sungguh, hasratku untuk memilikimu saat itu benar-benar kuat."
"Bahkan sampai aku mati dan dunia binasa pun, aku tidak akan pernah memafkanmu, Jae."
"Kumohon, kembali lah menjadi Minho yang kukenal." Lee Hyunjae—kakak kandung dari Minho—menundukkan kepalanya dalam-dalam. Jika ditanya apakah ia menyesal akan kebejatannya saat itu, maka jawabannya adalah iya. Hyunjae benar-benar menyesal. Ia tak pernah berpikir bahwa itu akan merenggut Minho-nya yang manis.
"Kau lupa?" Minho menghunuskan sebuah katana pada Hyunjae, menaruh ujung pedang tajam itu pada bawah dagu sang kakak. "Kau sendiri yang merenggut semua itu dariku. Dan kau memintaku untuk kembali? Berharaplah pada harapan yang sia-sia, brengsek," sambungnya seraya berbalik dan pergi setelah melemparkan katana tersebut ke sembarang arah.
Hyunjae tertegun. Ia usap lehernya perlahan dengan kaku melihat kejadian tersebut. Darimana asalnya katana yang digenggam Minho tadi? Bahkan dirinya tak melihat Minho menggenggam apapun setelah tangan miliknya keluar dari saku hoodie.
Si pemuda menoleh ke tempat benda itu dibuang, namun kembali dibuat bingung karena tak mendapatkan apapun di sana.
Seolah benda itu lenyap setelah dilepaskan oleh sang pemilik.
Mungkin yang dapat menyembuhkan hanyalah waktu, walau siapapun tak akan pernah tahu kapan waktu berbaik hati menyembuhkan luka yang telah terukir lebar di hati itu.
Hwang Hyunjin, pemuda beparas cantik dengan rambut pirang panjang yang terurai itu menjejakan kakinya di atas atap gedung kosong di daerah kota Seoul. Jemari lentiknya menggenggam erat pagar pembatas yang mengelilingi bibir gedung tersebut. Manik merah milik pemuda itu menatap kebawah, pada jalanan Seoul yang sepi. Rasa lelah kembali menjalar di dalam batinnya walau ia sudah berusaha bertahan hidup sendirian dalam dunia yang kejam selama tiga tahun belakangan ini. Bahkan Hyunjin terbiasa bekerja sangat keras untuk menghidupkan dirinya sendiri. Sudah menjadi konsekuensi-nya yang mencoba lari dari takdir. Ia paham itu. Namun kadang pemuda itu merindukan keluarganya yang jauh di Busan. Ingin kembali, tetapi Hyunjin tahu diri bahwa ia telah membuang segalanya untuk hidup bebas seperti ini.
Mungkin bisa kembali jika memang itu keinginannya, tetapi Hyunjin masih tak sudi jika hidupnya kembali di atur oleh sang Ibu. Tubuh itu miliknya sendiri, tak ada yang boleh menggunakannya selain dirinya.
Terkadang Hyunjin muak pada takdir yang menyakitkan. Dengan kejam, sang takdir membelenggunya—merebut diri Hyunjin dan menjadikannya sosok perempuan yang diinginkan oleh sang ibu. Harga dirinya seakan melebur bersamaan dengan makian yang seringkali wanita itu ucapkan padanya.
Kehadiranmu sungguh tak pernah ku inginkan. Andai kau perempuan, aku mungkin bisa memaklumi.
Kalimat yang sama, seringkali terbayang dengan sendirinya dalam memori otak pemuda malang itu. Hyunjin adalah anak yang tak diinginkan, hadir karena kesalahan orangtuanya sehingga mengharuskan kedua insan penuh dosa itu membentuk keluarga kecil yang tak direncanakan. Sampai akhirnya, mereka berpisah karena masing-masing tak lagi tahan akibat perselingkuhan yang sering terjadi.
Jika tak saling mencintai, lantas mengapa keduanya harus saling bercumbu hingga membuahkan sosok insan nirmala yang malang?
Mata merahmu menjijikan. Berhenti memperlihatkannya padaku.
Hyunjin bahkan tak berharap dilahirkan seperti ini. Mata merahnya terlihat aneh dan menyeramkan. Tak jarang orang yang melihat pun memberikan cibiran dan umpatan. Namun semua itu kembali lagi pada takdir yang telah memutuskan.
Tak bisakah kau membunuh dirimu sendiri saja? Kau pembangkang. Sangat memuakkan. Aku tak ingin mengotori tanganku sendiri hanya untuk melenyapkanmu dari dunia.
"Mengapa kalian tidak membunuhku ketika aku masih menjadi janin tak berdaya?" senyum sendunya terukir pada bilah bibir pucat itu. Ini menyakitkan jika mengingat ia dipertahankan hanya untuk keegoisan semata kemudian dibuang bagai barang yang tak lagi berharga.
"Karena Tuhan masih berbaik hati padamu, Hwang."
Hyunjin menoleh, lantas melukiskan senyum lembutnya tatkala sosok sahabatnya tertangkap pada netra. "Berbaik hati atau masih belum cukup melihatku menderita?"
Sosok itu mendengus sebal. Pemikiran itu lagi, benar-benar tak pernah ia sukai sampai kapanpun. "Aku tahu seberapa lelahnya kau bertahan di dunia ini. Kau sudah bersusah payah untuk bertahan di ambang kemampuanmu." Tepukan pada pundaknya ia berikan. "Aku akan selalu ada di sisi mu jika kau lupa."
"Aku tidak pernah melupakan itu, Han," celetuk Hyunjin meyakinkan Han Jisung, sahabat karibnya yang terus membantu pemuda itu untuk keluar dari keputusasaan tak berujung tersebut. "Kau tahu? Terkadang aku iri padamu. Kau masih bisa tertawa dan membantu setiap orang yang membutuhkan." Ucapan Hyunjin mengambang. Kembali ia remat kuat pembatas gedung. "Aku bahkan tak pernah berguna untuk siapapun."
Han tertawa renyah. "Kau berguna untukku, mate. Tolong ingat bahwa kamu juga merupakan sumber kehidupanku."
"Aku tak seberguna itu. Aku menyeramkan, wajahku tak seperti lelaki pada umumnya, dan aku—"
Desisan terdengar. Han di samping Hyunjin tampak tengah menempelkan jari telunjuk pada belah bibirnya, memberi gestur agar pemuda cantik itu berhenti bicara. "Manusia menarik dan berguna dengan cara mereka masing-masing." Diraih olehnya jemari tangan Hyunjin yang kian meremat pagar pembatas. Han tak ingin temannya itu melukai diri sendiri. Sudah cukup dengan luka goresan pada pergelangan tangan si pemuda, tak perlu ditambah lagi. "Kau pun begitu, Hwang. Kau berguna untukku tanpa kau ketahui. Masih bertahan sampai detik ini pun sudah cukup membuatmu berguna."
Hyunjin dapat bersandar di bahu Han semaunya, kan? Ia tak perlu lagi takut sendirian di dalam dunia yang kejam. Han tak akan meninggalkannya sendirian, ia sudah berjanji.
Yang tak berguna tetap tidak akan berguna sampai kapanpun. Kau tahu? Penyesalan terbesarku adalah melahirkanmu. Seharusnya kubunuh saja saat kamu masih menjadi benih di dalam perutku. Setidaknya aku tidak perlu memiliki anak dari bajingan gila itu.
Tidak.
Han tidak akan pernah mengerti bagaimana terlukanya Hyunjin di dalam sana.
Han tidak akan pernah paham seberapa terlukanya ia yang terkurung oleh kalimat menyakitkan, memenjarakan jiwanya dalam sangkar penuh kedengkian.
Sampai kapanpun, Hyunjin akan merasa dirinya tak berguna untuk siapapun. Stigma itu telah tertanam kuat di lubuk hati. Tak dapat dipungkiri bahwa memang si pemuda telah rusak jauh sebelum dirinya bertemu dengan Han.
Apa Hyunjin masih bisa berharap pada manusia?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro