Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19: Survivor

Cahaya hijau mulai menyelimuti tubuh Changbin. Han yang pergelangan tangannya digenggam oleh pemuda Seo itu menjadi kalap, takut jika Changbin dirasuki oleh sesuatu dan berujung melempar tubuh Han pada Ahool di bawah sana. Beberapa menit lalu, Han melihat Changbin tak merespon kata-katanya. Ia sibuk melamun, sebelum akhir cahaya itu menyelimuti. Tetapi tampaknya apa yang Han khawatirkan tidak terjadi. Alih-alih melempar Han ke bawah, Changbin justru menyentuh luka miliknya yang tertutup perban.

Awalnya Han meringis sakit. Saat hendak mengumpat, ia urungkan karena rasa sakitnya perlahan mulai menghilang. Tentu pemuda itu bingung. Apalagi saat Changbin membuka perbannya dan memerintahkan Han untuk menggerakan tangan yang terluka.

Tidak terasa sakit lagi. Malah Han bisa dengan bebas menggerakan tangan yang awalnya terasa tak berfungsi sama sekali.

Senyum lebar Han tunjukkan. Ia angkat tinggi-tinggi tangannya tersebut, kemudian menggerakannya ke kanan dan kiri karena tak percaya dengan keajaiban tersebut. "Luar biasa!" puji Han seraya menatap Changbin tak percaya. "Walaupun sebenarnya aku masih bisa menggunakan kakiku untuk bertarung, sakit di tanganku benar-benar menghambat pergerakan. Terima kasih, Kak Bin!"

Tanpa banyak bicara dan menunggu lagi, Han segera melompat turun untuk menginjak kepala dari Ahool tersebut. Benar saja, cengkraman pada kaki Farrabi terlepas. Ahool jatuh menghantam tanah, pun dengan Han yang ikut terjatuh. Changbin di atas sana segera mengobati luka menganga yang diterima oleh Farrabi menggunakan kekuatannya.

"Han, kau bisa melompat naik?" Felix memerintahkan Farrabi untuk berhenti bergerak, diam mengambang di udara seraya mengepakan sayap besarnya.

Dan pertanyaan tersebut disahut oleh Han, "Tentu. Tunggu saja di sana!"

Felix mengangguk paham. Ia biarkan Han bertarung di bawah sana dengan Ahool. Sesungguhnya ia hanya bisa melihat dengan samar bagaimana temannya tersebut dengan gesit bergerak menghindar dari cakaran kelelawar raksasa tersebut. Hingga akhirnya, tendangan Han berikan tepat di ulu hatinya, membuat Ahool terlempar hingga menabrak batang pohon dengan kuat.

Sang Ahool berusaha berdiri dengan rasa sakit menjalar di bagian perutnya. Ia berteriak penuh kesakitan. Matanya memerah, hendak mengamuk. Dengan sisa tenaga yang tersisa, Ahool kembali terbang cepat ke arah Han. Makhluk itu membuka lebar-lebar mulutnya menunjukkan gigi bertaring yang tajam, hendak memutuskan kepala Han dari tubuhnya.

Namun Han bisa menghindar dengan begitu mudah. Bukan kepalanya yang hilang, justru kepala Ahool itu yang terlempar ke tanah karena Han tendang begitu si monster melewatinya.

"Beres." Han mengusap darah yang terciprat di pipinya. Sesaat ia dongakan kepala untuk melihat siluet samar dari Farrabi. Kembali ia mengambil ancang-ancang, memfokuskan mana di dalam dirinya pada otot-otot kaki, sebelum akhirnya melompat kuat hingga meninggalkan jejak retakan di tanah.

Jeongin segera tangkap tangan Han untuk membantunya naik ke atas punggung Farrabi, membuat pemuda mirip tupai itu kembali tersenyum lebar hingga menampilkan barisan gigi yang rapih.

"Terima kasih, Je!"

Yang lebih muda menganggukkan kepala. "Sama-sama, Kak Jisung."

Mereka semua menghela nafas lega melihat Han kembali tanpa sedikitpun luka di tubuhnya. Sekalipun kekuatan Changbin adalah menyembuhkan, tetap saja ada batasannya. Bisa dilihat dari bagaimana lelahnya pemuda itu sekarang setelah selesai mengobati dua makhluk yang terluka.

"Istirahatlah. Aku akan membangunkan kalian jika sudah sampai."

"Lix."

Felix menatap ke arah Han untuk mendengar apa yang hendak dikatakannya. Namun seperti biasa, pemuda itu hanya tersenyum seperti orang bodoh, membuat Felix memutar bola matanya dengan malas. Mengabaikan panggilan Han yang kedua kalinya, Felix lebih memilih berbicara dengan Farrabi, memintanya membawa mereka ke tempat di mana Seungmin berada.

Matahari sudah terbenam sejak lama, tetapi Farrabi masih belum mencapai tujuan yang dimaksud oleh Felix. Bukannya tak tahu, hanya saja tempatnya cukup jauh dari jangkauan mereka saat ini. Mana di dalam diri Felix mulai habis seiring berjalannya waktu. Ia sudah memakainya lebih dari dua setengah jam lamanya. Masih untung Felix bisa bertahan selama itu meskipun peluh mulai mengucur dan nafas mulai tak beraturan.

Akhirnya, ketika Felix telah mencapai titik di mana ia tak lagi bisa mempertahankan Farrabi di dunia manusia, pemuda itu memutuskan untuk istirahat sejenak sehingga turun di depan rumah tua dengan kerusakan yang begitu parah. Tidak layak huni sebenarnya, tetapi tidak ada tempat selain rumah itu di dalam hutan belantara. Awalnya Felix sempat bertanya-tanya, orang bodoh mana yang membangun rumah di tengah hutan belantara? Tetapi akhirnya ia kesampingkan pikiran tidak berguna itu.

Felix membangunkan yang lain untuk turun dari atas punggung Farrabi, mengatakan bahwa mereka harus istirahat sejenak karena mana miliknya telah mencapai batas. Dan mereka pun segera turun dari sana sebelum akhirnya Farrabi menghilang menjadi buliran cahaya yang terbang di udara.

Yang paling muda mengusap matanya guna hilangkan rasa kantuk yang masih menyerang. Sesekali ia menguap kecil dan mengerjapkan mata agar dapat melihat sekeliling yang gelap. Tak ada penerangan di sana. Sekalipun sekitar sana tak ditutupi oleh pepohonan, tetap saja, bulan di atas langit tak bisa menerangi malam yang gulita. Pun tak ada bintang, seakan langit tengah mengatakan bahwa ia turut lelah untuk memberikan penerangan pada bumi yang hampir binasa.

"Kita tidur di sini?" Yongbok tampak berkerut ragu, memandang sekitar dengan was-was.

Dibalas dengan decakan sinis dari kakak kembarnya, Lee Felix. "Ya. Anak manja sepertimu mungkin akan kesulitan tidur nyenyak di tengah-tengah hutan belantara seperti ini."

"Hei--"

Saat Chan hendak menimpali karena Felix menyinggung adiknya, Changbin telah lebih dulu menyelak, "Akurlah sekali-kali. Ini bukan waktunya untuk berdebat." Seraya menghela nafas dengan lelah.

Han mengangguk setuju. "Kembalilah istirahat. Aku dan Felix akan berjaga. Nanti kita bergilir hingga pagi tiba."

"Kenapa kau memutuskan secara sepihak?" Felix menoleh dengan raut wajah tak suka, hendak merutuk Han yang seenak jidat. "Aku perlu tidur untuk memulihkan mana-ku!"

"Memang bisa?"

Felix diam membisu. Benar juga. Sekilas Felix melupakan tentang Parasomnia dan Insomnia-nya. Sebenarnya jika dirasakan kembali, ia sama sekali tak merasakan kantuk meskipun rasa lelah itu membalut tubuhnya sendiri.

Akhirnya Felix mengalah. Ia setujui ucapan Han beberapa menit lalu dan membiarkan yang lain tidur di dalam rumah rusak itu sedangkan dirinya dan Han berjaga dengan api unggun yang Felix buat dari api milik Phoenix.

"Maaf."

Sebelah alis milik Felix terangkat, menatap heran pada Han yang tampak menggambar tanah di depannya menggunakan ranting kecil yang ia temukan di dekatnya.

"Tampaknya aku terlalu memaksamu." Han mendongak. Senyum teduhnya terukir. "Sebenarnya aku berjaga sendiri pun tak masalah. Tapi entah kenapa, sepertinya ada suatu hal yang harus kubicarakan empat mata denganmu."

Felix menghembuskan nafasnya seraya mengusapkan kedua telapak tangan itu untuk menghalau udara dingin yang menyapa. "Kau tidak perlu meminta maaf. Aku pun tak marah karena hal tersebut." Ia tolehkan kepalanya pada Han. Senyum sinis terlukis dengan apik di wajah tampan miliknya. "Karena itu kau, aku jadi tidak merasa aneh ataupun kesal. Kau selalu bertindak bodoh."

"Hei, aku tidak seperti itu," rutuk Han tak terima akan fakta yang diucapkan oleh Felix.

"Itu fakta, Han. Tolong jangan mengelak."

Keduanya pun tertawa kecil. Entah kenapa, Felix merasakan hangat mulai menyapa di dalam hatinya ketika bersama dan berbincang dengan pemuda Han itu. Meskipun rasa benci terhadap Yongbok dan Chan masih bersarang di dalam hati, setidaknya, rasa tersebut perlahan mulai terkikis. Felix jadi tak terlalu membenci kedua insan itu. Tepatnya, ia tak lagi terlalu memikirkan tentang keduanya.

"Kau tahu tidak, Lix?" Han kembali membuka topik pembicaraan. Ia taruh kedua telapak tangannya di atas tanah untuk menyangga beban tubuhnya. Sedangkan wajah pemuda itu mendongak menatap gelapnya langit. "Kau lebih berwarna dari pertama kali kita bertemu."

"Maksudmu?"

Han merekahkan kembali senyum lembutnya, masih menatap lekat sang nabastala. "Sejak pertama kali bertemu, aku selalu merasa kau adalah monochrome. Hitam dan putih. Kau seringkali tersinggung, mengabaikan, dan memasang wajah sedingin mungkin. Kau tepis siapapun yang berusaha masuk. Pun dengan matamu yang tak pernah menunjukkan binar kehidupan, seolah kau sudah menyerah dengan takdir." Pemuda itu menoleh pada Felix. "Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai menemukan warna-warna di dalam dirimu. Monochrome itu menghilang. Dan aku benar-benar bersyukur dengan hal tersebut."

Felix terdiam. Ini pertama kalinya ada seseorang yang merasa bersyukur untuk pemuda itu. Seseorang yang bahkan tak pernah Felix duga. Hatinya terasa nyeri tatkala mendengar penuturan Han yang begitu menghangatkan. Seperti ada yang menutup bekas luka dan memeluk tubuhnya erat, Felix tersadar bahwa apa yang dikatakan Han ada benarnya. Semangat hidup yang hilang itu, perlahan-lahan mulai kembali. Tanpa Felix sadari, ia ingin lebih berusaha. Untuk mengubah garis takdir, hidupnya, dan segala mimpi buruk itu.

"Jika kau tidak menemukan dermaga untuk berlabuh, teruslah mencari. Lautan itu luas. Tanpa petunjuk arah yang pasti, kapal mewah pun tidak akan bisa menemukan pelabuhannya."

Kini Felix tersenyum. Ia berikan tepukan pelan pada pundak Han, menyalurkan rasa terima kasih atas ucapan si pemuda yang mampu menggerakan hatinya. Han turut tersenyum. Dalam hatinya merasa bersyukur dapat memberikan sedikit bantuan. Karena Han pun pernah berada di posisi pemuda itu.

Ia tahu bagaimana rasanya. Bagaimana sakit itu menusuk ke relung dada sehingga sulit untuk bangkit kembali. Han tahu, melebihi siapapun. Pemuda itu tak ingin orang lain merasakan yang serupa. Maka dari itu, Han selalu menjadi pelipur lara bagi siapapun yang membutuhkan. Sama hal nya seperti Hyunjin yang saat itu Han tolong ketika hendak mengakhiri nyawanya sendiri.

"Kak Ji...."

Han dan Felix menoleh secara bersamaan ketika mendengar suara rengekan dari seseorang. Mereka lihat Hyunjin berjalan keluar dari rumah tersebut seraya mengusap kedua matanya yang berair. Bibir tebal miliknya dikerucutkan, membuat Felix yang melihat mulai curiga ada sesuatu tak beres di dalam diri pemuda Hwang tersebut.

Han mulai merentangkan kedua tangannya, meminta Hyunjin untuk masuk ke dalam dekapan yang hangat. Rentangan tangan milik Han segera disambut dengan senang oleh yang lebih tua. Ia menyamankan dirinya, duduk bersandar pada dada bidang Han yang nyaman.

Tentu Felix semakin kebingungan. Serupa dengan Jeongin yang terus mempertanyakan kepribadian seorang Hwang Hyunjin, Felix pun ikut mempertanyakan hal tersebut. Karena sejauh ia mengamati tingkah laku para temannya akhir-akhir ini, sikap Hyunjin yang paling aneh. Awalnya Felix pikir Han lah yang teraneh di sana, tapi setelah melihat Hyunjin yang merajuk malam ini, pemikiran itu beralih begitu saja.

"Aneh sekali sikap temanmu itu. Apa kepribadiannya terganggu?"

Berbeda dengan Jeongin yang selalu merasa tidak enak untuk mempertanyakan hal tersebut, bagi seorang Lee Felix, tentu mengucapkan apa yang ada di kepala adalah hal yang mudah.

"Tidak." Han mengusap puncak kepala Hyunjin dengan lembut. "Hwang baik-baik saja. Dia akan selalu baik-baik saja." Ia kemudian tertawa ketika pemuda dalam dekapannya mulai mengusakkan wajah di dada. Seperti seorang bayi. Gemas sekali.

Felix membuka belah bibirnya, namun kembali ia tutup rapat-rapat. Kalimat yang hendak pemuda itu keluarkan seolah tertahan di tenggorokan. Pada akhirnya, ia menyerah untuk lebih membahas hal tersebut. Felix terdiam cukup lama, pun dengan Han dan juga Hyunjin yang terlelap di dalam dekapan hangatnya, membiarkan kesunyian menyapa mereka bersama dengan rasa hangat dari api unggun di hadapan.

Hingga akhirnya, getaran pada permukaan tanah membuat ketiganya terkejut. Begitu pula dengan lima orang lainnya yang segera lari terbirit-birit keluar dari rumah itu.

Tanah perlahan mulai retak dan terbelah, membuat mereka semua spontan menghindar ke sisi yang lain. Kengerian terlihat begitu kentara di sorot mata kedelapan pemuda itu. Retakan tersebut terlihat begitu lebar, dalamnya pun tak bisa di ukur dengan mata telanjang, juga panjang retakan yang membentang dari ujung hingga ke ujung lagi. Seperti membuat jurang baru, ataupun seperti bumi yang mulai terbagi menjadi dua. Telat menghindar sedikit saja, nyawa menjadi taruhannya. Beruntung sekali mereka bisa menghindar dengan cepat sebelum jurang baru itu melahap hidup-hidup tubuh yang bersusah payah bertahan dalam dunia yang penuh akan ketaksaan.

"Ya Tuhan, untung saja...."

Jeongin mulai berjalan lebih dekat pada bibir jurang tersebut, menatap ke dalam seolah mencari ujungnya meskipun hal tersebut mustahil. Setelah meneguk ludah dengan kasar, ia berujar, "Jurangnya dalam sekali."

"Apa kita perlu turun ke bawah?" saran Changbin seraya menoleh pada Minho yang berada di sampingnya. Namun pertanyaan tersebut sama sekali tak direspon oleh yang lebih tua, membuat Changbin menghela nafas lelah. "Kak Chan, apa kita perlu turun ke bawah?" tanyanya lagi kini pada Chan sebagai yang tertua.

"Apakah harus?" Chan tampak berkerut ragu, takut kalau di dalam sana ada monster yang lebih mengerikan dari monster-monster yang pernah mereka temui.

"Sepertinya harus. Aku merasa kita harus turun ke bawah."

Han tatap Yongbok yang memberi usul. "Bagaimana caranya?"

"Menggunakan Farrabi-ku, tentu saja."

"Tidak." Kali ini Changbin menolak dengan tegas. Ditatapnya Felix yang tampak merengut tak suka. "Mana-mu belum pulih, Felix. Kita tidak tahu seberapa dalam jurang ini. Jika mana-mu habis sebelum kita sampai di dasar jurang, tamatlah riwayat kita."

"Lalu bagaimana? Tak ada cara lain untuk turun ke bawah, pendek."

Changbin mendelik sinis. "Jaga bicaramu."

Kedua pemuda itu mulai bertengar seraya saling melemparkan tatapan sinis satu sama lain. Jeongin paham akan situasi yang mulai tidak menyenangkan tersebut. Maka dari itu, ia memutuskan berdiri di tengah-tengah mereka untuk menghentikan perdebatan.

"Sudah, sudah. Jangan bertengkar," pintanya.

Felix mendengkus sinis, sedangkan Changbin tersenyum menahan kesal seraya memalingkan pandangannya kembali pada jurang tersebut.

Dataran kembali bergetar. Belum sempat menghindar, tanah yang mereka pijaki telah runtuh lebih dulu, membuat kedelapan orang tersebut jatuh begitu saja tanpa aba-aba. Yongbok coba ulurkan tangannya, berusaha untuk raih apapun yang dapat ia gapai. Namun semesta tak pernah sekalipun berpihak padanya. Yongbok hanya bisa meraih udara kosong, membiarkan tubuhnya mengapung di udara untuk nanti membentur tanah di bawah sana kemudian mati.

Tidak.

Tangannya terus menggapai udara kosong. Tidak ada harapan untuknya hidup, sekalipun ia ingin bertahan. Takdir selalu memberinya keputusasaan. Tak pernah bisa ia bantah, meski raga meronta untuk terus bertahan di tengah-tengah gundah yang menyesakkan.

Tidak.

Waktu seakan berhenti bergerak. Menghantam dasar jurang pun terasa begitu lama untuknya.

Tidak. Belum. Jangan sekarang.

Netra si pemuda yang menatap gelapnya langit malam mulai memancarkan sinar kekuningan tanda bahwa roh dalam dirinya merespon tekad yang muncul. Detik berikutnya, gelap mulai menenggelamkan kesadaran Yongbok.

Mungkin, Tuhan ingin melihat seberapa besar tekad hambanya untuk bertahan kala nyawa sedang di ujung tanduk. Maka dari itu, Ia memperlambat waktu yang berputar semata-mata agar mereka tersadar bahwa hidup lebih berharga dibandingkan apapun.

Lee Yongbok

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro