Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15: Survivor

Sudah hampir satu minggu semenjak Seungmin, Changbin, dan Felix pergi. Tak ada tanda-tanda bahwa ketiganya akan kembali dalam waktu yang dekat. Itu membuat enam orang yang lainnya cukup khawatir. Disaat seperti ini, komunikasi begitu sulit. Tak ada jaringan seluler meskipun ponsel milik mereka masih menyala. Arah mata angin pun tak jelas karena semuanya sudah rata dengan tanah. Tidak heran, memang begitu karena dunia sedang mengulang semuanya dari awal.

Selama itu, mereka tak ada yang berani pergi kemanapun. Takut-takut di jalan bertemu dengan salah satu monster ataupun takut mereka tersesat dan tidak tahu arah pulang. Pada akhirnya, mereka yang sudah mengetahui kemampuan di dalam diri fokus untuk mengembangkan agar nanti tak ada lagi rasa bingung yang hadir.

Sejauh ini, baru Chan, Minho, dan Han saja yang benar-benar paham bagaimana mengeluarkan dan mengendalikan kekuatan mereka. Sedangkan Hyunjin masih tidak tahu bagaimana caranya meskipun ia pernah mengeluarkan tanpa sengaja saat melawan makhluk besar mengerikan bermata satu. Itu pun saat amarah mengelilinginya karena Han yang hampir tewas. Jeongin yang sedikit yakin tentang kekuatannya pun juga tak bisa berlatih. Antara yakin dan tidak yakin mengenai kemampuannya untuk menghilang itu membuat Jeongin kebingungan. Akhirnya ia hanya melakukan latihan fisik agar otot tubuhnya tidak mudah lelah.

Berbeda dengan lima orang yang lain, Yongbok tak pernah tahu apa kekuatannya. Tidak ada hal yang dapat memicu itu untuk muncul. Sampai-sampai Yongbok hanya bisa melihat mereka berlatih. Untuk anak seukurannya yang juga memiliki tubuh lemah, pemuda itu pun kesulitan untuk ikut berlatih fisik dengan Jeongin dan Hyunjin.

Bohong apabila mereka tidak khawatir di sela-sela latihan. Rasa khawatir akan terjadi hal mengerikan terhadap tiga orang yang tengah mencari obat-obatan itu sama sekali tak menghilang dari pikiran mereka. Ingin menyusul, namun apa daya? Mereka tak kuasa melakukannya. Takut-takut justru malah berpisah dan sulit untuk bertemu kembali.

BRUK!

Nafas Han memburu tak beraturan. Peluhnya mengucur dengan deras dari pelipis. Kekuatan milik Betelgeuse sama sekali belum bisa ia kuasai. Walaupun roh itu mengatakan jika ketahanan dan kekuatan fisik si pemuda akan bertambah kuat jika menggunakan kekuatan tersebut, tetap saja, Han masih tak terbiasa dengan perasaan aneh yang menjalar di sekujur tubuhnya. Berat dan juga panas, seakan tubuhnya sedang mencoba untuk terbiasa dengan kekuatan dan mana yang tiba-tiba muncul.

"Kak, tubuhmu kelelahan. Ayo istirahat lebih dahulu." Jeongin coba membantu Han yang sudah berlutut di atas tanah. Ia kalungkan satu tangan pemuda Han itu pada lehernya dan menuntun yang lebih tua untuk masuk kembali ke gudang yang kini menjadi tempat mereka singgah.

Hyunjin yang saat itu tengah membantu Chan menyiapkan sarapan perlahan bangkit untuk menghampiri Han yang dibantu oleh Jeongin. Sebelah alisnya terangkat dengan senyum sinis terukir pada bibir berisi miliknya. "Kau tidak pernah berubah ya, Han. Selalu memaksakan dirimu sendiri seperti orang bodoh."

Jeongin hendak menyangkal ucapan Hyunjin barusan. Menurutnya, ucapan tersebut begitu tak sopan bagi Han yang sudah berusaha sebaik mungkin mengontrol kekuatan yang diberikan oleh Betelgeuse. Namun saat bibirnya hendak berujar, Han memotong,

"Sam kah itu?" si pemuda terkekeh. Respon biasa yang Han tunjukan setiap harinya. Ia tepuk pelan pundak Jeongin, memberikan tanda bahwa sekarang ia sudah baik-baik saja dan pemuda itu boleh melepaskannya. "Kau masih kasar dan tsundere seperti biasa, ya?"

Lawan bicaranya tersebut merotasikan bola matanya sebal. Han rupanya tak terganggu dengan ucapan sarkas darinya. "Menyebalkan." dan berlalu begitu saja melewati Han seraya menabrakan pundaknya pada milik si pemuda sebelum benar-benar pergi dari sana.

Yang paling bingung di sana adalah Jeongin. Tentu saja. Selama kedua matanya mengamati setiap manusia yang kini hidup bersamanya, Jeongin tak pernah paham kenapa sifat Hyunjin lebih sulit dibaca. Terkadang pemuda Hwang itu menjadi pribadi lembut, terkadang cengeng, dan sewaktu-waktu ia bisa sekasar tadi. Seperti ada banyak kepribadian yang menggerakan raga itu.

Ingin bertanya lebih pada Han yang notabene-nya teman lama dari Hyunjin, tetapi perasaan tak enak kerapkali menyapa. Ia cukup takut jika pertanyaan yang akan ia tanyakan sensitif bagi keduanya. Pada akhirnya, Jeongin hanya kembali diam dan mengamati sebagai anggota termuda di kelompok itu.

Jujur saja, awal mula hidup bersama mereka rasanya begitu sulit. Apalagi Jeongin pun masih memiliki trauma dari masa lalunya. Seringkali Jeongin rasakan tubuhnya gemetar hanya karena berada di antara mereka, beruntungnya, ia memiliki kontrol diri yang kuat.

Lama-lama Jeongin jadi menikmati kebersamaan mereka. Meski perasaan takut itu terus menyelimuti, Jeongin pikir bahwa ia juga cukup nyaman dengan orang-orang tersebut. Sifat mereka semua yang humble dan mudah untuk berbaur perlahan menarik Jeongin untuk ikut merasakan kenyamanan. Terkecuali Minho. Jangan ditanya. Pemuda itu masih enggan berbicara selain dengan Jeongin. Jadi, tak heran jika ia menjadi perantara agar komunikasi mereka tetap berjalan.

"Maaf ya, Je. Hyunjin memang seringkali seperti itu."

Suara Han membuat lamunan Jeongin buyar. Lagi, ia hanya tersenyum alih-alih bertanya tentang keheranan yang terus-menerus berputar di kepalanya. Ia mengangguk sesaat seraya mengucapkan kata 'tak apa', sebelum akhirnya pamit untuk membantu Chan yang sedang menyiapkan sarapan mereka.

"Bagaimana dengan bahan makanannya, kak? Apa kita perlu berburu lagi? Atau mencari supermarket yang masih menyediakan bahan-bahan makanan?" tanya Jeongin pada yang lebih tua seraya membawa beberapa piring yang kemarin mereka ambil dari toko terdekat.

Tak masalah 'kan jika mereka mengambil beberapa alat untuk bertahan hidup?

Mereka hanya mencoba untuk bertahan hidup, bukan bermaksud untuk mengambil sesuatu yang bukan milik mereka.

Toh, salah semesta sendiri karena tak membiarkan mereka bersiap sebelum dunia hancur.

"Makanan masih cukup sampai lusa, Je." Senyum teduh Chan berikan pada adik barunya tersebut. Setelah menyusun rapih piring-piring, pemuda itu mengusap lembut puncak kepala milik Jeongin. "Aku harap Felix, Changbin, dan Seungmin lekas pulang agar kita bisa melanjutkan perjalanan," harapnya, membuat sorot mata milik Jeongin semakin sayu.

Perasaan tak enak itu kembali muncul di dalam dirinya. Ia begitu takut andai mereka bertiga tak pernah kembali. Atau hanya kembali dengan salah satu atau dua di antaranya yang menghilang. Jeongin ingin mereka melanjutkan perjalanan dengan lengkap. Tanpa ada satupun yang terluka dan pergi.

"Kak! Kak Chan!"

Teriakan dari Yongbok yang melengking memenuhi ruangan membuat semua pandang mata menoleh padanya. Chan sebagai yang dipanggil mulai menghampiri adik tirinya tersebut. Sebisa mungkin ia menenangkan Yongbok yang tampak terengah akibat berlari.

"Mereka pulang!"

"Mereka?"

Yongbok mengangguk. Binar dimatanya sama sekali tak hilang. "Iya, mereka!"

Mengabaikan makanan yang mulai mendingin, mereka semua yang ada di dalam segera berlari keluar untuk menemui sosok yang Yongbok maksud. Senyum merekah di belah bibir masing-masing kala menangkap figur Felix dan Changbin yang diam di depan pintu. Namun wajah keduanya sama sekali tak menyiratkan kebahagiaan. Justru yang ada hanyalah kesedihan dan amarah di sana, membuat mereka semua berkerut heran.

Jeongin yang paling peka dengan keadaan mulai menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, mencari satu sosok yang belum tertangkap di indera pengelihatannya. Satu detik kemudian, Jeongin sadar bahwa ada yang tak beres.

"Kak Seungmin kemana?"

Benar saja dugaan Jeongin. Pertanyaan tersebut mendapatkan jawaban berupa rahang milik Felix yang kembali tegang. Giginya terdengar bergemeletuk kecil, seakan tengah menahan emosi pada dirinya sendiri akibat teledor dalam menjaga salah satu dari mereka.

"Ah, ya...." Chan mulai sadar dengan keganjilan tersebut. Tatapannya beralih menatap Changbin yang murung. "Seungmin ke mana, Bin?"

"Ditangkap oleh Lamia." Suara Felix menginterupsi, terdengar tercekat di tenggorokan. "Ketika di rumah sakit, Seungmin ditangkap oleh Lamia. Aku sudah berusaha untuk melepaskannya, tetapi mereka menghilang begitu saja. Aku juga sudah berusaha mencarinya, tapi tidak bisa menemukannya. Aku minta maaf," cicit Felix seraya menundukan kepalanya.

Baru kali pertama mereka melihat Felix seperti ini. Biasanya pemuda tersebut tak akan pernah menunjukan ekspresi apapun. Yang ada malah umpatan dan makian. Namun kini ia menunjukan hal yang berbeda. Melihat Felix menunjukan ekspresi sarat akan keputusasaan itu membuat hati mereka ikut merasa pedih.

Han perlahan menghampiri Felix. Kemudian ia tepuk pundak pemuda Lee itu, memberikan pertanda bahwa si pemuda tak perlu terlalu memikirkan hal tersebut. Senyum lembut juga ia perlihatkan hingga kedua mata bulat itu mulai menyipit bagai bulan sabit.

"Tidak masalah, Lix. Mari kita cari Seungmin dan selamatkan dia," ujar Han meyakini seraya menepuk-nepuk pundak yang lebih muda. "Seungmin tidak akan dibunuh begitu saja, kan?"

"Tidak. Lamia akan membuatnya menjadi seorang budak dan Seungmin akan mati secara perlahan karena perbudakan itu."

Hyunjin mengangkat sebelah alisnya dengan heran. Aura mengintimidasi yang sedari tadi ia keluarkan sama sekali tak kunjung hilang. "Dari mana kau tahu?"

"Pollux--maksudku, roh di dalam tubuh Felix yang mengatakannya."

Jeongin mengangguk paham. "Jadi kekuatan yang dimaksud oleh pak tua itu adalah milikmu? Kau hanya bisa mendeteksi keberadaan dan jenis dari monster-monster itu?"

Felix tak menjawab. Ia justru memejamkan kedua matanya untuk memusatkan energi seperti yang diajari oleh Pollux, roh gagak hitam berkaki empat layaknya seekor singa. Tak lama setelehanya, seekor Pheonix kembali muncul dengan mengepakan kedua sayap berapi miliknya. Semua pandang mata berpusat pada burung api tersebut, memandangnya dengan takjub sekaligus ngeri.

Bisa mereka rasakan hawa yang sangat panas dari burung tersebut. Bahkan Changbin sudah sedikit memberikan jarak agar tak terlalu merasakan panasnya. Namun entah kenapa, Felix justru bersikap santai. Phoenix itu kini mulai bertengger di bahu si pemuda. Seraya memiringkan kepalanya, ia pandangi satu per satu insan yang ada di sana seolah tengah memberitahu mereka bahwa dirinya akan menjadi anak baik sesuai perintah sang tuan.

"Itu... Phoenix?" Han bertanya dengan ragu. Kedua mata bulatnya mengerjap lucu.

"Kau benar. Selain mendekteksi para monster, Pollux juga memiliki kekuatan untuk memanggil roh hewan dengan elemen tertentu. Jumlahnya hanya enam," jelas Felix seraya mengusap lembut tubuh Phoenix yang tengah mengusakan kepalanya pada pipi si pemuda. "Yang baru bisa kupanggil hanyalah Phoenix dan Farrabi."

Binar di mata Han semakin jelas Felix lihat. Senyumnya pun kian melebar seolah ia begitu senang akan kekuatan yang dijelaskan oleh Felix barusan. Karena ini Han yang memang tertarik dengan segala hal, pemuda itu jadi tak merasa aneh lagi. Pada akhirnya, rasa bersalah pada Seungmin bisa sedikit ia singkirkan karena runtutan pertanyaan dari Han maupun Jeongin yang memusingkannya.

Chan sebagai yang paling tua paham akan rasa lelah dari dua adiknya tersebut. Ia meminta semuanya untuk masuk dan menyantap terlebih dahulu makanan yang sempat mereka abaikan karena kepulangan Felix dan Changbin.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro