12: Survivor
Han meraup udara banyak-banyak seiring kedua kelopak matanya terbuka lebar. Meringis kecil kala merasakan sakit di sekujur tubuhnya, Han perlahan menolehkan kepala untuk mencari seseorang. Namun bukannya seseorang yang ia temui, Han justru hanya menemukan keheningan. Tak ada siapapun di sana, bahkan tanda-tanda peninggalan mereka pun tak ada.
Kening Han berkerut. Apakah ia ditinggalkan karena mereka berpikir Han sudah tak lagi memiliki kesempatan untuk hidup? Tidak. Hyunjin tidak mungkin meninggalkannya sendirian. Walaupun pemuda Hwang itu tahu dirinya tak lagi bisa membuka mata, Hyunjin akan tetap bersamanya dan memeluk erat tubuhnya itu.
"Apa aku terlalu berharap?" rintihan sendu menyayat hati dikeluarkan oleh Han. Ia tutup kembali kedua kelopak mata untuk mengatur pola pernafasan yang memberat akibat sesak menjalar di dalam hati.
Salahkah apabila Han berharap bahwa mereka semua akan tetap berada di sisinya hingga ia benar-benar tak lagi bisa bangkit?
Harapan itu....
Han sudah menguburnya jauh di dalam hati. Ia tak pernah peduli jika seseorang meninggalkannya. Han harus tahu batasannya, batasan seorang makhluk hina tak berguna yang hanya mampu menghabiskan uang keluarganya.
Ya, seharusnya begitu.
Namun entah kenapa, bertemu ketujuh orang itu membangkitkan kembali harapnya yang telah terkubur. Mungkin memang seharusnya Han tak terlalu berharap, atau berkhayal tinggi mengenai akhir hidupnya. Mengharapkan akhir bahagia bagi pemeran buangan adalah kesalahan fatal. Pada akhirnya, yang tak berguna akan tetap menjadi tak berguna.
"Jisung, bukalah matamu."
Seolah tersihir oleh bisikan Betelgeuse, Han kembali membuka kelopak matanya. Kedua mata bulat itu mengerjap bingung tatkala mendapati Jeongin berada di sana dengan senyum lebar pada belah bibir ranum yang sedikit pucat itu. Han coba bawa tubuhnya yang terasa sakit untuk duduk dan menatap Jeongin dengan sorot mata lembut.
Jeongin tanpa pikir panjang berlari menghampiri Han lantas memeluknya dengan erat. Puluhan kata syukur ia ucapkan, berbisik tepat di telinga si pemuda seakan menumpahkan rasa lega yang luar biasa. Pelukan itu ia pererat, membuat Han merasa sesak dibuatnya. Perlahan Han tepuk punggung Jeongin sebagai pertanda agar yang lebih muda melepaskan pelukannya. Bisa-bisa Han mati karena kehabisan nafas.
"Di mana yang lain?"
Jeongin mengusap pelan sudut matanya yang mengeluarkan air mata. Senyumnya kembali merekah dengan indah. "Kak Changbin, kak Seungmin, dan kak Felix sedang mencari obat-obatan sedangkan kak Chan, kak Minho, dan kak Yongbok sedang berlatih. Oh, Ya Tuhan, aku benar-benar bersyukur kau bisa membuka kembali matamu! Aku pikir...." Tatapan Jeongin berubah kembali sendu. Manik matanya bergetar seolah siap kembali menangis.
"Aku baik-baik saja! Lihatlah!" cepat-cepat Han merentangkan kedua tangan dan menggerakannya pelan, mengabaikan rasa sakit pada persendian tulang miliknya. "Jangan menangis, okay! Ayo senyum, perjalanan kita masih panjang," pinta Han pada yang lebih muda. Kembali ia lukiskan senyum lebar miliknya untuk menenangkan Jeongin yang kini telah menunduk. "Bagaimana dengan Hwang?"
Wajah Jeongin berubah masam ketika mengingat kembali Hyunjin yang menolak masuk ke dalam gedung. Pemuda itu terus duduk di kursi yang ada di luar, memandang pada langit dengan tatapan kosong seolah separuh jiwanya telah hilang. "Kak Hyunjin ada di luar. Dia sepertinya yang paling terluka."
Siapapun tahu, Hyunjin adalah yang paling dekat dengan Han. Berpikir bahwa ia telah kehilangan satu-satunya kompas di dalam hidup membuat pemuda berparas cantik itu ikut masuk ke dalam keputusasaan tak berujung. Hyunjin terus menangis di sepanjang malam, merenung, dan menggumamkan nama Han dengan menyedihkan. Tiga hari berturut-turut, selama manik indah milik Han masih terpejam.
"Bisa bantu bawa aku padanya?"
Jeongin mengangguk. Tak banyak bicara lagi, ia segera merengkuh tubuh Han dan segera membantunya untuk pergi ke tempat di mana Hyunjin berada. Tak membutuhkan waktu lama karena jarak antara ruangan Han berada dengan bangku yang diduduki oleh Hyunjin cukup dekat dibandingkan bayangan Han. Tatapan sendu Han sorotkan memandang punggung Hyunjin yang gemetar di sana. Pemuda Hwang itu memeluk kedua kakinya dan menyembunyikan wajah miliknya di lipatan tangan yang memeluk kedua kaki itu.
Perlahan Han langkahkan kaki untuk mendekat dengan bantuan Jeongin sebagai penopangnya. Tentu saja ia masih membutuhkan bantuan untuk berjalan. Mau bagaimanapun, tubuhnya belum pulih total meskipun Betelgeuse telah menarik jiwa Han lebih dulu sebelum ia pergi dari raganya. Betelgeuse hanya menyelamatkan jiwa Han, bukan raganya. Alhasil, tubuh Han masih bisa merasakan sakit akibat luka dari monster menyeramkan itu. Han pikir, ada beberapa tulangnya yang retak. Rasanya sungguh ngilu.
"Hwang."
Suara parau Han membuat wajah Hyunjin terangkat. Seperti yang diduga, Hyunjin tengah menangis meratapi kejadian itu. Bagian bawah matanya tampak membengkak tanda ia memang menumpahkan kristal bening menyedihkan terus-menerus.
"Aku pulang. Kau tidak rindu padaku?"
Hyunjin merengut. Alih-alih memeluk tubuh Han seperti yang Jeongin lakukan tadi, ia justru merengek seraya membuang wajahnya ke arah lain seolah enggan menatap temannya itu.
"Apa kak Hyunjin ini tipikal orang yang tsundere? Sifatnya kerapkali berubah." Jeongin mengadu. Ia cukup jengah karena tak paham dengan pola pikir pemuda Hwang itu.
"Tidak," jawab Han singkat. Kembali ia langkahkan kakinya untuk semakin dekat kepada Hyunjin. "Jin-ie marah, ya?" ia usap puncak kepala Hyunjin dengan sayang. "Maaf karena aku pergi tanpa pamit terlebih dahulu. Sudah marahnya, ya? Aku di sini sekarang."
Hyunjin menghentakkan kakinya dengan sebal ke tanah. Masih dengan wajah cemberut, pemuda itu akhirnya beralih memeluk pinggang ramping Han dan menenggelamkan wajahnya di sekitar perut pemuda tersebut. Terlihat menggemaskan.
"Han!"
Seseorang memanggil. Itu Chan yang baru saja kembali dari latihannya bersama dengan Minho dan Yongbok. Berlari kecil menghampiri ketiga pemuda tersebut sebelum akhirnya menepuk salah satu pundak Han, Chan kembali berujar, "Syukurlah kau baik-baik saja. Coba tebak apa yang baru saja kupelajari!"
Han tampak berpikir untuk menjawab Chan yang terlihat seperti anak kecil hendak menunjukkan mainan barunya. "Kak Chan baru saja bisa mengontrol kekuatanmu, benar?"
Yang dijawab anggukkan semangat oleh pemuda tersebut. "Lihat ini!" perlahan ia mulai fokuskan mana nya ke telapak tangan hingga muncul sebuah bulir es. Hingga akhirnya, bulir itu membentuk sebuah merpati indah dan terbang begitu saja di udara.
Melihat itu membuat senyum Han merekah lebar. Netranya sibuk menatap merpati es yang terbang dengan takjub. Tak sekalipun ia alihkan pandangan dari sang merpati hingga hilang di indera pengelihatannya. "Hebat! Es itu hidup? Bagaimana bisa?"
"Kekuatan Archernar adalah es, dan aku mengaplikasikannya dengan membentuk es tersebut sesuai keinginanku. Untuk menghidupkan es nya, aku hanya perlu memfokuskan diri meski tentu mana yang dikeluarkan cukup besar. Tapi berkat Minho, aku bisa mengembangkan mana dengan baik hanya dalam satu hari."
Han senang, sangat. Hanya mendengar celotehan riang dari Chan membuat hati Han menghangat. Tak pernah terbayangkan dibenaknya bisa mendapatkan teman seperti Chan yang pandai membangun suasana. Meski umurnya terbilang lebih muda dari pemuda tersebut, Han terlihat lebih dewasa dari mereka semua yang ada di sana.
"Bagaimana dengan kak Changbin, Seungmin, dan Felix? Aku harap mereka baik-baik saja. Apa tidak ada alat komunikasi?" tanya Han pada akhirnya mengakhiri kesenangan tersebut. Ia merasa sedikit khawatir dengan ketiga orang lainnya yang mencari obat demi dia.
"Aku pikir semuanya akan baik-baik saja asalkan kak Felix bersama mereka," jawab Jeongin sedikit meredakan kekhawatiran dalam benak Han. "Kak Felix cukup peka dengan keadaan. Ia bahkan tahu dengan baik kapan dan bagaimana monster itu akan muncul. Aku yakin, kekuatan yang dimaksud oleh pak tua itu adalah miliknya," sambungnya kemudian, mencoba meyakinkan mereka yang tampak ragu. "Lebih baik menunggu di dalam. Di luar berbahaya. Monster-monster itu bisa datang kapan saja."
Mendengar penuturan tersebut membuat mereka semua mengangguk setuju. Jeongin kembali menuntun Han dengan Hyunjin yang senantiasa memeluk tubuh ringkih milik pemuda berpipi gembil. Ia tidak ingin berpisah lagi dengan Han.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro