11: Survivor
Han melangkahkan kakinya di atas dataran yang asing bagi netra. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, coba mencari eksistensi orang-orang yang dikenalinya. Namun sama sekali tak ada siluet dari mereka yang Han kenal. Sepanjang mata memandang, hanya ada bebatuan dan tebing-tebing tinggi menjulang di depannya. Lama-lama Han jadi bingung sendiri.
Terakhir kali kesadarannya masih ada, Han hanya melihat wajah cengeng Hyunjin menatapnya sembari menangis. Setelah itu, gelap mulai merenggut indera pengelihatannya. Lama Han tertidur, tiba-tiba ia sudah berada di dunia yang tidak dikenal. Pemuda itu jadi curiga jika sebenarnya sekarang ia sedang berada di akhirat. Tapi sungguh, andaikan saat ini memang dirinya berada di akhirat, tempat ini sama sekali tidak mencerminkan hal tersebut.
"Kupikir kepalaku terbentur sangat kuat sehingga bermimpi aneh seperti ini?" Han bermonolog. Sesekali ia lirikan matanya ke seluruh penjuru yang dapat tertangkap di indera. "Maksudku, lihat tempat jelek ini. Bagaimana bisa tempat ini disebut akhirat?" kali ini Han menghela nafasnya kecewa. Hidup Han sudah cukup suram, kenapa akhirat yang menanggung jiwanya juga masih sama suramnya?
Maksudnya, lihatlah ke sekeliling. Tak ada apapun selain bebatuan menumpuk disana-sini. Jangankan sungai atau pepohonan, tempat ini bahkan hanya diisi dengan warna abu-abu.
Jelek sekali, pikir Han jengkel.
"Kau ini benar-benar kurang ajar, Jisung."
Han melompat mundur ketika suara itu terdengar. Atensinya beralih menuju suara dan mendapati seekor singa dengan kedua sayap indahnya berdiri gagah di atas salah satu bebatuan.
Kedua mata si pemuda mengerjap, mengamati sosok hewan buas itu dengan keheranan. Kening Han semakin berkerut kala si hewan berjalan begitu gagah dan tegas menghampirinya. Oh, apakah Han akan mati untuk yang kedua kalinya?
Makhluk apa yang saat ini sedang berdiri di hadapan Han dan menatapnya rendah seperti itu?
"Apa aku akan mati untuk yang kedua kalinya, tuan singa?" tanya Han polos seraya sedikit memiringkan kepalanya, membuat singa itu tertawa mendengar hal tersebut.
"Tentu saja tidak. Apa yang kau pikirkan?" Ia gerakan sayap indahnya untuk merengkuh tubuh Han agar lebih mendekat padanya. "Kau hanya sedang mengistirahatkan tubuhmu."
Han tak mengerti akan apa yang dikatakan oleh singa itu. Namun si pemuda mendekat seiring sayap tersebut merengkuh tubuhnya hingga bersandar di tubuh tegap milik sang singa. "Kau roh yang dibicarakan kak Minho?"
Sang singa mengangguk. "Pintar. Aku Betelgeuse, roh yang selama ini ada di dalam tubuhmu."
"Apa kau mau jadi temanku?"
"Kau kembali membual. Aku sudah menjadi temanmu sejak umurmu masih kecil."
Kening Han kembali berkerut heran. Ucapan Betelgeuse sama sekali berbanding terbalik dengan apa yang Minho ceritakan saat itu. Minho bilang, mereka membantu bukan berarti mereka mau menjadi seorang teman.
Tapi tunggu, apa Minho benar-benar pernah mengatakan hal itu? Ah, lupakan. Sejujurnya Han tak ingat dengan penjelasan dari pemuda pemilik marga Lee itu.
"Jika begitu, apakah kau mau meminjamkan kekuatanmu padaku?"
Betelgeuse beralih merebahkan dirinya dengan Han yang juga ikut duduk bersandar di tubuh besar milik roh itu. Sesekali sang singa menjilat pipi tembam Han dengan sayang. "Kau ingin menggunakannya? Terakhir kali kita bicara, kau menolak tawaranku." Ia terkekeh samar. "Katanya hal seperti itu tidak kau perlukan. Sampai akhirnya kau melupakan tentangku."
"Benarkah begitu?" Han merasa cukup bersalah setelah mengetahui hal tersebut. Bagaimana bisa ia melupakan Betelgeuse yang terlihat luar biasa ini? "Aku benar-benar minta maaf. Kapan terakhir kali kita berbicara?"
"Ketika umurmu tujuh tahun. Kita bertengkar saat itu dan kau tak ingin bicara lagi denganku. Pada akhirnya, aku hanya bisa mengamatimu diam-diam hingga kau sebesar ini," cerita Betelgeuse sembari menepuk kepala Han dengan telapak kaki depannya. Kedua mata cantik miliknya menatap Han lekat, seolah tengah menyalurkan rasa rindu yang selama ini dipendamnya.
Betelgeuse memang terbilang roh yang sangat baik karena memiliki kasih sayang pada manusia seperti Han. Dalam benaknya, ia sungguh menyayangkan sosok Han yang ceria harus tumbuh di dalam keluarga tak baik. Meski saat pemuda itu masih kecil, keluarganya memang hidup sagat harmonis sehingga membuat seluruh tetangga merasa iri. Tetapi itu tak berlangsung lama karena ketika Han menginjak umur sepuluh tahun, orangtuanya bangkrut dan berbalik menyiksa Han yang saat itu masihlah belum memahami bagaimana kerasnya dunia.
Rasanya Betelgeuse ingin mengutuk semesta, lebih dari Han sang pemilik hidupnya sendiri. Roh baik hati itu benar-benar marah karena Han nya yang manis harus merasakan seluruh kepedihan itu seorang diri. Hingga titik di mana Han selalu memasang topengnya di hadapan semua orang dan mengatakan bahwa dirinya tak apa-apa. Menjadi seorang badut penghibur adalah hal yang selama ini Han lakukan untuk menutupi seluruh luka basah yang tak pernah mengering.
Bersama luka itu, Han tumbuh menjadi anak berhati lembut nan manis. Tak ada keluhan yang keluar dari bibir ranumnya. Bahkan hatinya masih tetap bersih. Itulah kenapa Betelgeuse sangat menyayangi Han. Disaat kebanyakan anak di keluarga broken home tumbuh menjadi anak kotor yang penuh dosa, Han masihlah menjadi anak berhati malaikat yang tak segan menolong siapapun.
Han tidak pernah menangis walaupun ia ingin. Betelgeuse tahu, air matanya telah mengering jauh sebelum Tuhan menghancurkan semesta untuk kembali dibangun. Dan demi apapun, Betelgeuse bersyukur bisa melindungi Han di waktu yang tepat atau pemuda berpipi gembil itu akan pergi terlebih dahulu sebelum bisa menjadi orang yang berguna. Menjadi orang yang berguna adalah salah satu harap Han, dan setidaknya Betelgeuse juga menyelamatkan harap Han tersebut.
"Kapan aku bisa kembali?"
Betelgeuse memiringkan kepalanya. "Apa kau tidak suka berada di dekatku?"
Pertanyaan tersebut mendapatkan gelengan kepala dari Han sebagai jawaban. Bukannya tidak ingin berlama-lama bersama dengan Betelgeuse di dunianya, hanya saja, ia tak ingin terlalu lama membuat teman-temannya khawatir.
Tunggu sebentar. 'teman-teman'? Haruskah Han memanggil mereka seperti itu? Mereka hanya tak sengaja dipertemukan takdir untuk membantu semesta memulihkan dirinya, apakah Han bisa memanggil mereka semua dengan sebutan 'teman'?
"Aku mengerti." Betelgeuse mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Memang, tak ada pilihan Han untuk menetap di dalam dunianya. Tuhan telah menuliskan Han sebagai survivor di garis takdirnya. Walaupun Betelgeuse ingin membuat Han tetap berada di sisinya, hal itu tak dapat ia lakukan. Diringa terlalu takut menentang keputusan Tuhan. Tuhan hanya memerintahkan mereka--para roh--untuk melindungi anak-anak yang sangat dicintai oleh-Nya. Tidak lebih dari itu. "Kembali lah. Pemuda Hwang itu benar-benar kehilangan kendali."
"Hwang? Ah, Hyunjin maksudmu?" seakan paham dengan apa yang dimaksud oleh roh binatang itu, Han segera bangkit dari duduknya. Ia sesaat menepuk celana bagian belakang untuk menghilangka debu yang menempel. Setelah itu, Han usap puncak kepala Betelgeuse dengan lembut seakan menyampaikan salam perpisahan padanya. "Jangan putuskan komunikasi lagi. Selain membutuhkan bantuan darimu, aku cukup senang bisa bicara denganmu."
"Kau seperti orangtuaku, Betelgeuse. Rasa kasih sayang yang kamu berikan, meskipun hanya sebentar, benar-benar mengobati luka di dalam hatiku. Terima kasih banyak."
Pada kalimat terakhirnya, Han mengembangkan senyum lebar khas miliknya yang sangat manis sehingga menampilkan deretan gigi rapih miliknya. Bahkan kedua mata Han sampai membentuk bulan sabit, menandakan bahwa benar Han merasakan kehangatan yang luar biasa dari roh binatang itu.
"Berhati-hati lah. Dunia sedang tidak baik-baik saja. Entah monster atau manusia, mereka semua berbahaya. Jangan sekalipun kau sentuh kegelapan yang mengincar anak-anak berhati suci, Jisung. Tolong ingat pesanku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro