Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Prolog

Arloji menunjukkan pukul sembilan malam. Bulan menggantung di atas langit hitam. Jangkrik bercengkrama dengan katak tentang hari esok. Manusia sudah beranjak pulang ke rumah. Mengistirahatkan badan setelah aktivitas siang. Sementara Ardan, masih berdiri di atas tanah yang lebih tinggi, mengecek arlojinya berulang kali, lalu berpaling ke arah pintu.

Mobil mewah hitam yang terparkir di pekarangan menjadi sumber kekhawatiran. Seperti yang sudah dijelaskan, ini pukul sembilan malam. Namun tamu yang sejak maghrib mampir ke rumah Naely, masih belum beranjak pergi. Plat nomor hijau menjadi ciri. Tapi setinggi apapun jabatan seseorang, bukankah tak beradab singgah hingga selarut ini?

"Haduh. Mereka lagi ngapain sih? Dia siapa? Punya maksud apa?" Kepala Ardan dipenuhi pertanyaan. Pria itu tak berkaca, bahwa dia sendiri tidak sopan memantau kegiatan orang lain.

Tingkah anehnya bermula semenjak Naely dilamar tiga pria dalam seminggu. Pria itu jadi tak pernah tidur tenang. Dia tak bisa pulang sebelum memastikan apa pinangan pria itu diterima. Perasaannya campur aduk. Membuatnya sedikit egois, sebab mendoakan yang tidak-tidak.

"Hati-hati di jalan!"

Pintu terbuka. Suara Pak Bromo langsung terdengar lantang ke telinga Ardan. Pria itu memfokuskan pandangannya, melihat wajah tak sedap dari pria berseragam hijau. "Apa yang ini juga ditolak?"

Jantung Ardan berdebar. Bertanya, sebenarnya standar menantu impian Pak Bromo yang seperti apa? Dari pengusaha hingga pejabat, semuanya ditolak. Padahal kalau melihat sisi keluarga Naely sendiri, mereka hanya petani biasa yang punya beberapa hektar tanah.

Ardan kembali fokus. Pria berseragam tadi tak menjawab sapaan Pak Bromo. Wajahnya kecut, masuk ke mobil dengan langkah menyentak. Mobil berputar menerbangkan debu tanah. Sungguh tidak sopan untuk ukuran manusia berpendidikan.

Ardan ingin tahu penyebabnya.

Setelah kepergian pria itu, Naely menyusul keluar dengan tangan melipat di dada. Wajahnya juga sama kesal. Mulutnya komat-kamit mengeluarkan makian tanpa suara.

Ardan tersenyum. Cukup sampai disitu saja dia mencari tahu. Setidaknya, Naely terkuak masih single hingga esok pagi. Ardan akan menanyakannya kejadian hari ini ketika mereka bertemu nanti.

Kreek!! Meong!!!!

"Ardan?" Suara Naely memanggil dari kejauhan. Ardan menelan ludah, bulu kuduknya berdiri. Pria itu menunduk ke bawah untuk melihat apa yang dia injak. Kucing kawin melotot kesal padanya. Mata pria itu terpejam, berharap bisa teleportasi saja.

"Ardan?" panggil Naely lagi.

Pandangan mereka bertemu. Ardan mematung, nyaris jantungan. Naely mendekat untuk mengajak pria itu masuk. Tidak ada kecurigaan sama sekali. Bodohnya Ardan malah berlari seperti maling kutang yang ketahuan beraksi. Naely spontan memakai sendalnya dan menyusul pria itu.

"LHO! ARDAN!" teriak Naely. "BERHENTI!"

Ardan takut dan malu di saat bersamaan. Dia tak menyangka Naely mengejarnya.Pupus sudah niat melarikan diri. Tapi jika berhenti pun, Ardan tak tahu harus berbuat apa. Dia tak punya alasan bagus untuk menjelaskan sikapnya. Bisa-bisa, perasaan terpendamnya pada wanita itu terungkap. Kemudian hubungan mereka akan berakhir canggung.

"WOY!!" Naely memaksimalkan langkahnya agar bisa menyusul. Napas wanita itu tersenggal, ketahuan jarang olahraga. Dia berusaha mengambil langkah sepanjang mungkin. Namun ternyata kakinya tak siap. Ditambah matanya tak memperhatikan sekitar hingga Naely berakhir terjungkal, tersungkur ke pinggir kebun.

"Aduh!!"

"Nay!" pekik Ardan. Jantungnya berdebar hebat. Dia berhenti melangkah dan berlari ke arah sebaliknya untuk menolong Naely. "Ngapain kamu nyungsep di sana?" tanyanya.

Naely merasa kesakitan. Namun ketika melihat Ardan mendekat, dia langsung berdiri melampiaskan kekesalannya. "Kamu gila, ya? Lari-lari tengah malam. Kamu anggap aku Mbak Kunti?!"

"Suuutt! Jangan ngomong gitu malem-malem. Mana ini kebun kelapa," desis Ardan. Dengan telaten, pria itu membersihkan tanah yang menempel di baju Naely. Matanya menyiratkan kekhawatiran. Rasa malunya hilang. Kini dia sibuk mengecek apakah ada luka di tubuh sahabatnya. Sebab jika Pak Bromo sampai tahu lebih dulu, paruh baya itu bisa menyemburkan lahar panas dan membakar Ardan serta pohon kelapa yang membuat putrinya jatuh.

"Kamu kenapa lari?" tanya Naely lagi.

"Kamu ngapain ngejar?"

"Ya karena kamu lari!"

"Kalau ada orang lari, harus kamu kejar, ya?"

Naely menjitak kepala Ardan. Pria itu mengaduh. "Sakit?"

"Masih ditanya!" Ardan mengusap keningnya yang terasa benjol.

Naely mendengkus tanpa rasa bersalah. "Makanya, kalau diajak ngobrol tuh serius!"

"Oh, kamu mau aku seriusin?" canda Ardan lagi. Masih sempat-sempatnya menggoda Naely yang sedang marah. Dia terkekeh dengan kata-katanya sendiri. Namun humor itu harus berhenti, ketika Naely hanya menjawabnya dengan diam.

"..."

Sunyi mendominasi di dalam gelapnya malam. Suara jangkrik pun tak lagi terdengar. Ardan berdeham, menetralkan kecanggungan. Hilir angin yang lewat di tengkuk lehernya tak semenakutkan raut serius Naely sekarang. Sepertinya, dia sudah dapat jawaban dari pertanyaannya sendiri. Pria itu terkekeh, mau tak mau harus terima.

"Pulang, yuk! Aku anterin," ajak Ardan sambil berdiri dan mengulurkan tangan.

"Ya iyalah anterin! Di mana letak kejantananmu kalau aku pulang sendiri?" omel Naely.

"Masih di tempatnya, kok," jawab Ardan terkekeh, menatap jahil. Lagi-lagi, pria itu mendapat jitakan. "Aduh!"

***

Sinar bulan tertutup oleh awan pekat. Angin malam melintas di samping telinga. Terkadang pria itu merasa mau pingsan karena takut oleh hal-hal tak kasat mata. Namun, kali ini ada hukuman lebih berat di pundaknya. Ardan menggendong Naely di punggung. Wanita itu dengan santai menempelkan pipi. Membuat beban Ardan terasa lebih berat.

"Aarrggh! Aku punya dosa apa sih sama kamu?" erang Ardan sembari membenarkan posisi Naely. Rasanya berat sekali hari ini. Banyak kejadian tak terduga dan pikiran pikiran yang tak bisa ditepis. Membuat Ardan tak fokus dengan pekerjaannya.

"Banyak!" Naely menjawab ketus.

"Yaudah, aku minta maaf!"

"Jajanin dulu bakso!" Naely memasang wajah marah.

"Iya ... besok ya ...."

"Wah! Beneran?!" Naely meloncat karena bersemangat. Mendengar Ardan yang iritnya kelewat miris, tiba-tiba mau mentraktir bakso. Ada setan apa yang merasukinya?

Gerakan Naely membuat Ardan kehilangan keseimbangan. Mereka terpeleset, jatuh di bawah pohon pisang. Naely mengaduh. Senyumnya hilang karena kembali murka dengan kelakuan Ardan.

"Aaargh!" Naely berdiri. Memandang kesal pada Ardan yang malah melamun di bawah pohon. "Kamu kenapa sih? Aneh banget hari ini," tanyanya. Mulai dari malam-malam ada di depan rumahnya, lari ketika dipanggil, pasrah saat Naely minta bakso. Ini aneh sekali. Apa Ardan sakit?

"Nay?"

"Apa!!" Naely melotot.

"Harus banget ya kamu nikah?"

Naely termenung dengan alis terangkat sebelah. Kenapa tiba-tiba Ardan bertanya begitu?

"Karena masalah itu kamu jadi aneh?" tanyanya lagi. Ardan dengan malu mengangguk. Tak bisa lagi dia tutupi kekhawatirannya.

Naely mengambil selembar daun pisang, kemudian menjadikannya alas saat duduk di samping Ardan. Dia rasa, pembicaraan ini akan sangat panjang.

"Ya iya lah! Umurku udah 24 tahun. Bapakku makin tua. Aku harus nikah," jelas Naely singkat jelas padat.

"Trus kenapa yang tadi juga ditolak?" tanya Ardan.

"Oh kamu nguping?" Naely menyipit curiga.

"Kalau iya, ngapain aku nanya kamu?"

"Iya juga." Naely mengangguk setuju. "Soal itu, tanya aja ke bapak. Kalau aku yang jawab, kita bisa ghibah 24/7 cuma untuk ngomongin semua kejelekan dia di depanku tadi."

"Paling bapak cuma bilang, 'Aku ada type!'." Ardan meniru cara bicara Pak Bromo. "Aku butuh jawabanmu. Sebenernya, tipe kamu itu yang kayak gimana?"

Naely lagi-lagi termenung dan berpikir. Ditatapnya Ardan dari atas ke bawah dengan serius. "Pastinya bukan kayak kamu," jawabnya terkekeh. "Siapapun itu, asal bapakku suka, aku juga suka."

'Kalau gitu doang, Pak Bromo juga suka sama aku, kok,' batin Ardan.

Pria itu mendecih. "Kamu harus pilih cowokmu sendiri. Aku capek liat mereka bolak-balik datang ke rumahmu. Takut mereka orang gak bener."

"Aku yang mau nikah kok kamu yang cemas?"

"Karena kalau kamu gak bahagia setelah nikah, aku juga yang repot."

Naely mengangguk setuju. Memang, setiap dia sedih, hanya Ardan yang berada di sisinya. Hanya dia yang mampu menenangkan dengan kata-kata dan juga pelukan. Bapaknya sekalipun, tak bisa melakukan itu. Terutama setelah Ibu tiri Naely yang mengurusnya dari kecil, meninggal dunia.

Jika dia menikah, Naely akan sangat kehilangan sosok Ardan. Bukan karena mereka tak bisa jadi sahabat lagi. Tapi karena Naely harus menjaga jarak dan menghormati perasaan suaminya kelak. Tanpa disadari, itu juga yang dikhawatirkan Ardan hingga tak rela Naely menikah dengan pria lain.

Sejenak, Naely bersandar di bahu Ardan. Berpikir jadi perawan tua pun tak masalah selama Ardan di sisinya. Namun sekali lagi, dia harus mempertimbangkan usia bapaknya.

"Kamu bener. Makasih, ya. Udah selalu ada buat aku."

"Suutt!" Ardan langsung mendesis tak suka. "Kamu ngomong gitu kayak mau nikah besok aja."

Naely terkekeh. Kepanikan Ardan benar-benar membuatnya gemas. Kapan lagi dia bisa melihatnya mengeluarkan pikiran. Naely baru tahu, Ardan menyimpan kecemasan itu sendiri.

"Pak saya ke sini, ya!" terdengar suara orang-orang berteriak dari ujung ke ujung. Seolah berpencar untuk menemukan sesuatu.

Bahu Ardan terangkat, memastikan kebenarannya.

"Nay?! Naely!" panggil Pak Bromo dari kejauhan. "Aduh, itu anak ngapain pake ikut lari segala."

"Bapak yakin yang dia kejar itu Ardan? Jangan jangan ..."

"Hush!! Udah fokus cari aja." Pak Bromo mengarahkan senternya ke segala arah.

Mereka yang ditunggu pun tersadar, waktu sudah terlalu larut. Pak Bromo yang tak suka melihat putri semata wayangnya berkeliaran di malam hari, mulai kesal dan mengerahkan ajudan desa untuk mencari gadis itu.

"Pulang, yuk!" ajak Naely cemas.

Ardan menahan tangannya. "Kamu beneran kebelet nikah?"

"Iya! Udah, yok ngobrolnya. Sebelum Bapak ke sini."

"Aku punya cara supaya kamu bisa nikah dengan orang yang tepat tanpa mikirin restu Bapak."

"Nay?" Suara Pak Bromo makin dekat.

Naely kesal setengah mati dengan kelakuan Ardan hari ini. Pembahasan apa yang lebih penting dari menghindari kemarahan Bapak? Naely ingin beranjak, namun tangannya dicengkram erat.

"Ya udah apa?!" pekiknya.

Kurang dari satu detik, Ardan menarik leher Naely mendekat. Mengecup bibir wanita itu sebagai jawaban. Memberikannya serangan dadakan yang tak bisa dibantah.

Waktu terasa berhenti. Namun pada menit yang sama, rombongan Pak Bromo berhasil menemukan mereka. Sedang berkecup mesra dengan tak tahu malunya, di bawah pohon pisang. Sontak semua kaget. Langsung memanggil Pak Bromo untuk melihat apa yang dilakukan putrinya.

Naely tak mengerti, kenapa tubuhnya tak bisa mengelak di saat seperti ini. Mereka sudah melakukan hal tak senonoh di depan warga. Jantungnya nyaris berhenti berdetak karena bekerja diluar kebiasaannya.

"Pak Bromo! Lihat ini, Pak!" teriak satpam. Naely makin gemetar.

Pak Bromo langsung menyusul ke asal suara.

"ARDAN NICHOLAS!"

Ardan melepas pangutan bibirnya. Tersisa manik coklat tajam yang menusuk akal sehat. Naely menginginkan jawaban. Tapi Ardan tak lagi peduli. Pria itu berdiri dengan mengumpulkan tekad, menghadap Pak Bromo yang datang dengan letusan lahar panasnya.

Bughh!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro