Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7

   Saat kafe baru saja tutup, suara gaduh yang berasal dari dapur membuat hampir seluruh karyawan kafe termasuk juga Riyan yang belum pulang bergegas menghampiri sumber suara. Di lantai, Raesha tergolek pingsan. Tanpa berpikir dua kali, Riyan bergegas membopong tubuhnya yang sebelumnya ingin dibopong oleh beberapa karyawan. Tujuan Riyan ialah pusat kesehatan terdekat. Rasa panik menyergapnya.

Riyan. Laki-laki dari masa lalu Raesha. Tapi, kini dia sudah memiliki keluarga. Menikah muda, tepatnya. Dijodohkan oleh orangtuanya. Membuatnya harus melepaskan Raesha, dengan hati berat. Namun, perlahan tapi pasti, dia akhirnya bisa berdamai dengan keadaan. Mencoba menerima kehadiran sang istri di dalam hidupnya.

Kini, rasa sayangnya pada Raesha tidak lebih dari rasa ssayang seorang kakak terhadap adiknya.

Dia kuatir. Tentu saja. Bagaimanapun, Raesha juga karyawannya. Tanggung jawabnya. Terlebih, waktu itu Fariz memintanya untuk menjaga Raesha.

Setelah hampir satu jam lamanya, mata Raesha terlihat mengerjap pelan. Tangannya bergerak lemah menuju kepala. Pengelihatannya masih sedikit tidak jelas. Ringisan pelan terdengar dari bibirnya. Membuat seseorang yang nyaris terlelap kembali sadar.


"Echa? Jangan banyak gerak dulu!" Riyan langsung mencegah Raesha yang bergerak ingin bangkit dari baringnya.

"Bang Riyan?" Raesha bingung menatap Riyan. "Ini di mana?" tanyanya sambil memperhatikan keadaan sekitar.

"Rumah sakit. Tadi kamu pingsan. Aku khawatir dan langsung bawa kamu ke sini," jelas Riyan. Tatapan matanya pun turut menguatkan jika laki-laki itu benar mengkuatirkannya.

Tanpa bisa dicegah, ada rasa hangat menjalar di benak Raesha. Namun, getaran itu sudah tidak lagi dirasakannya. Sejak … setahun yang lalu. "Terima kasih. Maaf karena jadi merepotkan," ucapnya sedikit merasa tidak enak.

Riyan tersenyum sambil menggeleng. "Udah jadi tanggung jawab aku, kog," sahutnya santai.

Saat Raesha kembali ingin membuka suara, suara dering ponsel yang sangat dikenali Raesha berbunyi.

"Nih." Riyan menyerahkan ponsel milik Raesha kepada gadis itu. "Dari tadi Fariz nelepon kamu. Tapi, nggak berani buat kuangkat. Itu privacy, aku yakin," jelas Riyan kemudian, penuh pengertian.

Setelahnya, Riyan beranjak keluar. Dia teringat, jika sejak tadi belum makan. Sekaligus ingin memberi kabar kepada sang istri. Jangan sampai Alza salah paham dengan ini semua.

Di lain tempat, Fariz menghembuskan napas pelan. Di ujung sana, Raesha selalu saja menyahut. Membuatnya harus lebih bersabar. Kekasihnya itu memang sangat keras kepala. Jika terus seperti ini, mungkin weekend ini Fariz akan kembali pulang. Lebih tepatnya ingin memastikan kondisi Raesha baik-baik saja. Gadis itu perlu diawasi baru akan teratur makan tidurnya. Seringkali Raesha melalaikan kedua hal itu. Salah satu kebiasaan Raesha yang membuat Fariz disergap rasa kuatir kala jarak memisahkan mereka.

"Aku bakal nekad pulang malam ini, kalo kamu masih nggak mau denger omongan aku!" ancam Fariz. Nada suaranya terdengar tegas dan serius. Membuat Raesha di ujung sana mengerucutkan bibirnya, kesal.

'Iya-iya! Apaan deh, masa main ancam aja sih?!' gerutu Raesha.

Fariz tersenyum samar. "Kamu tau 'kan, kalau aku nggak pernah main-main sama perkataan aku?"

'Hm.'

"Habis ini pulang?" tanya Fariz.

'Hm.'

"Sama Bang Riyan?" tanya Fariz, lagi.

'Sama kang bakso.' seloroh Raesha.

Fariz terkekeh pelan. "Hati-hati, ya. Sampai rumah nanti langsung tidur. Jangan belajar, jangan beres-beres apalah itu, dan jangan main hp, paham?" Fariz mendikte satu per satu hal apa saja yang tidak boleh Raesha lakukan.

'Hm.'

Sambungan ditutup setelah satu dua kalimat selanjutnya.

Setelah meletakkan ponselnya di atas nakas samping ranjang, Fariz yang memang sudah sangat lelah seharian ini, langsung menghempaskan tubuh di atas kasur empuk miliknya. Tidak membutuhkan waktu lama, alam mimpi sudah menjemput untuk kembali berlayar.

🌻🌻🌻

   Keesokan harinya, tidak seperti saran yang dokter sampaikan padanya, Raesha malah tetap masuk sekolah seperti biasa. Sorenya pun demikian, dia tetap masuk kerja.

"Echa? Udah sehat? Bukannya semalam aku bilang istirahat aja di rumah, ya?" Riyan menatap Raesha tajam, saat menemukan mantan kekasih sekaligus karyawannya yang seharusnya tetap di rumah, beristirahat, malah tetap bekerja seperti biasanya.

Raesha bukannya merasa bersalah atau apa, dia hanya membalas dengan senyuman dan berkata, "Echa udah baikan, kog. Semalam, kan udah istirahat." Dengan begitu santai ia menjawab pertanyaan Riyan.

Riyan menghembusan napas pelan. Raesha tetap Raesha. Gadis keras kepala yang sok kuat, sok tegar. "Ya sudah, tapi nanti kalau merasa kurang enak badan … izin pulang aja. Aku nggak mau kalau kamu sampai kenapa-kenapa. Paham, 'kan?" Untuk kali ini, Riyan tidak mau berdebat dengan Raesha. Lagian, dia ada pekerjaan mendesak sore ini yang cukup penting. Jadi, tidak punya banyak waktu untuk meladeni gadis keras kepala satu itu.

Kepala Raesha mengangguk patuh. "Siap, pak bos!" Riyan terkekeh kecil melihat Raesha yang bergaya persis seperti sedang hormat kepada bendera.

"Aku duluan, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Raesha menatap punggung Riyan yang kian menjauh. Hembusan napas pelan terdengar keluar dari bibirnya. Kemudian melengkungkan kecil bibirnya. Bagaimanapun, Riyan pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya.

"Echa …."

Tubuh Raesha menegang saat sebuah suara yang sudah dikenalnya lama, masuk ke dalam rungunya. Ekspresinya berubah otomatis, flat. Sorot matanya menajam.

Raesha akui, jika dia mungkin bukan perempuan yang memiliki hati baik. Raesha sadar, ia jauh dari kata sempurna. Buktinya, meski kejadian itu sudah cukup lama berlalu, rasa benci juga kecewa masih meliputi hatinya. Tidak tahu kapan masanya bagi Raesha untuk benar-benar berdamai dengan masa lalu. Mencoba menerima keadaan dengan kelapangan hati. Belum lagi dirinya, sangat benci sebuah pengkhianatan.

Kaki Raesha sudah selangkah ingin berlalu, saat sebuah tangan mencekal lengannya, membuat langkah Raesha kembali terhenti.

"Kita perlu bicara, Cha."

"Jika tentang kejadian semalam, itu bukan keinginan gue. Sama seperti apa yang lo bilang soal pernikahan kalian, bukan mau lo, right?" Nada bicara Raesha terdengar sangat sinis. Juga tajam, menohok tepat di ulu hati si lawan bicara. Alza. Istri Riyan. Sahabat dekat Raesha sejak SD, yang sekarang sudah seperti orang asing baginya.

Kepala Alza menggeleng cepat. Dia tidak ada niat membahas kejadian semalam. Meski ingin. "Bukan tentang itu. Ini tentang kita. Aku ingin kita bisa seperti dulu--"

"Semuanya sudah selesai. Lo tau sendiri 'kan, kalau dalam kamus gue, nggak ada yang namanya kesempatan kedua bagi seorang pengkhianat." Raesha berbalik seraya menyentak tangan Alza.

"Aku bukan pengkhianat!" tegas Alza dengan mata berkaca-kaca.

Raesha tersenyum miring. Ia maju dua langkah. Sekarang, jaraknya dengan Alza amat dekat. Jangan kira hati Raesha sekeras batu. Melihat sorot Alza yang menyimpan sejuta penyesalan membuat hatinya ikut teriris. Tapi, ego membuatnya menutup mata juga telinga.

"Yang bilang lo pengkhianat siapa?" sahut Raesha santai.

Beruntung dapur sedang sepi. Jadi, percakapan mereka akan sangat minim terdengar.

"Kalau gue bisa milih, gue juga nggak mau berada di situasi seperti ini," lirih Alza sambil menatap sendu Raesha yang ekspresinya tidak berubah sama sekali, flat.

"Gue sibuk." Dua kata itu menjadi penutup percakapan mereka barusan, yang tidak bisa dibilang percakapan.

Setelahnya Raesha langsung melenggang keluar dari dapur, sebelum rekan kerja mendapatinya bersama istri dari bos mereka dengan situasi tidak bersahabat. Meninggalkan Alza yang terdiam dengan pipi basah oleh air mata.

🌻🌻🌻

   "Bang … boleh masuk?"

Malam harinya, Alza menghampiri sang suami yang tengah berkutat di depan laptop.

Riyan mengangguk tanpa menoleh. "Masuk aja, Za," sahutnya.

Alza melangkah mendekati meja kerja sang suami sambil tangannya membawa nampan berisi secangkir kopi.

"Ada apa?" tanya Riyan saat sang istri sudah duduk kursi depan mejanya.

"Memangnya Alza nggak boleh ke sini?" tanya Alza dengan nada yang dibuat sedih.

Riyan mengangkat kepalanya. Menatap Alza dengan senyuman tipis. "Tidak ada larangan," sahutnya.

"Lantas? Kenapa Abang bertanya demikian?" tanya Alza dengan sebelah alis yang dinaikkan.

Riyan melipat tangannya di atas meja. Masih menatap Alza yang matanya sembab. Istrinya itu pasti baru saja selesai menangis. Dan semoga bukan karena alasan yang sama. "Karena aku tau, kamu akan lebih memilih duduk sehari semalam di perpustakaan minimu itu, dibanding sekadar menemaniku bekerja," jelas Riyan yang kemudian menyesap kopi buatan Alza.

Alza menyandarkan punggungnya di kursi. "Abang masih menyimpan rasa terhadap Echa?"

Riyan menghembuskan napasnya kasar. Ikut bersandar di kepala kursi. "Jika topiknya membahas ini dan ini lagi, pekerjaanku lebih penting daripada hal itu."

Alza menghela napas perlahan. Riyan paling sensitif jika membahas hal yang bersangkutan dengan Raesha. Sama seperti Raesha. Keduanya seolah tidak ingin meluruskan kesalahpahaman di masa lalu demi sebuah kedamaian pada masa kini dan masa depan. Jauh berbeda dengan Alza yang terus ingin meluruskan semuanya. Hatinya tidak bisa tenang sebelum semuanya benar-benar lurus dan jelas.

🌻🌻🌻🌻🌻

Kembali up dengggg....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro