Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15

     Seperti kata Maulina tempo lalu, hari ini Raesha benar-benar diizinkan pulang dengan catatan, tetap istirahat total selama di rumah. Tidak boleh melakukan apapun. Termasuk kuliah. Raesha benar-benar mengambil cuti panjang. Satu tahun. Raesha juga masih harus sering ke rumah sakit, memantau kondisinya. Ginjal terutama. Karena organ dalam tersebut yang menjadi inti kenapa dia akhirnya hanya bisa berbaring di atas kasur tanpa bisa melakukan kegiatan apapun. Sesekali berjalan keluar, dengan kursi roda.

Fariz membantunya untuk turun dari brankar. Ingin digendong saja sebenarnya, tapi Raesha menolak mentah-mentah. Malu, alasan paling utama.

Denga pelan dan hati-hati, Fariz mulai mendorong kursi roda yang Raesha duduki. Di belakang mereka, ada Zila, Afif, dan Risya yang turut membawa barang-barang Raesha selama di rumah sakit. Hendra sendiri sudah menunggu di depan lobby, di dalam mobilnya. Maulana menunggu di samping mobil, bersama Maulina setelah tadi melunasi biaya administrasi selama Raesha dirawat.

"Seminggu sekali aku akan jenguk Echa, maybe." Maulana membuka obrolan.

"Hm, dia anak kamu." Tanpa menoleh, fokus pada ponselnya, Maulina menjawab.

"Anakmu juga," koreksi Maulana. Jengah.

"Tidak mungkin dia kuterima di rumah, kalau aku nggak anggap dia anak," tukas Maulina. Memasukkan ponselnya setelah membalas pesan dari teman. Menoleh ke dalam, di mana Raesha dan teman-temannya mulai mendekat.

"Kak Fariz satu mobil sama Echa?" tanya Raesha ketika mereka sudah hampir sampai di depan lobby.

"Kakak pakai mobil sendiri, tuh." Jari Fariz menunjuk sebuah mobil yang parkir di belakang mobil Hendra. Alvin berdiri di samping mobil, menyapa mereka melalui senyum.

"Tapi, Kakak ke rumah Papinya Afif, 'kan?" Raesha bertanya, memastikan.

"Iya, sayang." Jawaban Fariz membuatnya lega.

Bukan manja atau banyak maunya. Hanya saja … Raesha masih sangat merasa canggung, jika bersama keluarga barunya?

Pelan-pelan sekali, Fariz membantu Raesha masuk ke dalam mobil. Maulana membantu, pun dengan Afif. Risya dan Zila memasukkan barang-barang yang tadi mereka bawa ke dalam bagasi. Tidak banyak, tidak juga sedikit. Hendra membantu kedua gadis, sahabat dari anaknya tersebut.

Alvin sendiri memilih tidak mendekat. Dia … ada sedikit konflik dengan Risya, kekasihnya sejak dua bulan yang lalu. Masalahnya, Risya kalau marah benar-benar seperti macan betina.

"Lo bareng siapa?" tanya Afif pada Risya. Melirik sekilas ke arah Alvin.

"Ojol aja deh, kayaknya." Gengsi menumpang dengan kekasihnya.

Afif berdecak. "Udah masuk! Biar gue yang satu mobil bareng doi lo pada!" Daripada membiarkan sahabatnya naik ojek online yang artinya harus menunggu lagi, Afif mengalah. Dia menatap Zila yang membantu Raesha mencari posisi nyaman. "Zil, aku bareng Kak Fariz sama Kak Alvin, ya?" izinnya.

Kepala gadis itu mengangguk. "Dih, sama Zila doang? Guenya enggak?" sewot Raesha yang kemudian menarik sedikit kepalanya, saat Fariz membenarkan posisi bantal yang memang disediakan di setiap jok mobil.

"Sabodo!" Afif berlalu, tidak mengindahkan decakan sahabatnya.

"Mau sesuatu? Nanti biar aku beliin," tanya Fariz. Sekarang, dia setidaknya bisa bernapas sedikit lega. Meski, masih sering menadapati sang kekasih yang termenung sendiri. Memikirkan kuliahnya, itu yang sangat jelas.

Kepala Raesha menggeleng, "coklat aja, ya?" Tapi tetap meminta. Membuat Fariz gemas sendiri.

"Okay!"

"Papa langsung pulang. Ada yang harus diurus, penting." Hendra memberitahu.

'Pekerjaan kalian memang menjadi yang selalu diprioritaskan,' batin Aiza merasa miris. Kepalanya mengangguk dengan ulasan senyum tipis yang itu pun dipaksakan. "Iya, Pa." Tidak mau membenani ayahnya. Menjadi penurut, daripada harus sakit sendiri mendengar kalimat-kalimat kejam yang terlontar nantinya.

Setelahnya, Hendra masuk ke dalam mobil dengan Maulina di sampinya. Di jok belakang, Raesha duduk tepi paling kiri. Risya, baru kemudian Zila.

Mobil Hendra perlahan meninggalkan area rumah sakit, disusul mobil Fariz di belakangnya.

Sebuah rumah yang lumayan besar dan mewah berdiri kokoh dengan pagar tinggi yang mengelilinginya. Pandangan Raesha mengarah ke luar, tapi tangannya meremas jemari Risya tanpa sadar.

Sebuah tangan mengusap bahunya. "It's okay. Everything gonna be okay." Risya berbisik. Berusaha menenangkan sahabatnya, yang sepertinya dilanda kegelisahan.

Lagi, Fariz membantu Raesha turun. Sangat hati-hati. Luka Raesha di ginjalnya belum pulih secara total. Bisa saja pihak medis mengambil langkah operasi, tapi Maulina menolak keras. Lebih baik beristirahat meski lama, daripada harus membiarkan satu ginjal anaknya diangkat. Ibu dua anak itu masih memiliki nurani sebagai seorang ibu kandung.

"Coklat Echa dibeliin, kan?" tanya Raesha. Sempat-sempatnya memikirkan coklat.

Mendengus, Fariz menajawab, "ada tuh, satu kotak besar."

Raesha tersenyum kecil. Sulit sekali baginya untuk tertawa. Jika saja Fariz memilih pergi, mungkin Raesha benar-benar kehilangan semangat hidup.

Kamar Raesha disediakan di lantai bawah. Sengaja, agar memudahkan aktivitas gadis itu nantinya. Hendra nyatanya serius ingin mengajak Raesha tinggal bersama. Karena kamar yang saat ini menjadi kamarnya, ditata dengan sedemikian rupa. Dominan berwarna biru dan hijau. Termasuk warna kesukaan Raesha.

Memejamkan mata, Raesha merasakan seseorang mengecup keningnya. Fariz. "I'm here, as always." Hati Raesha tersenyuh mendengar bisikan lembut Fariz. Air matanya jatuh sesaat kemudian. Ah, belakangan ini dia sepertinya sangat sensitif.

Di dalam kamar, hanya tinggal mereka berdua. Hendra kembali ke kantor, bersama Maulina. Risya dengan penuh paksaan dari Alvin akhirnya menurut untuk diantar ke kampus. Fariz tidak masalah, dia bisa naik ojol atau memesan grab saja nanti kalau ingin pulang. Sahabatnya lebih memerlukan mobilnya. Zila sendiri dengan malu-malu di awal, ke dapur. Afif meminta dimasakkan mie instant. Ah, keduanya sedang dalam masa kasmaran. Entah bagaimana bisa setelah sekian lama kenal dekat, baru sekarang memulai. Zoya sendiri ada kegiatan di sekolahnya. Nanti sore baru akan pulang, mungkin.

"Kenapa Echa jadi nggak berguna gini, sih?" gumamnya mulai meracau, lagi.

"Hei! Jangan bicara begitu, ah!"

Sejak vonis dokter keluar, beserta anjurannya, selain banyak diam, Raesha juga sering meracau dalam tangisnya. Hal tersebut jelas membuat hati Fariz teriris. Tidak kuat rasanya melihat kerapuhan sang kekasih.

"Coba aja Echa mati wakt--"

"Echa!" sentak Fariz menyela. Menatap tajam Raesha yang sudah membuka matanya. "Sadar sama ucapan kamu?" desisnya menahan emosi.

Tangis Raesha pecah, lagi. Dalam hati Fariz mengumpat. Sudah terlalu banyak air mata kesedihan yang gadis itu keluarkan.

"Echa benci keadaan ini, Kak!" raungnya dalam dekap Fariz.

"Takdir, Echa … cobalah menerima dan bersyukur," sahut Fariz sambil mengusap belakang kepala Raesha.

"Kak ...." Raesha melepaskan pelukan, menjauhkan tubuh Fariz. Menatap kekasihnya serius. "Kakak … boleh kog, kalau mau jalan sama cewek lain," ucapnya membuat Fariz mengernyit kesal. Alis laki-laki itu menukik tajam. Sungguh tidak habis pikir dengan jalan pikiran Raesha.

Raesha hanya merasa kasihan dengan Fariz. Bukannya mendapat perhatian, laki-laki itu malah selalu direpotkannya dengan ini pun itu. Raesha tidak lagi bisa menemani Fariz jalan-jalan dalam waktu dekat. Tidak bisa melakukan apa yang sering keduanya lakukan saat dulu. Dulu, sebelum kejadian malang ini menimpanya.

"Jangan aneh-aneh aku bilang!"

"Echa serius ...."

"Besok aku jadian sama Cici, deh."

Mata Raesha terbelalak sesaat. Tubuhnya menegang tiba-tiba. Terlebih hatinya, organ tak bertulang itu terasa ditusuk jarum berkali-kali mendengar penuturan Fariz. "Oh," tanggapnya berusaha menetralkan mimik wajah.

Fariz berdecih. Mengecup pipi kanan Raesha kemudian. "Jangan mikirin hal yang enggak-enggak. Aku nggak punya waktu buat ngelirik cewek lain. Karena di pikiran aku, di hati aku, di setiap waktu aku, cuman ada kamu. Dan selalu kamu."

Tidak bisa dielakkan. Pipi Raesha bersemu merah. "Bucin!" Tangannya memukul pelan bahu Fariz.

Laki-laki itu terkekeh. Menatap lekat wajah Raesha yang masih pucat, tapi sudah tidak sepucat ketika awal-awal masuk rumah sakit. Tangannya terangkat mengusap pipi pacarnya, membuat kedua mata Raesha kembali memejam. Menikmati hangatnya telapak tangan Fariz. Degup jantung keduanya dan detak jarum jam menjadi pengisi kekosongan. Perlahan, wajah Fariz mendekat ke arah wajah Raesha. Semakin dekat, hingga Raesha bisa merasakan deru napas kekasihnya yang menderu berat. Tubuh Raesha membatu seketika. Satu kecupan mendarat di pipi kanannya, sangat dekat dengan bibir. Lantas, kepala Fariz dijatuhkan ke bahu Raesha. Napasnya memburu. Menghembuskan napas berat kemudian. "Nyaris aja," gumamnya yang masih bisa Raesha dengar.

Wajah Raesha sudah semerah tomat. Tangannya ragu-ragu mengusap kepala Fariz. Canggung melanda.

"Sorry," bisik Fariz merasa sangat bersalah. Bisa-bisanya dia hilang fokus di saat seperti ini.

"Sama mantan kamu, bilang maaf juga, nggak?" Iseng, Raesha bertanya.

"Ngapain? Mereka yang mau, kog," jawab Fariz kelewat santai, sampai terdengar songong.

"Kesannya jadi kek mereka murahan banget, ya?"

Fariz tertekekeh. Mengangkat kepalanya. Beralih duduk lesehan dan menyandarkan kepala di kaki Raesha. "Kenyataan."

"Dan kamunya juga seneng, kan?" cibir Raesha.

"Rezeki nggak boleh ditolak," sahut Fariz membela diri.

"Terus, kenapa sekarang kesannya nolak?" Sengaja, Raesha menggoda sang pacar. Sudah lama rasanya, mereka tidak seperti sekarang.

"Jangan mancing, Yang ...."

Raesha tertawa pelan. Tangannya menyisir asal rambut Fariz, hobinya jika sedang bersama dengan laki-laki itu. "Ada yang salah?"

"Kamu beda."

"Beda gimana?"

"Terlalu berharga buat kurusak." Hembusan napas berat keluar dari bibirnya. Memikirkan apa yang pernah dia lakukan dulu … sungguh memalukan. Tapi, Fariz tidak terlalu menyesalinya. Seperti katanya tadi, rezeki nggak boleh ditolak. Dasarnya aja sih, jiwa buayanya dia belum enyah sepenuhnya. "Aku jadiin kamu pacar karena cinta, bukan nafsu," lanjutnya.

Senyum Raesha terukir. "Hebat sih, bisa nahan terus." Di tengah rasa harunya akibat ketulusan Fariz, Raesha masih sempat menggoda laki-laki itu.

Fariz terkekeh. Mendongak, menatap Raesha yang akhirnya bisa tertawa. Lega rasanya. "Kamu emang bukan yang pertama, tapi setidaknya aku selalu berusaha buat jadiin kamu yang terakhir," imbuhnya.

"Dih, sok puitis." Bukannya tersipu  Raesha mencibir. Tidak bisa diajak romantis-romantisan, kalau kata Fariz.

"Cuman sama kamu, kog."

Raesha kemudian terdiam. Teringat sesuatu yang belum pasti. Oleh karenanya, sekarang dia ingin menanyakannya. "Kak," panggilnya pada Fariz.

"Hm?"

"Soal beasiswa ke Turki itu … benar?"

"Hm."

"Ih! Kog, cuman 'hm', sih?!"

"Ya terus maunya gimana?"

Raesha berdecak. Merasa kesal pada kekasihnya yang tidak peka.

"Kalo kamu nggak ngizinin, nggak bakal kuterima, kog."

Raesha mendengus, "ya nggak bisa gitu juga, Kak!"

"Maunya gimana sekarang?" Fariz mendongak, menatap Raesha yang juga menatapnya. Entah bagaimana, niat awalnya yang memacari Raesha hanya karena ingin memenangkan taruhan, berubah begitu saja. Kini, dia bahkan nyaris tidak bisa untuk tidak mendengar kabar dari gadis itu barang setengah hari saja. Hidupnya seolah sudah bergantung pada gadis pemilik sorot tajam tersebut, Raesha Almahyra.

"Intinya Echa nggak mau jadi penghalang Kakak buat ngeraih cita-cita," ungkap gadis itu jujur.

Seberapa cintanya pun Raesha pada Fariz, tapi bukan berarti dia bebas mengatur hidup laki-laki tersebut. Apalagi sampai menghalangi jalan Fariz untuk meraih cita-citanya. Jika ditanya, apakah dia merasa keberatan, jelas. Kalau sampai Fariz menerima beasiswa tersebut, berarti keduanya kembali menjalani hubungan LDR. Parahnya, kali ini keduanya tidak bisa bertemu sesering sebelumnya. Akan ada tabungan rindu yang membludak tentunya. Namun sekali lagi, Raesha akan menghargai apapun keputusan kekasihnya. Toh, kalau memang mereka berjodoh, sejauh apapun jarak yang memisahkan, akan ada masanya Tuhan kembali mempertemukan keduanya.

"Padahal aku niatnya habis wisuda nikahin kamu," celetuk Fariz ringan.

"Ngaco!" sergah Raesha spontan.

"Aku juga belum pasti, sih. Bunda sama Ayah pun belum dikasih tau," kata Fariz sembari beranjak dari duduknya. Mendorong kursi roda Raesha mendekati ranjang. Setelahnya, perlahan dia membantu gadis itu berbaring. Raesha masih harus banyak istirahat. "Nggak usah dipikirin, fokus aja sama kesembuhan kamu," ucap Fariz seraya mengusap kepala Raesha lembut.

Tersenyum kecil, kepala Raesha mengangguk. "Apapun itu, Echa bakal dukung, Kakak. Always." Mata Raesha memejam lagi. Kali ini karena kantuk yang mulai menghampiri.

"Aku pulang, ya. Mau ke kafe lagi," ujar Fariz yang membuat mata Raesha kembali terbuka.

Mengangguk, "iya." Ia menjawab. "Hati-hati," sambungnya.

Satu kecupan Fariz layangkan di kening kekasih hatinya. "Kalau mau sesuatu, chat aja, ya. Besok aku nggak bisa ke sini, ada kelas."

"Hm. Thanks for today," ucapnya.

"Anything for you. Istirahat. Aku pulang dulu, assalamu'alaikum," pamit Fariz. Menaikkan selimut sebatas pinggang. Melenggang kemudian. Meninggalkan Raesha yang mulai memasuki alam mimpi. Gadis itu sepertinya benar-benar kelelahan.

🌻🌻🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro